Kendati sore ini langit mendung, tetapi perasaanku begitu cerah. Di usia 17 tahun ini aku resmi lulus sekolah dan telah menerima ijazah. Itu artinya aku bisa lebih cepat mengejar cita-citaku, yakni hidup di kota. Barangkali keinginan itu cukup sederhana atau malah dianggap aneh. Namun, sepanjang yang aku tahu dari berita-berita yang aku tonton dan buku-buku yang aku baca, di kota banyak pekerjaan yang bisa aku dapatkan dengan kelulusan SMA. Upahnya pun lebih besar daripada bekerja di dusun ini. Dengan begitu, aku bisa mengirim uang untuk Bapak dan Ibu, serta menabung agar mampu menikahi Yusfina.
Dusun Mukim dikepalai oleh seorang perempuan berusia 60 tahun, yaitu Nek Jasingah. Kepala Mukim itu setingkat Rukun Warga. Di bawahnya ada 5 Ketua Mukim setingkat Rukun Tetangga yang masing-masing memiliki 70-80 kepala keluarga. Semenjak Uyut Suryana—bapaknya—meninggal dunia lima tahun lalu, Nek Jasingah langsung diangkat menjadi Kepala Mukim setelah melalui rapat di balai dusun. Rapat besar itu tentu saja dihadiri para perangkat dusun. Dari yang aku dengar, tak ada penolakan sama sekali dari semua orang yang hadir dalam musyawarah tersebut. Nek Jasingah adalah anak tertua, dan karenanya aturan adat sudah memutuskan jabatan Kepala Mukim turun kepadanya. Rapat itu sebenarnya hanya menanyakan kepadanya saja, apakah dia bersedia atau tidak menjadi penerus bapaknya. Karena dia bersedia, maka tak ada lagi yang perlu diperdebatkan. Kecuali jika dia menunjuk atau mengusulkan sebuah nama anggota keluarganya atau orang lain, barulah para perangkat dusun harus menyepakati itu, menolak, atau menyetujui dengan alasan tertentu.
Karena jabatan tertinggi itu, Nek Jasingah kerap dipanggil ‘Nek Moyang’ oleh sebagian penduduk. Itu adalah panggilan penghormatan. Semacam gelar yang disematkan penduduk kepada pemimpin. Waktu bapaknya masih menjadi Kepala Dusun, beliau juga sering dipanggil ‘Kek Moyang’ oleh orang dewasa dan ‘Uyut Moyang’ oleh anak-anak.
Sejak dipimpin Nek Jasingah, Dusun Mukim mengalami perubahan yang baik. Kendati janda tua itu terlihat keras dan galak, tetapi upayanya untuk menyejahterakan penduduk patut diapresiasi. Salah satunya, dia menyediakan mobil sekolah. Karena jarak SMP dan SMA Makaba dari Dusun Mukim lumayan jauh, kehadiran mobil sekolah itu sangat membantu penduduk, sehingga bisa ditempuh selama satu jam menggunakan mobil tersebut. Anak-anak tidak lagi capek berjalan kaki atau menumpang mobil-mobil bak terbuka pengangkut sayuran yang entah kapan lewat, dan para orang tua juga tak lagi khawatir akan anak mereka yang tersengat sinar matahari atau diterpa dingin hujan di tengah jalan. Aku dan teman-teman tinggal duduk santai saja di dalam mobil, kendati jalan yang kami lalui berkelok-kelok naik turun. Selain itu, jalan yang tadinya tanah dan berbatu, kini sudah diperbaiki dengan aspal. Itu berkat Nek Jasingah yang meminta pemerintah setempat di Kelurahan Makaba untuk memperbagus akses jalan.
Dengan hati girang bukan kepalang, aku keluar dari mobil sekolah di mana bodinya berdempul di beberapa bagian. Aku berucap terima kasih kepada Pak Fato, sopir yang digaji dari hasil keuntungan kebun-kebun di tanah adat.
Dusun ini memilik tanah adat yang cukup luas, di mana tanah ini menjadi sumber penghasilan untuk kepentingan dusun. Sejak dulu, tanah adat dijadikan kebun kopi, cokelat, tebu, sayuran, tambak ikan, pabrik gula pasir, pabrik tepung terigu, dan pabrik rokok keretek. Dari penjualan hasil kebun-kebun itu untuk membayar para pekerja. Pendapatan pabrik juga bukan hanya untuk para pekerja dan pemodal, tetapi juga untuk dana masukan atau tabungan dusun. Uang itu disebut Uang Dusun, dan akan dikeluarkan untuk kepentingan dusun. Setiap rapat tiga bulan sekali, pastilah saldo Uang Dusun diberitahukan oleh Nek Jasingah kepada para perangkat dusun.
Aku melangkah tergesa di halaman depan menuju beranda rumah. Tanpa mencuci tangan dan muka terlebih dahulu di padasan, aku langsung masuk ke ruang depan. Setelah melepaskan sepatu beserta kaus kaki dan menaruhnya di pojok ruangan, aku ke ruang tengah, tempat di mana Bapak dan Ibu tengah bercakap-cakap entah tentang apa. Aku sempat berpikir, biasanya Bapak masih berada di kebun dan pulang menjelang magrib. Ah, mungkin Bapak sedang beristirahat atau bisa jadi pulang lebih awal.
“Assalamu’alaikum, Pak, Bu, saya lulus.” Aku tersenyum semringah sambil menghampiri mereka yang duduk di ubin beralaskan tikar. “Saya sudah dapat ijazah,” sambungku sambil mengeluarkan surat tanda tamat belajar dari dalam tas punggung dengan cepat. Tak sabar rasanya ingin segera memperlihatkannya kepada Bapak dan Ibu.
“Wa’alaikumussalam,” sahut Bapak dan Ibu bersamaan.
Bapak dan Ibu memeriksa ijazahku dengan wajah tidak bahagia, sementara aku memperhatikan mereka dengan bingung. Harusnya, Bapak dan Ibu senang dengan pencapaianku itu. Mestinya, mereka bahagia karena aku akan bekerja di kota. Patutnya, mereka paling tidak menampilkan ekspresi yang menggembirakan. Aku jadi bertanya-tanya, apa yang membuat keduanya tampak seperti mendapati kabar buruk?
“Pak, Bu, kenapa? Saya sudah lulus dan nanti bisa mencari pekerjaan di kota. Saya bisa membantu keuangan keluarga. Saya janji, saya akan membahagiakan Bapak dan Ibu sebisa saya.”
Ibu mengembuskan napas panjang, sementara aku mendapati beban berat di parasnya. Bahkan, dia seperti tidak sanggup membagikannya kepadaku. Karena hal itu aku jadi penasaran.
“Bu, ada apa sebenarnya?” tanyaku dengan nada meminta penjelasan dengan segera.
Alih-alih menjawab, Ibu malah menatap Bapak.
Bapak menaruh ijazahku ke tikar. “Begini, Radana,” katanya kemudian dengan wajah dan nada bicara serius. “Kamu tidak perlu bekerja di kota besar. Lupakan ibu kota. Lupakan semua cita-citamu untuk hidup di sana. Kamu tetap tinggal di sini saja.” Beliau diam sejenak.
Aku terkejut. “Pak, saya—”
“Dengarkan dulu,” sela Bapak dengan nada kesal. “Bapak sudah terikat perjanjian adat dengan Nek Jasingah. Perjanjian itu disaksikan perangkat dusun dan leluhur. Bapak tidak bisa mengelak. Perjanjian adat harus dipatuhi. Jika tidak, keluarga kita bisa kena murka leluhur.” Bapak diam sejenak. Dia mengusap wajahnya yang tampak gelisah. “Kamu ‘kan sudah paham perkara perjanjian adat, jadi kita harus melaksanakannya.” Beliau menatapku lurus-lurus.
“Kita …?” Aku menatap Bapak dan Ibu secara bergantian. Aku meminta penjelasan lebih. Karena Bapak dan Ibu tidak juga menimpali, aku pun kembali bertanya, “Kalau begitu Bapak patuhi saja perjanjian adat itu. Kenapa harus melibatkan saya dan Ibu?”
“Perjanjian adat itu memang melibatkanmu.” Bapak menyerahkan selembar kertas yang dilipat dua bagian.
“Apa ini, Pak?” Aku menyambut kertas itu.
“Surat Perjanjian Adat.”
Aku membuka dan membacanya. Di kertas itu tertera tulisan besar di bagian atas, yakni SURAT PERJANJIAN ADAT DUSUN MUKIM. Di bagian bawah tertuang poin-poin perjanjian antara Bapak dengan Nek Jasingah sebagai Kepala Mukim. Disaksikan perwakilan perangkat dusun, yaitu Pak Uli sebagai Bendahara Dusun Mukim. Di atas nama ketiganya tertera tanda tangan yang dibubuhi cap jempol dari tinta darah masing-masing. Isi perjanjian itu membuatku tercengang. Bapak meminjam Uang Dusun untuk pembiayaan berobat ibu yang waktu itu sakit dan harus dibawa ke rumah sakit di kota. Jika Bapak tidak sanggup membayar semua biaya tersebut setelah tiga bulan Ibu dinyatakan sehat dan kembali ke rumah, aku harus melamar Nek Jasingah paling lambat tujuh hari setelah aku lulus SMA dan segera menikahinya. Jika tidak, salah satu jari tangan Bapak harus dipotong sebagai simbol ketidakpatuhan pada adat. Tanganku gemetar memegang kertas perjanjian adat itu, seolah-olah kertas tersebut mendadak berat dan aku tak sanggup memegangnya.
Bapak menarik kertas itu dari tanganku. “Setelah ditotal, biayanya dua puluh juta. Kamu ‘kan tahu, beberapa bulan lalu Ibu sakit dan harus dioperasi di rumah sakit. Belum lagi biaya rawat inap selama sebulan. Lalu, biaya pengantaran bolak-balik menggunakan mobil dusun. Ada juga biaya makan Bapak dan lain sebagainya.”
“Maaf, Pak, untuk mengumpulkan uang dua puluh juta selama tiga bulan itu sesuatu yang mustahil Bapak lakukan. Upah Bapak di kebun selama tiga bulan saja bahkan tidak sampai setengahnya. Kalau mau meminjam uang sama tetangga pun pastilah sulit. Penghasilan warga di sini pun tidak jauh berbeda dengan kita, Pak.” Aku diam sejenak. Kekesalan dalam dadaku serasa ingin meledak. “Semua persyaratan yang Nek Jasingah kasih dalam poin-poin perjanjian itu adalah jebakan,” tandasku kemudian.
“Kamu jangan omong sembarangan!”
“Saya tidak omong sembarangan, Pak. Kalau dipikir dengan jernih, Bapak tidak akan sanggup melunasi utang atau mengembalikan Uang Dusun itu.”
“Diam kamu!” bentak Bapak membuatku terkejut dan menutup mulut. Bapak tersinggung dengan ucapanku, padahal itu adalah kenyataan yang harus beliau terima.
Hilang sudah rasa hormatku terhadap Nek Jasingah. Aku yakin betul isi perjanjian adat itu akal-akalan perempuan tua tersebut. Aku jadi teringat penuturan Narangka. Temanku itu pernah bercerita kalau Nek Jasingah sepertinya punya ketertarikan pada laki-laki muda. Waktu itu aku tidak percaya pada Narangka karena dia pandai bercerita. Namun, setelah masalah ini muncul, rasanya apa yang dikatakan Narangka adalah kenyataan. Sialnya, Nek Jasingah kini tertarik kepadaku.
“Jangan omong yang tidak-tidak tentang Kepala Mukim. Nek Jasingah itu orang yang paling dihormati di dusun ini, bahkan sampai ke Kelurahan Makaba. Nanti kamu kualat.” Bapak menunjuk mukaku dengan wajah memerah penuh amarah.