Saya berpikir berulang kali untuk bisa mendapatkan Radana. Saya tahu betul dia anak yang pandai dan berani. Boleh jadi, kelak dia akan berontak karena dipaksa Pak Rado untuk menikahi saya. Kalau dia sampai nekat mau pergi dari dusun, saya harus memastikan kalau dia tidak bisa langsung terbebas dengan mudah. Saya harus membikin kurungan berlapis.
Saya menelepon Pak Uli untuk datang ke rumah. Seperti biasa, dengan sigap dan cepat di sudah berada di hadapan saya.
“Duduk, Li.” Saya menunjuk bangku di depan saya.
“Ada yang bisa saya bantu, Nek?” tanya Pak Uli seraya duduk.
“Sudah dapat informasi dari anak buahmu, belum?”
“Mengenai apa, Nek? Saya ‘kan banyak mengurus sesuatu.” Pak Uli terkekeh.
Tidak ada satu pun perangkat dusun yang berani tertawa seperti itu di hadapan saya, terlebih tentang apa yang saya tanyakan. Pak Uli memang yang paling dekat dengan saya, sehingga dia merasa lebih nyaman dan tidak tegang bila berhadapan dengan saya. “Guru Radana di sekolah. Tempo hari ‘kan saya sudah suruh kamu mencari tahu, siapa guru yang paling dekat dengan Radana. Sudah tahu?”
“Ohh … soal itu.” Pak Uli mengangguk-angguk pelan. “Namanya Harun, Nek. Masih muda. Sudah menikah dan baru punya anak satu.”
“Bagus.” Saya tersenyum tipis. “Ada informasi selain itu mengenai si Harun?”
“Anaknya sedang sakit dan dirawat di rumah sakit.”
“Lekas cari tahu anaknya sakit apa sampai dirawat begitu,” tegas saya kemudian. Keadaan itu bisa sangat membantu rencana saya.
Pak Uli malah terkekeh. “Tidak perlu,” tandasnya kemudian.
“Kenapa?” Saya agak marah.
“Saya sudah tahu.” Pak Uli terkekeh. Rupanya dia mencandai saya.
“Sialan kamu, Uli.” Saya ikut tertawa.
“Anaknya itu sakit demam berdarah. Baru satu hari dirawat, dan kemungkinan sampai beberapa hari baru bisa sembuh.”
“Ah, keadaan itu tidak memerlukan biaya besar yang sekiranya mampu menekan hidupnya, Li.” Saya kecewa. Saya berharap Pak Harun tengah mengalami saat-saat tersulit.
“Itu ‘kan baru satu masalah, Nek,” sahut Pak Uli cepat. “Tempat tinggalnya itu bukan rumah pribadi. Dia mengontrak dan sudah menunggak tiga bulan. Dia juga punya cicilan sepeda motor. Sementara itu, dua bulan belakangan ini istrinya sudah tidak bekerja, sehingga tidak bisa membantu keuangan keluarga. Kalau uang kontrakan saja menunggak, bagaimana bisa dia membayar cicilan kendaraan dan biaya rumah sakit?” Dia terkekeh senang.
“Benar juga apa katamu.”
“Penghasilannya sebagai guru juga tidak bagus-bagus amat. Nek Moyang tahu sendiri, penghasilan guru honorer di daerah tidak lebih bagus dari pekerja di kebun tanah adat.” Pak Uli tertawa keras.
Saya jadi ikut terkekeh geli. “Kalau begitu, antarkan saya menemuinya,” pinta saya kemudian.
***
Saya mengusap kening anak Pak Harun yang sedang terlelap. Saya duduk di kursi, sementara Pak Uli dan Pak Harun berdiri. Ini ruangan kelas 3, di mana dalam satu kamar diisi beberapa pasien.
Pak Harun melihat Pak Uli menaruh sekeranjang buah ke nakas. “Ini untuk anakmu, Pak, supaya lekas sehat.”
“Terima kasih, Pak Uli.” Pak Harun mengangguk hormat. Lalu dia menatap saya, “Terima kasih juga Nek Moyang mau menjenguk anak saya. Padahal, saya bukan siapa-siapa. Saya bukan orang penting. Sungguh, kedatangan Nek Moyang membuat saya terharu dan merasa tersanjung.” Dia mengangguk hormat kepada saya.
“Jangan bicara begitu,” sahut saya. “Kamu itu guru, dan guru adalah orang penting. Kalau tidak ada guru, anak-anak tidak akan jadi pandai. Guru-lah yang membikin negeri ini lebih pintar. Tapi ya memang hidup kadang tak adil. Kehebatan para guru, apalagi yang honorer sepertimu dan jauh dari ibu kota, sayangnya tidak terlalu diperhatikan negara. Kamu tidak dihargai pemerintah. Tidak ada penghormatan yang sekiranya membikin hidupmu sejahtera. Saya tahu gajimu kecil.” Saya menatap Pak Harun yang mulai risi dengan ucapan saya barusan.
Pak Harun tersenyum masam. “Mungkin ini sudah jalan hidup saya, Nek,” tandasnya kemudian dengan nada pasrah.
“Tidak,” timpal saya cepat. “Kamu masih bisa mengubah nasibmu.”
Pak Harun terdiam.
Saya ingin menikmati kebingungan dan kebimbangan Pak Harun dulu. Saya lalu mengubah pokok pembicaraan. “Di mana istrimu?”
“Saya suruh tidur di rumah, Nek, supaya bisa beristirahat dengan nyaman. Kalau di sini, tidak akan bisa tidur. Kami berjaga bergantian.” Pak Harun tersenyum tipis. Mungkin dia sedang mengusir rasa malu di hadapan saya.
“Tempat sempit begini ya tidak akan bisa tidur,” imbuh Pak Uli. “Dari satu ranjang pasien ke ranjang lainnya cuma disekat gorden. Tidak nyaman sekali ruangan seperti ini.”
Saya tersenyum mendengar ucapan Pak Uli. Rupanya dia mulai menyerang pertahanan Pak Harun.
“Ya, begitulah, Pak. Ini juga sudah syukur alhamdulillah saya masih kebagian kamar dan anak saya bisa ditangani dokter.”
“Pak Harun, kamu pasti juga tahu, kalau kamu mau mengubah nasib, kamu juga harus berusaha mengubahnya. Dalam agama Islam, itu juga diajarkan, bukan?” Saya menatap lekat-lekat Pak Harun yang kembali bingung dengan ucapan saya.
“Iya, Nek.” Pak Harun mengangguk. “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali mereka sendiri yang mengubahnya.”
“Tepat! Itu maksud saya. Jadi, Pak Harun bisa memperbaiki kehidupan Bapak.”