Menikah dengan Pria yang Membenci Ibu Kandungku

Okhie vellino erianto
Chapter #3

SIAPA YANG MEMBUNUH IBUNYA

Ruang kerja itu terasa seperti dunia lain.

Untuk pertama kalinya, aku duduk di dalamnya bersama Alvano, dalam keheningan yang tidak lagi dipenuhi kebencian, tapi... kelelahan. Di antara kami ada tumpukan buku tua, amplop lama, dan satu foto kecil yang tadi kulihat: Alvano kecil di pelukan ibunya.

“Aku tahu kamu menyalahkan ibuku,” kataku pelan, “tapi... pernahkah kamu bertanya, apakah kematian ibumu benar-benar karena dia?”

Alvano tidak menatapku, tapi suaranya terdengar patah.

“Aku kehilangan ibuku di malam ulang tahunku. Aku melihat dia digotong keluar kamar dengan tubuh kaku. Dokter bilang overdosis, tapi aku tahu... dia tidak seperti itu. Mama tidak akan bunuh diri.”

Aku mengangguk. “Karena itu aku mulai mencari sendiri. Dan aku nemu ini.”

Aku menyodorkan artikel dari blog anonim yang kutemukan semalam. Judulnya: “The Silenced Death of Yasmine Azzura.” Artikel itu menuduh ada intervensi dari pihak ketiga — seorang politikus besar — yang ingin menyembunyikan hubungan gelap yang menyeret keluarga Mahardika.

Alvano membaca pelan. Saat dia sampai ke bagian “wanita bersyal merah di malam kematian”, dia menoleh.

“Itu ibumu?”

Aku mengangguk.

“Tapi dia bukan pembunuhnya.”

Dia menatapku tajam. “Kamu yakin?”

Aku menahan napas, lalu berkata:

“Tidak seratus persen. Tapi aku akan cari tahu. Karena aku juga nggak bisa hidup dengan kebohongan.”

Hari berikutnya aku mendatangi rumah ibuku dengan niat: minta kejujuran, tanpa tangisan.

“Aku butuh nama,” kataku di ruang tamu. “Siapa orang yang menyuruhmu diam malam itu?”

Ibuku awalnya bungkam. Tapi setelah desakan panjang, ia akhirnya berkata lirih:

“Namanya Adrian... Adrian Fathir. Waktu itu dia kepala rumah sakit sekaligus partner bisnis Tuan Mahardika. Dan... dulu aku sempat dekat dengannya.”

Darahku seperti membeku.

“Dia bilang... jika aku bicara soal apa yang terjadi malam itu, anakku akan lahir tanpa masa depan.”

Aku menatap ibu lama. Kali ini aku tidak bisa menangis. Aku terlalu hancur untuk meneteskan air mata.

Malamnya aku memberanikan diri bicara pada Alvano.

Lihat selengkapnya