Menikah dengan Pria yang Membenci Ibu Kandungku

Okhie vellino erianto
Chapter #2

RUMAH INI TERLALU DINGIN

Pagi hari kedua setelah pernikahan kami, aku menemukan catatan di atas meja makan.

Tulisan tangan Alvano rapi, kaku, dan terlalu formal untuk ditinggalkan kepada seorang istri. Aku duduk sendirian di ruang makan seluas aula konser. Cahayanya masuk dari jendela kaca besar, tapi anehnya tetap terasa suram. Pelayan mondar-mandir tanpa bersuara. Tidak ada suara TV, tidak ada tawa, tidak ada percakapan.

Rumah ini... terlalu sunyi.

Atau lebih tepatnya, terlalu dingin.

Aku mengaduk tehku, padahal aku tidak suka teh. Tapi aku butuh sesuatu untuk membuat tanganku sibuk agar tak terasa mati rasa. Sesekali, aku menoleh ke arah ruang kerja di ujung lorong. Pintu kayu gelap itu selalu tertutup rapat. Sejak hari pertama, aku tidak pernah melihat Alvano membuka ruang itu.

Aku pernah bertanya pada pelayan tua yang paling ramah.

“Tidak boleh, Nona,” katanya. “Itu ruangan pribadi Tuan Alvano. Tidak ada yang boleh masuk. Bahkan saat rumah ini direnovasi dua tahun lalu, dia tetap tidak izinkan orang menyentuh barang-barangnya di sana.”

“Ruangan itu dulunya milik siapa?”

Wanita itu menunduk. “Milik mendiang Nyonya.”

Jadi... ruangan itu milik ibunya.

Hari-hari berikutnya, aku mulai menjalani jadwal aneh: bangun pagi, sarapan sendirian, membaca buku di taman belakang, makan siang sendiri, dan menunggu malam datang hanya untuk melihat lampu ruang kerja menyala — tanda bahwa suamiku telah pulang, tapi tetap tidak ingin menemuiku.

Aku mencoba mengisi waktu dengan menulis jurnal. Satu-satunya tempat di mana aku bisa jujur.

Sore itu hujan turun deras. Langit kelabu. Aku duduk di jendela membaca buku, ketika tiba-tiba listrik mati.

“Pak Gito?” panggilku.

Pelayan tidak menjawab.

Aku turun ke bawah. Rumah itu seolah berubah jadi kastil kosong. Aku berjalan pelan ke ruang tengah, mencoba mencari senter. Lalu, dari kejauhan, aku melihat sinar dari ruang kerja.

Pintunya terbuka sedikit. Lampu darurat menyala.

Tanpa sadar, aku mendekat. Dan untuk pertama kalinya... aku masuk.

Ruangannya terasa... hidup. Tidak seperti sisa rumah yang terasa seperti museum. Ada aroma lavender yang lembut. Rak buku penuh dengan novel klasik. Di sisi ruangan, ada piano hitam besar yang tertutup kain tipis.

Di meja kerja, aku melihat foto kecil dalam bingkai kayu: seorang wanita cantik berambut hitam panjang, tersenyum lembut sambil memeluk anak kecil.

Alvano kecil.

Aku menyentuh bingkai itu. Wanita itu pasti ibunya. Dan di foto itu... dia tampak bahagia. Tidak seperti sekarang.

Aku ingin tahu lebih jauh. Tapi belum sempat membuka laci meja, sebuah suara menghentikanku.

“Apa yang kamu lakukan di sini?”

Alvano berdiri di ambang pintu, basah kuyup. Matanya tajam, dan untuk pertama kalinya... aku melihat kemarahan yang nyaris seperti benci.

“Aku... hanya—”

“Keluar.”

Lihat selengkapnya