Pelantikan dilaksanakan di balai dusun disaksikan semua Ketua Mukim dan masyarakat. Setelah sah menjadi Kepala Mukim, saya diminta berpidato di depan semua orang. Dalam dada saya bergetar hebat tersebab merasa memiliki kuasa sepenuhnya atas Dusun Mukim. Kepercayaan diri saya meningkat. Tegak saya melihat semua perangkat dusun dan masyarakat. Dengan suara mantap dan sikap tegas, saya mengatakan banyak hal dan rencana yang akan lebih menyejahterakan warga dusun. Saya mendapatkan tepuk tangan meriah dan dukungan hebat dari semua orang. Saya kian senang.
Tersebab tahun itu ada tiga Ketua Mukim yang sudah sepuh, saya mengusulkan mengganti mereka dengan yang lebih muda. Saya katakan pada semua orang bahwa ketiga Ketua Mukim itu sudah waktunya beristirahat. Ketiganya patut hidup damai dengan uang pensiunan setiap bulan yang lebih besar ketimbang masa kepemimpinan Bapak saya. Semua Ketua Mukim lantas semringah. Bendahara dusun yang sudah tua pun akan saya ganti dengan Pak Uli yang jauh lebih muda dan cekatan. Saya katakan kepada masyarakat, bahwa saya akan minta jatah pekerja lebih banyak kepada para cukong di pabrik-pabrik. Saya berjanji kepada kepala keluarga yang usia muda tidak akan ada yang menganggur. Sementara para orang tua atau kaum tua yang masih kuat bekerja tetap ditempatkan di kebun. Tidak hanya itu, saya juga akan meminta pemerintah setempat di luar dusun supaya mau memperbagus jalan. Saya ingin jalanan dari Dusun Mukim ke Kelurahan Makaba beraspal, sehingga hasil panen kebun dan lainnya bisa dibawa menggunakan mobil dengan lebih cepat dan tepat waktu. Sopir pun pasti lebih senang mengendarai mobil di jalan yang mulus. Bukan main warga makin gembira mendengar rencana saya. Sembari memandang anak-anak sekolah yang juga datang di hari pelantikan, saya katakan pada mereka kalau saya akan menyediakan mobil-mobil sekolah yang akan mengantar jemput mereka. Anak-anak hanya tinggal duduk manis dan fasilitas itu gratis. Bukan main anak-anak berloncatan saking bahagianya. Para sopir mobil sekolah akan saya beri upah. Belum sirna kekaguman semua orang, saya kembali berkata, bahwa siapa pun boleh mengajukan usul apa saja terkait untuk kepentingan atau kemajuan dusun. Itu adalah hal-hal baru yang saya ciptakan di Dusun Mukim.
Ketiga Ketua Mukim yang sepuh pun sudah saya ganti dengan yang muda. Jadi, kelima Ketua Mukim semuanya laki-laki yang usianya lebih muda ketimbang saya. Pertama, saya berpikir, laki-laki akan lebih mudah saya atur ketimbang perempuan. Saya harus menunjukkan kepada semua orang, bahwa saya yang sebagai perempuan bisa menjadi atasan atau pemimpin bagi laki-laki. Kedua, mereka akan lebih mudah menghormati saya tersebab usia mereka lebih muda ketimbang saya. Mereka akan segan terhadap saya. Apalagi, gaji mereka sudah resmi saya naikkan, sehingga mereka lebih patuh dengan semua yang saya katakan.
Saya merasa sangat puas menjalani hidup sebagai Kepala Mukim. Saya memegang kendali atas semua orang. Itu adalah hal yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya. Dulu, saya harus menuruti semua perkataan Bapak. Kini, semua orang wajib mentaati segala perintah saya.
Rencana yang sudah saya sampaikan kepada penduduk berjalan lancar. Satu per satu telah terlaksana. Lantaran ucapan saya sudah terbukti, masyarakat kian mengagung-agungkan saya. Kata mereka, kepemimpinan saya jauh lebih bagus ketimbang Ketua Mukim sebelumnya. Saya sangat puas mendengar itu. Rasanya saya sudah berhasil mengalahkan mendiang Bapak, seseorang yang dulu menjadi lawan tangguh saya. Kata warga, saya bisa dijadikan contoh, bahwa perempuan juga layak dan mampu menjadi pemimpin atau penguasa. Tersebab itu saya kian gembira.
Namun, rupanya apa yang saya miliki itu masih kurang. Ternyata saya belum menggenggam dunia sepenuhnya. Saya memang bahagia, tapi ada lubang menganga di hati saya. Lubang itu diisi kehampaan yang luar biasa. Di luar rumah, senyum saya terkembang dengan menawan. Di dalam rumah, segala pancaran kebahagiaan itu musnah. Saya membutuhkan belaian. Saya membutuhkan teman hidup. Saya membutuhkan laki-laki terkasih untuk berbagi. Saya menginginkan hubungan cinta kasih yang akan membawa saya terbang, dari ranjang sampai ke langit tertinggi.
Sebenarnya, sejak lama saya memperhatikan anak-anak laki-laki di dusun. Awalnya saya berupaya membatasi pandangan saya. Namun, lama-lama saya tak tahan. Saya membutuhkan hubungan intim. Saya menginginkan seks yang didasari rasa cinta. Saya sungguh ingin kepuasan akan kebutuhan biologis. Meski usia saya sudah 60 tahun, hasrat dan berahi itu masih menggebu-gebu. Mungkin lantaran sejak dulu saya belum merasakan kenikmatan atau kepuasan hubungan badan dengan seseorang yang saya inginkan.
Di dalam kamar saya menyeleksi remaja laki-laki yang patut saya tiduri. Saya ingin menikahi salah satu dari mereka. Namun, upaya itu sungguh tidak mudah. Sampai kemudian, Radana, Narangka, Yusfina, Boning, Ranggana, dan beberapa anak datang menemui saya. Mereka mengatakan bahwa waktu itu saya membolehkan warga dusun untuk mengusulkan apa saja, asalkan ada manfaat bagi warga dusun. Saya mengiakan itu. Rupanya mereka meminta saya mendirikan Rumah Baca. Mereka bilang, anak-anak di dusun ini tidak boleh kalah pintar dari orang luar. Saya langsung setuju, bahkan saya berjanji akan membantu menyediakan buku-buku. Saya katakan pada mereka bahwa saya akan membawa usul ini ke rapat dusun supaya segera disetuju oleh perangkat dusun. Namun, dengan satu syarat, Rumah Baca harus dibangun di halaman depan kediaman saya yang memang cukup luas. Mereka pun menyetujui dengan riang gembira.
Saya mengajak perangkat dusun untuk membicarakan rencana pembangunan Rumah Baca. Rapat itu hanya diisi tawa dan cengkerama. Sesungguhnya tidak ada pembicaraan serius. Kegiatan itu hanya formalitas. Maka, seusai melakukan persembahan terhadap leluhur supaya diberi kemudahan, Rumah Baca itu pun dibangun. Meski saya tidak percaya pada leluhur, tetap saja kegiatan itu wajib dilakukan. Biarlah masyarakat tetap percaya pada kekuatan leluhur atau nenek moyang yang bahkan tidak mereka kenal. Namun di luar itu, sesungguhnya saya-lah leluhur dan nenek moyang mereka sebenarnya. Saya-lah yang bisa mengabulkan apa saja yang mereka pinta. Saya-lah yang lebih patut diagung-agungkan. Bahkan, kalau perlu saya-lah yang seharusnya mereka sembah. Pasalnya, kehadiran saya lebih nyata manfaatnya ketimbang leluhur. Ya, saya-lah yang lebih mampu membikin hidup mereka lebih enak ketimbang nenek moyang yang tidak pernah terlihat. Derajat saya lebih tinggi ketimbang leluhur atau nenek moyang. Itu tak bisa diganggu gugat!
Rumah Baca itu seperti perpustakaan. Ada ruang penyimpanan buku dan ruang baca. Saya bukan hanya membantu menyediakan buku-buku, tapi juga makanan ringan dan minuman. Saya pun memberi tugas kepada Radana, Narangka, dan Yusfina untuk merawat Rumah Baca. Ketiganya senang sekali, apalagi mereka saya berikan upah sekadar untuk jajan. Mereka juga saya kasih kepercayaan memegang kunci Rumah Baca, sehingga mereka merasa jadi bagian dari orang penting di dusun ini.
Dari seberang beranda rumah, saya bisa memperhatikan anak-anak yang gemar bertandang ke Rumah Baca. Sesekali saya masuk untuk berpura-pura melihat mereka. Saya memberikan dukungan dan semangat kepada semua anak-anak. Kadang, tak tahan saya menahan gejolak dalam dada ketika melihat beberapa anak laki-laki yang menggemaskan hati. Sembari menyapa mereka, kadang saya mencandai sembari memegang, mengusap, dan meremas bagian tubuh mereka, seperti tengkuk, pipi, dada, paha, dan pantat. Tidak ada satu pun dari mereka yang marah atau risi. Mereka hanya terkekeh geli dan menganggap saya tengah mengajak bergurau.
Saya memang harus pandai menyenangkan hati para anak-anak. Dengan begitu, anak-anak akan lebih percaya kepada saya. Kalau anak-anak sudah nyaman dengan candaan saya yang sesekali memegang, meremas, dan mengusap, pelecehan itu akan mereka anggap biasa saja. Boleh jadi, mereka tidak tahu kalau gurauan dan semangat yang saya berikan mengandung pelecehan seksual.
Suatu hari menjelang sore saya masuk ke Rumah Baca. Waktu itu yang menjaga di meja depan hanya ada Narangka. Radana dan Yusfina mungkin masih di jalan sedang menuju ke sini. Di ruang membaca saya mendapati beberapa anak sedang serius membaca buku. Rata-rata mereka masih sekolah SD dan SMP. Ada tiga kelompok kecil yang sedang berdiskusi entah tentang apa, mungkin mereka bercakap-cakap soal buku atau pelajaran. Anak-anak melihat saya dan langsung tersenyum sambil mengangguk hormat. Saya pun membalas senyuman mereka dengan semringah. Kemudian saya melihat Boning duduk sendirian di sudut ruangan. Saya pun mendekati remaja yang masih duduk di kelas satu SMP itu.
“Boning, kamu sedang membaca apa?” Saya berdiri di depan Boning yang kaget lantaran kehadiran saya.
“Eh, ada Nek Moyang.” Boning tersenyum. “Saya sedang membaca buku tentang hewan, Nek,” lanjutnya menjelaskan.
“Bagus itu. Kamu pasti nanti jadi anak yang pintar,” puji saya sembari merapat ke sisinya. Saya suka mendekati Boning tersebab dia senang membaca buku sendirian dan di pojok ruangan. Saya duduk di sebelahnya, lalu menunjuk buku yang sedang dilihatnya. “Ini hewan apa?” tanya saya iseng supaya dia percaya kalau saya sedang mengetes apa yang sudah dia pelajari.
“Ini gajah, Nek,” jawab Boning dengan percaya diri.
“Pintar kamu, Boning.” Saya mengusap-usap pipinya. “Gajah itu tubuhnya besar dan kuat.”
“Iya, Nek. Badan saya juga besar loh, Nek.” Boning terkekeh.
Boning yang agak gemuk semakin terlihat menggemaskan. Rasanya saya ingin melumatnya dan menelannya bulat-bulat. “Coba kamu berdiri, saya mau melihat seluruh badanmu.”
Boning berdiri dengan polosnya.
Saya mengusap-usap dan memijat-mijat tubuhnya. “Iya, ya, badanmu besar,” kata saya, kemudian meremas-remas bokongnya. “Kamu pasti kuat seperti gajah.” Saya terkekeh sembari terus menggerayangi tubuhnya.
Boning ikut tertawa pelan. “Tapi saya belum pernah melihat hewan-hewan di buku ini secara langsung, Nek.” Kedua mata Boning menerawang. Dia mungkin membayangkan melihat semua binatang dalam buku itu.
“Nanti saya akan mengusulkan ke perangkat dusun supaya kita bisa bertamasya ke kebun binatang.”
“Sungguh, Nek?”
“Mana pernah saya berbohong?” Saya menatap Boning sembari mengusap-usap pipinya. “Sering-seringlah datang ke sini, Bon, biar kamu kian pintar.” Saya mencium pipinya dengan gemas, lalu meninggalkannya dengan perasaan puas.
Lain waktu saya mendekati Ranggana yang juga seusia Boning. Hari itu Ranggana sedang berada di antara rak buku. Saya lantas mendekatinya yang tengah memilih buku yang mau dia baca. Kebetulan sekali siang menjelang sore itu Rumah Baca sedang sepi. Sementara Narangka, Radana, dan Yusfina sedang bersama anak-anak di ruang baca.
“Mau membaca buku apa, Rang?”
“Selamat sore, Nek.” Ranggana mengangguk hormat. “Saya mau membaca buku sejarah.” Dia melangkah ke ujung rak.
“Bagus itu. Kelak kamu bisa menjadi sejarawan. Hebat!” kata saya menyanjungnya sembari mengacungkan jempol tangan kanan.
“Sejarawan itu apa, Nek?” Ranggana menatap saya dengan sorot mata penasaran.
Saya mendekatinya. Saya memepet tubuhnya. “Ahli sejarah,” jawab saya kemudian.
“Wah, saya ingin sekali menjadi orang yang banyak tahu soal sejarah.” Ranggana tampak antusias.
“Tentu saja kamu pasti bisa seperti yang kamu mau. Yang penting kamu sering datang ke sini untuk membaca banyak buku, sehingga kamu mendapat pelajaran tambahan selain di sekolah.” Saya mencubit gemas pipinya.
“Pasti, Nek.”
“Omong-omong saya lupa. Kamu sudah disunat atau belum, ya?” Saya menatap Ranggana dengan serius, tapi dengan ekspresi bersahabat sehingga dia terus merasa nyaman.
“Sudah, Nek.”
“Yang benar?” Saya meremas bokongnya sambil terkekeh.
Ranggana tertawa kecil. “Benar, Nek.”
Saya menyentuh kemaluannya. “Yang benar ini sudah dipotong?” tanya saya disudahi dengan terkekeh. Saya mau dia berpikir saya sedang berkelakar.
Ranggana kembali tertawa. “Aduh,” katanya mungkin agak sakit karena saya meremas dengan gemas tititnya itu. “Benar, Nek,” sahutnya lagi.
Saya memperhatikan sekitar. Lantaran masih sepi, saya pun kian berani. Saya berjongkok di depannya. “Mana coba Nenek mau lihat,” kata saya yang tak puas memegang kemaluannya dari balik celana. Saya ingin meremasnya secara langsung.
Ranggana menurunkan ritsleting celananya. Saya menarik tititnya itu dari balik celana dalamnya. Saya mengelus dan meremas kemaluannya itu. “Iya, ternyata benar kamu sudah disunat.” Tititnya menegang.
Saya memperhatikan Ranggana agak meringis. Mungkin dia keenakan atau agak kesakitan. Saya gemas sekali. Tak tahan rasanya ingin mengulum titit yang kini sudah ereksi itu.
“Sudah ya, Nek. Malu.” Ranggana terkekeh.
Saya melepaskan titit menggemaskan itu sembari tertawa pelan. “Kamu pasti jadi kian sehat karena sudah disunat.”
“Iya, Nek.” Ranggana mengangguk sembari tersenyum.
Saya berlalu dari hadapan Ranggana dengan batin terpuaskan meski untuk sementara. Besok-besok jiwa dan raga saya pasti menangih untuk berbuat seperti itu lagi. Sulit sekali saya untuk menghindari hasrat menggerayangi tubuh anak laki-laki. Apa yang saya lakukan akan terus berulang tersebab sangat menyenangkan, dan yang paling penting batin saya terpuaskan.