Menikahi Nenek Moyang

Ari Keling
Chapter #3

Mencari Solusi

Semalaman aku sulit tidur dengan nyenyak. Kedua mataku memerah dan berair. Bukan hanya hatiku yang pedih, indra penglihatanku pun juga sepet. Belum lagi badan aku jadi pegal-pegal karena tidak bisa beristirahat dengan nyaman. Sesekali aku terbangun dengan bayang-bayang Nek Jasingah yang menghantui. Tak sanggup rasanya jika beristrikan Nek Jasingah yang bagiku sudah sepuh itu. Pastilah sulit sekali aku mengimbangi pemikiran dan keinginannya karena usianya yang jauh sekali di atasku. Belum lagi aku harus mau bermanja-manja dengan perempuan tua itu layaknya suami istri yang saling mencintai, batinku pastilah makin terlukai. Membayangkannya saja sudah membuatku jijik, apalagi itu sampai terjadi, bisa-bisa aku mati berdiri.

Selepas salat subuh aku hanya merenungi diri. Di pagi yang masih gelap dan dingin yang menyengat ini aku bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba saja beban hidupku menjadi sangat berat? Semakin aku pikirkan, makin pula aku kepusingan. Aku membuka jendela kamar agar himpitan dalam kamar bisa keluar. Namun, justru ada keinginan untuk minggat dari rumah agar terlepas dari masalah ini. Di lain sisi, lagi-lagi aku berat sekali jika meninggalkan Ibu. Belum lagi sedihnya membayangkan menghilang dari kehidupan Yusfina, bisa-bisa aku gila.

Aku sungguh tak sanggup menanggung masalah ini sendirian. Aku harus bicara dengan seseorang agar mendapat solusi yang menenangkan. Atau, paling tidak aku diberi nasihat terbaik kendati tidak bisa meredakan kesakitanku, tetapi setidaknya aku bisa menerima itu dengan lapang dada. Aku kembali teringat pada Yusfina, dan pacarku itu bukanlah orang yang tepat untuk diajak bicara menyoal masalah yang tengah aku hadapi. Bahkan, aku masih takut untuk berterus terang padanya menyoal perjanjian adat sialan itu. Maka, satu-satunya orang yang paling mungkin aku ajak bicara adalah Kak Amelia.

Setelah matahari menghangatkan dusun, aku mendengar Ibu dan Bapak sarapan bersama di ruang tengah. Ibu sempat mengetuk pintu kamar dan mengajak aku makan bersama, tetapi aku menolak dengan alasan belum lapar. Padahal, perutku sudah keroncongan. Aku hanya belum mau melihat atau bertemu dengan Bapak lagi. Aku takut sekaligus kesal pada Bapak.

“Jangan sampai dia kabur dari rumah,” tegas Bapak pada Ibu. Aku tahu, Bapak sengaja bicara dengan suara keras agar aku juga mendengar dari dalam kamar. “Bilang padanya. Jangan bikin malu keluarga. Jangan bikin susah orang tua.”

“Iya … iya. Ya sudah, berangkat sana.”

Seusai itu Bapak pergi ke kebun sayuran.

Aku keluar dari kamar. Aku melihat tempe dan tahu goreng, serta nasi hangat yang masih tersedia di atas tikar. Kendati aku sadar bahwa aku lapar, tetapi masalah yang tengah aku alami membuat nafsu makanku membuyar.

“Ayo, sarapan.” Ibu yang baru saja mengantar Bapak sampai di beranda rumah tersenyum melihatku. Barangkali Ibu merasa lega mendapati aku sudah mau keluar kamar. Aku tahu, Ibu pasti khawatir dengan keadaanku yang memang ingin mengurung diri di ruangan pribadiku itu.

“Nanti saja, Bu,” sahutku berusaha sesopan mungkin agar Ibu tidak tersinggung dengan penolakan itu. “Saya mau mandi dulu.”

“Kamu mau ke mana?” Ibu menatapku dengan sorot mata khawatir. Aku dapat merasakan kalau Ibu waswas bukan karena aku hendak bepergian, tetapi aku menerka Ibu takut aku kabur dari rumah.

“Tenang, Bu, saya tidak akan kabur dari rumah. Saya cuma mau main ke rumah Kak Amel.” Aku tersenyum tipis. Kendati sudah berupaya menampilkan wajah yang serius, tetap saja Ibu masih tampak takut kalau aku berbohong.

“Ya sudah kalau begitu, tapi sarapan dulu.” Ibu tampak pasrah. Dari kedua matanya aku mendapati harapan, bahwa beliau mau memercayai ucapanku barusan.

“Iya, Bu.” Aku mengangguk, lalu ke kamar mandi di ruang belakang.

***

Aku sudah mengganti pakaian dan selesai sarapan. Saat mandi tadi aku menghabiskan waktu lebih banyak daripada sebelumnya. Sulit sekali menghilangkan sejenak masalah yang tengah menggerogoti ketenangan hatiku. Makan pun benar-benar tak berselera. Kalau saja tadi tidak diawasi Ibu, barangkali aku tidak mengisi perut.

Kak Amelia adalah kakakku satu-satunya. Usianya kini 20 tahun. Waktu lulus SMP, dia sempat menangis minta disekolahkan ke SMA. Namun, Bapak melarangnya. Bapak bilang, perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, nanti juga lebih banyak kerja di rumah mengurus kebutuhan anak dan suami. Kak Amelia sangat sedih, tetapi akhirnya pasrah. Namun, Kak Amelia meminta Bapak untuk menyekolahkanku sampai SMA. Kak Amelia tidak mau aku merasakan kebodohan seperti dirinya. Bapak pun setuju. Kemudian Kak Amelia menikah dengan Kak Ujong saat usianya 17 tahun. Sekarang keduanya memiliki anak bernama Siska yang kini berumur 1 tahun. Semenjak berumah tangga, Kak Amelia langsung tinggal di rumah Kak Ujong di Dusun Mukim Dua.

Dari rumahku ke kediaman Kak Ujong sekitar dua puluh menit berjalan kaki. Setelah keluar dari gapura Dusun Mukim Satu tempatku tinggal, aku berbelok ke kanan menyusuri kebun wortel dan kol. Sambil melangkah disinari cahaya matahari, sesekali aku melihat kesibukan para petani di kebun. Udara yang aku hela begitu sejuk. Di kejauhan ada hutan yang masih diselimuti kabut.

Beberapa saat kemudian aku memasuki gapura Dusun Mukim Dua. Keadaan di dusun ini tak jauh berbeda dengan Dusun Mukim Satu. Rumah-rumah yang berdiri dengan jarak beberapa meter, sehingga di kiri dan kanannya masih ada lahan tanah datar yang biasa dijadikan tempat menjemur pakaian. Dulu, semua rumah dibangun hanya menggunakan kayu dan bilik bambu. Sekarang semuanya telah berubah. Bangunan sudah menggunakan campuran batu bata, pasir, dan semen. Untuk lantai memakai ubin. Hanya rumah Kepala Mukim dan Ketua Mukim yang paling bagus di antara warga setempat. Rumah para perangkat dusun lantainya sudah memakai keramik dan tampak lebih kokoh daripada kediaman warga biasa.

Beberapa suami ada yang bekerja di luar Dusun Mukim. Sebagian kecil dari mereka merantau ke kota. Mayoritas lelaki dewasa memang bekerja di kebun dan lahan garapan tanah adat lainnya. Sementara para istri juga bekerja di tanah adat, tetapi yang masih memiliki anak kecil lebih memilih menjadi ibu rumah tangga. Seperti saat ini, aku melihat ada seorang ibu yang tengah menyusui anaknya di beranda rumah. Ada pula seorang ibu yang sedang menampi beras menggunakan tampah di balai-balai. Ada juga seorang ibu yang sedang menyapu di halaman rumahnya.

Akhirnya aku tiba di kediaman Kak Ujong. Kakak iparku itu ternyata sedang ada di rumah. Biasanya Kak Ujong sudah berdagang di Pasar Makaba di dekat Kelurahan Makaba. Entah kenapa kali ini dia masih berada di rumah. Aku juga disambut oleh Kak Amelia yang lantas mempersilakanku masuk.

Setelah membuatkan teh manis hangat, Kak Amelia bergabung bersama aku dan Kak Ujong di ruang depan. Kami duduk di bangku kayu.

“Kak Ujong tidak berdagang?” tanyaku berbasa-basi.

“Tidak, Rad.” Kak Ujong menggeleng. Lelaki berusia 25 tahun ini menyulut sebatang rokok keretek. “Sudah sebulan ini saya tidak bisa berdagang setiap hari. Barang dagangan kadang habis dan kualitasnya tidak bagus, sehingga orang-orang enggan membeli dagangan saya. Langganan saya pun sudah ada yang pindah ke pedagang lain. Selain itu, uang tabungan sudah habis untuk biaya melahirkan Siska. Belum lagi saya harus membeli susu karena asi kakakmu keluarnya sedikit.” jelasnya kemudian.

Aku mengembuskan napas prihatin. Tidak aku duga ternyata keadaan Kak Ujong dan Kak Amelia juga sedang sulit. Sementara aku datang malah membawa masalah.

“Bulan ini saja saya belum bayar sewa lapak dagang di pasar. Belakang ini saya kena sial melulu. Waktu pulang malam dari pasar, saya dibegal di luar daerah dusun. Saya dipukuli dan uang saya diambil semuanya. Saya sudah melapor ke keamanan dusun, katanya perampok itu sudah dilaporkan ke kepolisian di Makaba dan sedang diburu. Sekarang saya benar-benar sedang kere, Rad.” Kak Ujong terlihat makin sedih.

Aku mengangguk paham. “Sabar, Kak.”

“Ya, cuma sabar yang saya punya.” Kak Ujong tersenyum masam.

Aku menoleh ke Kak Amelia. “Siska ke mana, Kak?”

“Tadi subuh sudah bangun, tapi baru saja dia tidur lagi,” jawab Kak Amelia disudahi dengan tersenyum tipis. “Kamu sudah lulus SMA, ya?”

“Alhamdulillah sudah, Kak.” Aku mengangguk senang.

“Pasti kamu sudah tahu soal perjanjian adat yang dilakukan Bapakmu,” cetus Kak Ujong dengan mulut mengepulkan asap tembakau.

Aku terdiam. Sementara Kak Amelia terlihat tak enak hati karena Kak Ujong bicara seperti itu terhadapku.

“Begini, Rad. Kalau kamu mau pinjam uang, saya tidak punya. Jujur saja, uang dua puluh juta itu terlalu besar. Saya juga sedang pailit, makanya baru bisa berdagang dua hari lagi.”

“Saya bukan mau meminjam uang, Kak.” Aku menatap mata Kak Ujong yang menyorotkan kekesalan. Mungkin dia berpikir kalau kedatanganku malah menambah beban hidupnya. Aku jadi tak enak hati jika dia merasa kehadiranku membuat pusing pikirannya. “Lagi pula, perjanjian itu sudah lewat dan tidak bisa diperbaiki. Saya cuma mau berkeluh kesah saja. Maafkan saya.”

Kak Ujong mematikan rokoknya di asbak. Kali ini dia terlihat bersalah mendapatiku yang begitu lemah dan sedih. Barangkali dengan menghentikan kegiatan merokok, dia mau terlihat ikut prihatin dengan masalah yang tengah aku hadapi. “Harusnya, Bapakmu berdiskusi dulu dengan kita. Saya pikir, kita bisa mengusahakan meminjam uang, menggadaikan sesuatu yang kita punya, atau menjualnya. Itu bisa kita lakukan di kota, Rad. Tapi sayangnya, Bapakmu malah memilih perjanjian adat untuk mendapatkan biaya pengobatan Ibumu.”

“Waktu itu Bapak pasti terdesak, Kak,” imbuh Kak Amelia. Bagaimanapun dia tetap membela Bapak. Dia tidak mau kalau Bapak yang paling disalahkan. Aku paham apa yang dipikirkan Kak Amelia. “Bapak tidak bisa berpikir jernih, apalagi Ibu membutuhkan pertolongan yang cepat. Saat itu ternyata Ibu sakit radang usus buntu dan harus dioperasi.”

“Iya, saya paham soal itu,” timpal Kak Ujong, lalu dia kembali menatapku. “Bapakmu kurang menghitung hari. Sebulan lalu Bapakmu baru datang ke sini meminta bantuan saya. Tentu saja waktu segitu sulit untuk mencari pinjaman. Susah juga untuk menggadaikan atau menjual sesuatu di kota. Kalau saja sejak dua atau tiga bulan sebelumnya, mungkin kita masih keburu bisa mendapatkan apa yang akan kita usahakan.” Dia diam sejenak.

Aku terus menyimak. Aku ingin dengar dari sudut pandang Kak Ujong.

“Bapakmu malah marah-marah di sini, Rad. Katanya, saya tidak mau membantunya, padahal keadaan keuangan saya pun sedang menipis. Saya ‘kan perlu memberi nafkah ke anak dan cucunya. Bapakmu malah menyuruh saya untuk menjual motor saya. Itu ‘kan motor saya satu-satunya untuk pulang pergi ke pasar. Lagi pula, kalau dijual harganya tidak seberapa, paling-paling laku satu atau dua juta saja.” Kak Ujong menggeleng-geleng. Barangkali dia teringat dengan omelan Bapak yang membikin dirinya jengkel.

“Maafkan Bapak saya, Kak.”

“Ya, bagaimanapun Bapakmu itu mertua saya. Bapakmu orang tua saya juga. Sekesal apa pun saya pada Bapakmu, tetap saja saya harus memaafkannya.”

“Terima kasih, Kak.” Aku mengangguk pelan dengan sikap hormat. Sementara Kak Amelia tersenyum tipis menatap suaminya itu.

“Sebenarnya, perjanjian adat itu sudah tidak bagus lagi, Rad. Apalagi, isi dari perjanjian yang disepakati Bapakmu dengan Nek Jasingah, itu benar-benar tidak masuk akal karena terlalu memberatkan Bapakmu. Pastilah Nek Jasingah itu menjebak Bapakmu karena memang dasar gatal saja mau menikah denganmu, Rad.”

“Kak, pelankan suaramu,” kata Kak Amelia mewanti-wanti Kak Ujong. “Jangan sampai tetangga mendengar omonganmu barusan, bisa-bisa kita tertimpa masalah lagi.”

Kak Ujong mengangguk kepada Kak Amelia, lalu kembali menatapku dengan paras dan nada bicara yang sangat serius. “Dulu, perjanjian adat itu untuk membantu warga. Sekarang, setelah dusun ini dipimpin Nek Jasingah, perjanjian adat itu sebenarnya untuk mencekik warga yang sedang kesulitan.”

“Tapi, Kak, bukannya semenjak dipimpin Nek Jasingah dusun kita keadaannya lebih baik?” tanyaku yang penasaran. Aku sungguh ingin tahu apa yang dipikirkan Kak Ujong tentang kepemimpinan Nek Jasingah.

“Pemimpin itu haruslah laki-laki. Kalau perempuan, ya bisa hancur dusun ini,” cetus Kak Ujong dengan mantap kendati suaranya pelan.

Lihat selengkapnya