Pagi ini aku sarapan bersama Bapak dan Ibu. Aku terpaksa karena mau menenangkan hati Ibu agar tahu bahwa aku tidak memusuhi Bapak sepanjang waktu. Bapak juga belum mau mengajak aku bicara. Sepertinya Bapak gengsi kalau membuka obrolan lebih dulu. Sedangkan aku juga malas jika harus mengajak beliau bercakap-cakap. Aku masih mau berusaha menyelesaikan perkara perjanjian adat itu tanpa harus menikahi Nek Jasingah. Barangkali nanti Yusfina punya jalan keluar.
Sekarang Bapak sudah ke kebun. Sementara aku kembali mendapati Ibu sedang melamun. Menjelang siang ini aku mendekati Ibu yang duduk di balai-balai beranda depan rumah. “Bu,” sapaku seraya duduk di sebelahnya, “jangan sering melamun,” lanjutku yang tak tega melihat Ibu seperti tidak bergairah lagi menjalani hidup ini.
“Bagaimana Ibu tidak memikirkan nasibmu, Rad? Cita-citamu sudah kandas karena kamu harus menikahi Nek Moyang.” Ibu menatapku sedih.
Aku diam. Kendati aku masih bisa meminta pendapat pada Yusfina, tetapi perkataan Ibu barusan tidak sepenuhnya salah. Sebenarnya, aku tidak yakin Yusfina memiliki jalan keluar dari perkara yang tengah aku hadapi. Aku sesungguhnya sedang membesarkan hatiku saja, bahwa ada keadaan di mana perempuan bisa lebih pintar daripada laki-laki, tetapi di lubuk hati terdalam aku tidak percaya itu. Kak Amelia dan Kak Ujong saja yang lebih dewasa menyarankan aku untuk kabur dari dusun, apalagi Yusfina yang masih muda dan belum cukup pengalaman hidup, bisa-bisa dia nanti malah membisu.
“Kasihan kamu dan Yusfina harus berpisah. Maafkan kesalahan Ibu, ya.” Ibu mengembuskan napas melalui mulut. Parasnya menampilkan kekecewaan dan ketidakberdayaan.
“Ibu tidak salah. Sudahlah, Bu. Saya akan terus membahagiakan Ibu meski harus menikahi Nek Jasingah.” Aku memaksakan diri tersenyum. Aku harus terlihat kuat di hadapan Ibu kendati kedalaman hatiku berantakan.
“Orang rendahan seperti kita ini memang sering tertekan. Ketiadaan uang membuat kita makin sulit. Semuanya memang butuh uang. Kadang, Ibu berpikir bahwa uang adalah Tuhan yang sesungguhnya. Uang dikejar dan dipuja banyak orang. Uang—”
“Bu, tidak boleh ngomong seperti itu,” selaku yang tak tahan mendengar kepahitan ucapan Ibu. “Sekarang saya mau ketemu dengan Yusfina. Tolong Ibu doakan agar kami bisa baik-baik saja bagaimanapun nanti keputusannya.”
Ibu tersenyum tipis.
Aku berpamintan, lalu menuju rumah Yusfina.
***
Siang ini aku bertandang ke rumah Yusfina. Aku disambut baik oleh Pak Jaraka. Orang tua Yusfina itu juga dipanggil ‘Pak Ustaz’ oleh warga. Pak Jaraka memang sering menjadi imam di musala. Beliau juga salah satu guru mengaji di dusun ini. Namun, yang aneh—sekaligus membuat Yusfina sedih—adalah Pak Jaraka yang seolah memiliki dua Tuhan, yaitu Allah Swt. dan leluhur. Pak Jaraka tentu saja rajin beribah, baik yang wajib maupun yang sunah. Namun, dia juga gemar memberikan sesajen kepada leluhur. Selain itu, Pak Jaraka juga sebagai amil nikah di Dusun Mukim. Beliau bagian dari perangkat dusun yang mengurusi pernikahan.
Aku pernah masuk ke rumahnya. Aku mendapati sebuah meja di ruang paling belakang. Dia meja itu ada tampah berisi sesajen. Kata Yusfina, sehabis salat dan berdoa kepada Allah Swt., Pak Jaraka juga sering berdoa kepada leluhur. Yusfina juga pernah bertutur, di beberapa keadaan, Pak Jaraka terlihat justru lebih mengandalkan leluhur daripada Allah Swt.. Pak Jaraka malah tampak lebih khusyuk meminta kepada leluhur daripada kepada Allah Swt.. Sementara Yufina tidak berani memberi tahu Pak Jaraka kalau yang diperbuat Bapaknya itu adalah kemusyrikan.
Di luar rumah, Pak Jaraka sering diminta memimpin doa oleh tetangga yang mengadakan selamatan. Namun, doa-doa kepada Allah Swt. itu disertai pula dengan permohonan selamat kepada leluhur, dan tentu saja menggunakan sesajen. Selain itu, beliau juga menjadi orang kepercayaan Nek Jasingah dalam kegiatan ritual adat. Beliau kerap kali yang memimpin permohonan kepada leluhur. Entah apa yang beliau baca jika sedang berkomat-kamit sambil membakar kemenyan.
Pak Jaraka memanggil Yusfina karena kedatanganku. Setelah Yusfina keluar, aku berpamitan kepada Pak Jaraka. Aku juga meminta izin beliau untuk mengajak Yusfina ke Rumah Baca. Dalam hatiku memohon maaf karena telah membohong Pak Jaraka. Sebab, aku tidak ada niatan pergi ke Rumah Baca. Aku berdusta agar Pak Jaraka berpikir aku dan Yusfina akan belajar di sana.
Aku mengajak Yusfina ke sisi sungai, tempat biasa kami sesekali berkumpul. Aku katakan padanya bahwa ada hal penting yang perlu aku diskusikan dengannya. Aku dan Yusfina duduk dengan perasaan yang tidak mengenakkan. Barangkali Yusfina sudah tahu apa yang terjadi denganku. Kendati menerka seperti itu, aku tetap menceritakannya dengan detail.
“Saya sebenarnya sudah tahu, tapi tidak sebanyak yang tadi kamu ceritakan.” Yusfina memandang lurus ke depan. Dia kembali diam. Entah apa yang dia bayangkan di aliran sungai.
Aku ikut bungkam. Entah sudah berapa banyak penduduk yang tahu perkara perjanjian adat yang dilakukan Bapak. Rupanya keluargaku telah menjadi buah bibir di dusun ini.
“Sekarang kamu maunya bagaimana?” tanya Yusfina menatap aku.
Aku balas menatapnya. Aku bingung karena terguncang dengan pertanyaannya itu. Kendati sejak awal aku sudah pesmis dengannya, tetapi bukti yang terjadi ini menggetarkan hatiku. “Justru saya yang mau minta pendapatmu. Mungkin kamu punya solusi terbaik untuk hubungan kita.”
“Hubungan kita sudah tidak bisa diselamatkan,” timpal Yusfina membuat hatiku nyeri.
“Kenapa tidak bisa diselamatkan?” Aku menahan tangis mendapati mata Yusfina berkaca-kaca.
“Kita tidak bisa melawan Nek Jasingah. Dia Kepala Dusun, Rad. Dia orang kuat. Dia punya kuasa.” Yusfina menangis.
Aku tak tahan melihat air matanya jatuh. Sebisa mungkin aku tidak ikut terisak. Aku harus terlihat tegar di hadapan Yusfina yang kali ini sedih dan lemah.
Sambil menangis, Yusfina kembali bicara, “Nek Jasingah itu punya jabatan tertinggi di dusun ini. Dia bisa melakukan apa pun yang dia mau. Sementara kita hanyalah anak muda yang cuma punya semangat. Kalau kita melawan itu sama saja segalanya jadi tamat. Kita bakal hancur. Bisa-bisa hidup kita dibikin sengsara.”
Tidak mampu lagi aku membangun bendungan di pelupuk mata. Jebol sudah pertahananku. Tanpa suara tangis, air mataku berjatuhan. Sementara kedalaman dadaku terasa begitu berantakan. Aku paham betul ucapan Yusfina barusan. Aku tidak bisa menyalahkannya jika memang pilihan terbaik hanya menyerah. Sungguh, itu jalan yang masuk akal bagi kami. Apa yang dia katakan sangat realistis.
“Kalau memang kamu tidak mau menikahi Nek Jasingah, satu-satunya jalan kamu harus pergi dari dusun ini. Saya akan rela melepasmu.” Yusfina diam sejenak. “Saya pasti sakit melihatmu bersanding dengan perempuan lain, tapi itu bisa saya tahan. Yang akan membunuh saya adalah ketika saya tahu kamu dipaksa mencintai perempuan yang tidak kamu cintai. Karena dengan begitu kamu sama saja melukai dirimu sendiri. Kamu pasti lebih sakit daripada saya,” sambungnya sambil sesekali menyeka air matanya.
Ucapan Yusfina barusan membuatku terpikir satu hal. Maka kemudian aku menguatkan apa yang terlintas dalam kepalaku. “Apa kamu mau ikut kalau saya pergi dari dusun ini? Soal biaya hidup, saya pasti mengusahakannya. Saya akan kerja apa pun asalkan kita bisa makan.”
Yusfina tersenyum kecut, sementara air matanya terus bercucuran. “Saya tahu kamu cinta sama saya. Saya pun begitu sama kamu. Tapi maaf, saya tidak bisa jika harus kabur dari rumah. Saya tidak bisa meninggalkan orang tua saya.”
Kali ini aku yang tersenyum masam. “Saya mengerti, dan kamu tak perlu merasa bersalah. Kamu memang harus lebih mencintai orang tuamu daripada cinta kepada saya. Kamu harus lebih menghormati orang tuamu daripada hormat kepada saya. Kamu memang harus memilih orang tuamu daripada tetap bertahan sama saya. Bagaimanapun, cinta kasih orang tuamu lebih tinggi daripada kasih sayang yang bisa saya berikan.”
Yusfina menyeka air mataku. Aku pun menyeka air matanya. Kami berpelukan sambil menangis sejadi-jadinya. Barangkali ini terakhir kali kami bisa bersama dalam kedekatan seindah ini. Ya, indah sekaligus sakit. Bisa jadi besok dan seterusnya kami tidak bisa bertemu dengan bebas. Bukan hanya karena hubungan kami sudah hancur, tetapi juga perasaan cinta yang justru membatasi pertemuan. Sebab jika kami bertemu, itu sama saja saling melukai. Ketika pandangan kami bertemu, ada harapan yang terlihat hancur. Itu sungguh menyakitkan.
***
Malamnya aku tidak bisa tidur. Segalanya telah buntu. Aku tidak punya harapan lagi. Aku benar-benar sendirian. Tadi Ibu sempat bertanya padaku perihal hasil obrolanku dengan Yusfina. Aku katakan pada Ibu kalau kamu berpisah. Ibu lagi-lagi meminta maaf. Aku kesal dan sedih mendengarnya seperti itu. Aku sampaikan pada Ibu kalau aku memang harus memilih Ibu daripada Yusfina. Bagaimanapun, Ibu adalah segalanya buatku.
Aku yang berbaring di ranjang memandang langit-langit kamar, tetapi pandanganku menembus jauh ke waktu yang lalu. Aku masih ingat betul saat-saat terindah kebersamaanku dengan Yusfina. Kami pernah memancing ikan di sisi sungai. Kami berlomba siapa yang lebih dulu dapat ikan adalah pemenang. Itu adalah hal yang mengasyikkan kendati tidak ada hadiahnya. Malah, kadang kami tidak mendapat ikan sama sekali, tetapi kami bisa tertawa lepas dengan senang hati. Apalagi, kadang Narangka muncul dan dengan jailnya melemparkan batu ke pelampung pancing, tujuannya agar tidak ada ikan mendekati kail.
Di lain waktu, kami mengejar kupu-kupu yang beterbangan di tanah lapang. Kami tidak berniat untuk menangkap serangga bersayap lebar itu. Kami berlari dengan merentangkan kedua tangan sambil membayangkan ikut terbang. Kami hanya ingin menciptakan kegiatan yang menyenangkan selain membaca buku. Dengan berlari seperti itu juga kami berolahraga. Badan berkeringat dan tubuh tetap sehat. Kadang, Narangka tiba-tiba hadir mengejar kami sambil berteriak kalau dia burung pemangsa. Kalau sudah begitu, keadaan jadi lebih ceria.
Selain itu, kami juga sesekali bermain egrang bersama teman-teman lainnya. Permainan ini bisa melatih keseimbang fisik karena pemain berjalan menggunakan dua tongkat yang dipijak pada kedua batang bambu. Biasanya, kami adu cepat dari satu titik ke titik lainnya. Tentu saja kegiatan ini melahirkan gelak tawa. Sebab, ada saja pemain yang tidak bisa menjaga keseimbangan dan akhirnya terjatuh atau terpaksa kembali berpijak ke tanah.
Yang tidak kalah mengasyikkan adalah katapel yang terbuat dari kayu atau batang pohon bercabang dua atau berbentuk huruf Y. Kedua ujung batang itu diikat tali karet. Lalu, di ujung kedua tali itu diikatkan karet atau plastik persegi, tempat untuk melontarkan tanah kering atau batu kecil. Permainan ini membuat pemainnya berkonsentrasi dalam upaya mengenai sasaran. Kami menaruh botol dengan jarak beberapa meter yang akan kami kenai dengan tanah kering atau batu menggunakan katapel tersebut.
Bermain bersama angin. Kalimat itu biasanya kami lontarkan untuk mengajak teman-teman bermain layangan. Di tanah lapang kami menerbangkan layang-layang yang terbuat dari kerangka bambu yang dibalut dengan kertas. Layangan itu dikaitkan dengan tali atau senar panjang yang diulur agar layangan bisa terbang jauh dan tinggi. Tali atau senar itu juga menjadi alat kendali si pemain.
Permainan yang tidak kalah seru adalah petak umpet, di mana satu orang penjaga harus menemukan pemain lainnya yang bersembunyi. Pernah suatu hari Narangka yang menjadi penjaga. Dia sungguh kesulitan mencariku dan Yusfina. Dia menghitung dari 1 sampai 10 dengan posisi mata terpejam dan muka menghadap ke batang pohon. Dari sisi tanah lapang itu dia mengira aku dan Yusfina bersembunyi di pepohonan di sekitar lapangan. Padahal, aku mengajak Yusfina ke warung untuk jajan dan bersantai di sana. Sampai beberapa saat kemudian, dengan wajah lelah Narangka mendapatiku dan Yusfina di warung itu. Narangka marah-marah, sementara aku dan Yusfina malah tertawa.
Akhirnya aku kembali ke masa kini, di mana aku harus merelakan kebersamaan indah itu yang hanya tinggal cerita. Aku tidak akan bisa lagi bermain dengan Yusfina disertai gelak tawa. Kebahagiaan itu telah jadi air mata.
Aku bangkit dari posisi telentang sambil mengembuskan napas panjang. Aku duduk di tepi ranjang dengan pikiran yang semakin ruwet. Barangkali wajahku sudah tampak teramat lelah. Aku mengusap wajah berulang kali. Aku mengacak-acak rambut karena kesal sendiri. Tidak ada lagi sandaran. Aku benar-benar telah sendirian. Sekarang aku sepenuhnya sadar, bahwa tidak ada lagi orang yang bisa menolongku. Sepertinya tali perjanjian adat itu memang sudah mengikat kuat leherku. Saat ini aku hanya diulur seperti layang-layang. Aku dibiarkan melayang terombang-ambing di ketinggian yang entah. Sementara Nek Jasingah yang memegang tali senarnya. Di waktu yang diinginkan, dia hanya tinggal menarik tali senar itu sehingga aku bisa jatuh tersungkur di depannya, dan bertekuk lutut tidak berdaya.
Karena kesendirian yang semakin menghancurkan, aku jadi berpikir ulang. Sejauh ini aku takut pada ketakutan yang belum tentu terjadi. Aku membayangkan kepergianku dari dusun akan membuat Ibu mati. Bagaimanapun aku tidak mau Ibu malu, rendah diri, lalu bunuh diri. Namun, apa yang aku bayangkan atau khawatirkan itu bisa jadi tidak pernah terjadi. Setelah kehilanganku, Ibu memang mendapat aib dan rendah diri, tetapi beliau bisa jadi mencoba tegar. Sampai kemudian Ibu menjadi kuat dan mampu menerima bahwa aku telah minggat dari hidupnya. Lantas Ibu bisa bersikap bodoh amat akan omongan orang lain, dan beliau mampu kembali menjalani hidup seperti sedia kala. Ya, barangkali nanti Ibu menganggap aku telah mati, dan menerima itu dengan lapang dada. Siapa yang tahu?
Aku menoleh ke jendela seraya berdiri. Aku melangkah mendekati tingkap yang tidak berkaca itu, lalu membukanya. Aku membiarkan angin malam yang dingin membelai wajahku. Tiba-tiba saja ada teriakan keras dalam kepalaku, bahwa kalau Yusfina tidak bisa memilikiku, Nek Jasingah juga tidak boleh memilikiku. Ya, aku harus adil di keadaan yang terpojok ini. Karena aku tidak bisa bersama dengan Yusfina lagi, aku juga tidak boleh hidup bersama Nek Jasingah. Aku harus pergi!
Dengan cepat aku berkemas. Aku memasukkan beberapa pakaian ke tas punggung. Aku juga membawa uang tabungan yang tidak seberapa dari laci lemari pakaian. Aku mengganti pakaian dengan celana panjang dan kaus yang dibalut dengan sweter. Aku juga mengenakan sepatu yang biasa aku pakai bersekolah. Setelah memantapkan niat itu, aku memejamkan mata untuk membayangkan wajah Ibu dan Bapak. Dalam hatiku meminta maaf pada mereka.
Aku keluar dari rumah melalui jendela kamar. Setibanya di luar, aku berada di bagian kiri rumah jika dilihat dari depan. Aku memperhatikan sekitar, kiranya tidak ada tetangga yang melihatku. Sekarang sudah lewat jam dua belas malam, itu artinya pihak keamanan dusun sedang berpatroli.
Aku mengendap-ngendap melewati halaman depan. Aku celingak-celinguk ke kiri dan kanan jalan. Di ujung sebelah kanan, aku mendapati dua penjaga keamanan dusun yang tengah berjalan ke arahku. Dengan sigap aku bersembunyi di balik pohon. Keduanya melangkah santai sambil bercakap-cakap. Sesekali mereka memandang ke rumah-rumah penduduk, memastikan keadaan tetap aman. Kadang mereka menyorot area sepi menggunakan senter.
Sebenarnya, dusun ini sangat aman dari maling atau perampokan. Selama hidup di sini, aku tidak pernah mendengar ada rumah warga yang kemalingan. Namun, pihak keamanan adalah bagian penting dari perangkat dusun. Tentu saja untuk membuat rasa nyaman warga. Bisa pula untuk membantu bila ada warga yang membutuhkan pertolongan dengan segera.
Tidak sulit bagiku untuk keluar dari dusun ini. Aku lahir di sini dan kenal betul bagaimana keadaan dusun. Sebelumnya, aku takut pergi dari sini bukan karena khawatir ketahuan pihak keamanan dan mendapat hukuman, tetapi lebih waswas pada keadaan Ibu setelah aku hilang. Namun sekarang, kewaswasan itu telah sirna. Dengan mantap dan yakin, aku memutuskan harus pergi dari keadaan busuk ini.
Aku memasuki satu kebun ke kebun lainnya. Sampai aku tiba di dusun sebelah. Aku juga bergerak hati-hati agar tidak terlihat oleh pihak keamanan dusun di tempat tinggal Kak Amelia. Aku tiba di rumah Kak Ujong dengan napas agak tersengal. Bukan karena lelah berjalan kaki, tetapi capek karena harus lebih berhati-hati. Aku tidak mau ditangkap penjaga dusun, lalu diserahkan ke Nek Jasingah karena dianggap maling, lalu mendapat hukuman.
Aku mengetuk pintu belakang rumah Kak Ujong beberapa kali. Sesekali pula aku memperhatikan sekitar. Aku khawatir ada orang yang mendapatiku dengan posisi tak wajar seperti itu. Ya, mana ada tamu datang dari pintu belakang di tengah malam buta?
Kekhawatiranku akhirnya sirna ketika Kak Amelia membuka pintu. “Radana …?” Dia terkejut. Dengan muka yang kantuk dan lelah, dia mengajakku masuk.