Menikahi Nenek Moyang

Ari Keling
Chapter #2

Kepala Dusun

Di dusun ini rata-rata lelaki menikah di usia 17 atau 18 tahun, sementara perempuan bisa lebih muda, yakni 15 atau 16 tahun kalau tidak sekolah sampai SMA. Keadaan seperti itu sudah biasa terjadi lantaran memang telah turun-temurun dilakukan penduduk. Perihal pernikahan tidak akan ada campur tangan dari pihak luar. Guru-guru, pemuka agama, lurah, camat, dan kepolisian setempat, tidak akan ada yang mau mengusik apa yang telah terjadi selama bertahun-tahun di Dusun Mukim ini. Tentu saja Bapak saya yang sebagai Kepala Mukim sudah memberi jatah penghasilan kebun tebu, kopi, tembakau, tambak ikan, dan lain sebagainya dari hasil tanah adat kepada orang-orang penting itu. Belum lagi tanah adat yang dibangun pabrik gula pasir, tepung terigu, dan rokok keretek yang bekerja sama dengan cukong, dari pabrik-pabrik itu juga menghasilkan uang yang banyak, sehingga uang yang berlimpah membikin Bapak lebih berkuasa bahkan terhadap orang yang jabatannya lebih tinggi. Di samping itu, Bapak meminta pemilik modal itu untuk mempekerjakan penduduk dusun yang terbilang masih di usia produktif untuk bekerja di pabrik-pabrik itu. Tersebab hal itulah Bapak bukan hanya mendapat hormat setinggi langit dari para orang tua di kebun tanah adat, tapi juga para bapak muda di pabrik. Bapak memang sering dirongrong lurah, camat, dan polisi yang dengan sok santunnya meminta jatah dari kebun dan pabrik di tanah adat. Lantaran tak mau warganya terusik dan jabatannya dihilangkan, Bapak pun menyepakati perihal pembagian hasil tanah adat dengan pihak-pihak luar itu, sehingga ketentraman dan kegiatan dusun yang Bapak pimpin tetap berjalan baik. Keadaan macam itu juga sudah terjadi bertahun-tahun. Meski lurah, camat, atau petinggi polisi setempat telah diganti, kegiatan itu tidak akan berubah. Perjanjian bagi hasil itu sambung-menyambung, dari satu generasi ke generasi lainnya.

Sejak kecil, saya memang sudah melihat bagaimana uang bisa melancarkan urusan apa pun. Uang Dusun itu bisa membungkam dan menundukkan siapa saja, termasuk orang-orang yang jabatannya lebih tinggi ketimbang Bapak. Lantaran memiliki Uang Dusun, Bapak sangat dihormati siapa pun dari pihak luar. Sementara di dalam dusun, Bapak juga sangat disegani. Penduduk dari Dusun Mukim Satu sampai Dusun Mukim Lima begitu menghormati Bapak. Penghormatan itu bahkan sampai ke anak-anaknya. Tidak ada satu pun penduduk yang berani kepada saya dan adik saya. Bahkan, para preman pun tidak akan mau menyenggol saya, itu tersebab Bapak telah merangkul mereka dan dijadikan keamanan dusun yang diberi gaji.

Hidup saya dan adik saya sungguh terjamin. Kebutuhan selalu lebih dari cukup. Apa yang saya inginkan pun akan mudah dikabulkan Bapak. Tentu saja dengan Uang Dusun. Penduduk juga tahu kalau Bapak yang sebagai Kepala Mukim punya jatah dari penghasilan tanah adat. Keadaan itu sudah terjadi sejak sangat lama. Tidak pernah saya mendengar ada penduduk yang protes dengan kepemimpinan Bapak. Warga malah sangat senang lantaran Bapak dianggap cakap sekali dalam mengurus dusun ketimbang kepemimpinan mendiang kakek saya. Memang, saya akui Bapak piawai membikin kehidupan di dusun menjadi lebih baik. Jika terjadi masalah, Bapak selalu mengutamakan musyawarah. Bila persoalan mengharuskan diadakan pengadilan adat, Bapak sebagai hakim ketua selalu bijak dalam menentukan keputusannya.

Saya pikir kehidupan saya akan terus mulus, ternyata saya salah duga. Masalah muncul ketika saya telah lulus SMA. Bapak kesal tersebab saya sering menolak ajakan menikah dari seorang laki-laki dewasa. Menurut Bapak, saya bocah bodoh yang tak tahu bahwa laki-laki pilihannya adalah seorang yang sangat terhormat. Bapak pernah mengenalkan saya dengan anak lurah, camat, sampai anak polisi, tapi saya menolak. Setampan dan sekaya apa pun laki-laki dewasa yang Bapak kenalkan, saya tidak pernah bisa langsung jatuh cinta atau bergairah untuk menikah. Bapak jadi sering mengomel dan mengatai saya perempuan aneh. Padahal, saya pun terkadang merasa aneh pada diri saya, kenapa tidak juga tertarik pada laki-laki dewasa? Namun, pertanyaan itu tidak saya temukan jawabannya.

Puncaknya, saat usia saya 20 tahun. Bapak masuk ke kamar saya dan langsung duduk di tepi ranjang di sebelah saya.

“Nak, kamu sudah dua puluh tahun. Di dusun ini, tidak ada perempuan yang belum menikah di seusiamu. Sebagai Kepala Dusun, Bapak jadi malu. Tolonglah kamu mengerti posisi Bapak. Bapak khawatir penduduk jadi mengira Bapak tak becus mengurus kamu. Bapak waswas kalau penduduk berpikir untuk menggulingkan jabatan Bapak. Mereka bisa saja menyudutkan Bapak karena dianggap tidak bisa mengurus anak, apalagi mengurus dusun ini,” ujar Bapak dengan suara pelan yang terdengar mengiba, padahal saya tahu Bapak sedang merayu saya agar mau segera menikah. Perihal kekhawatirannya soal ketidakbecusan mengurus anak dan perkara jabatan, saya yakin itu hanya akal-akal Bapak supaya saya mau menurutinya.

“Tenang, Pak,” sahut saya dengan nada bersahabat, sementara batin saya kesal tersebab pokok pembicaraan yang dibuka oleh Bapak. “Saya menikah atau tidak menikah, kehormatan Bapak di mata penduduk akan tetap tinggi. Bapak akan selalu dihormati. Penghormatan itu tidak akan jatuh, hancur, atau hilang cuma gara-gara saya belum juga menikah.”

Bapak menggeleng tegas. “Bukan cuma itu, Jasingah. Bapak khawatir kamu yang sudah beberapa kali menolak lamaran akan jadi perawan tua. Perawan tua itu simbol ketidaklakuan. Bapak tidak mau kamu jadi direndahkan.”

Saya terkekeh pelan. “Tidak akan ada yang berani merendahkan saya seperti itu, Pak,” cetus saya kemudian dengan mantap.

“Masalah lainnya bukan cuma itu,” kata Bapak lagi yang sepertinya sudah menyiapkan berbagai omongan supaya saya bisa luluh, lalu mengikuti apa yang beliau mau. “Lagama sudah berumur delapan belas tahun. Dia sudah lulus SMA dan mau menikahi pacarnya. Dia sudah menunggumu setahun, tapi kamu belum juga mau menikah. Kamu ‘kan tahu sendiri, leluhur menyuruh adat kita untuk tidak boleh melangkahi seorang kakak yang belum menikah.”

Persetan dengan leluhur! Saya benci sekali semua hal di dusun ini selalu dikaitkan dengan nenek moyang, meski di beberapa keadaan soal nenek moyang itu bisa menguntungkan. Misalnya, untuk memperkuat kepercayaan penduduk mengenai suatu hal. Sejak dulu penduduk memang lebih percaya kepada leluhur ketimbang kepada Tuhan. “Kalau Lagama mau menikah, ya menikah saja, Pak. Saya sebagai kakaknya akan mengizinkan dengan ikhlas,” timpal saya kemudian agar Bapak menyudahi pembicaraan ini. “Tidak apa-apa saya dilangkahi Lagama.”

“Tidak seperti itu peraturannya, Ngah,” bantah Bapak dengan cepat. Nada bicaranya bercampur antara kesal dan putus asa. “Seorang kakak harus menikah lebih dulu ketimbang adiknya. Kalau itu dilanggar, leluhur bisa marah. Lalu, kamu jadi jauh jodoh, atau lebih sialnya malah mendapat petaka. Bapak sebagai kepala keluarga tidak mau anak-anak Bapak sengsara.”

Belum sempat saya menanggapi, tiba-tiba saja Lagama masuk ke kamar. Rupanya sedari tadi dia menguping pembicara saya dengan Bapak.

“Kak, tolonglah saya,” kata Lagama yang langsung bersimpuh di kaki saya.

“Apa-apaan kamu?” Saya tidak suka sikap Lagama seperti itu.

Lihat selengkapnya