Setelah Kak Ujong dan Kak Amelia pulang, Bapak menyuruhku masuk ke kamar. Bapak berujar kalau aku tidak boleh keluar rumah tanpa persetujuan darinya. Bapak juga sempat memarahi Ibu. Kata Bapak, Ibu tidak boleh lemah, dan sudah waktunya Ibu bisa bersikap tegas terhadapku. Pokoknya, semua orang kena murka Bapak. Semenjak aku tahu Bapak terjerat perjanjian adat, beliau benar-benar menjelma menjadi sosok yang berbeda. Bapak jadi mudah marah dan curiga.
Aku duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk. Kesal sekali aku pada Bapak. Tega-teganya dia menyakiti seluruh anggota keluarga. Bukan hanya kasar secara verbal, tetapi tangan beliau sudah semakin enteng untuk menampar seseorang.
“Lihat sini!” seru Bapak.
Aku mengangkat wajah. Aku mendapati api amarah berkobar hebat di wajah Bapak.
“Sekali lagi kamu berani kabur dari rumah, akan Bapak pukuli,” ancam Bapak kemudian sambil menunjukkan kepalan tangannya.
Aku tidak menanggapi ucapan Bapak. Aku hanya bisa berteriak memaki dalam hati.
Bapak mengambil kunci kamarku yang menggantung di lubang kunci, lalu memindahkannya ke lubang kunci di bagian luar. Beliau keluar kamar dan menutup pintu dengan kesal.
Klek! Klek!
Aku melihat pintu kamar yang sudah terututup rapat. Bunyi itu pertanda bahwa pintu tak lagi bisa aku buka dengan mudah.
“Pegang kunci ini. Jangan biarkan dia keluar kamar. Kalau dia mau ke kamar mandi, harus kamu awasi. Mengerti?”
“Iya, Pak,” sahut Ibu dengan suara pelan, tetapi terdengar jelas ke telingaku. Entah apa yang Ibu pikirkan setelah aku dikurung seperti ini.
Aku mengembuskan napas lelah. Aku pikir itu sudah berakhir, tetapi aku salah duga. Rupanya mengunci pintu kamar tidak membuat Bapak puas. Bapak memaku jendela kamar dari luar menggunakan beberapa papan kayu. Mendengar ketukan palu yang menghantam paku membuat jantungku seolah tertanam sembilu. Tubuhku agak gemetar menyaksikan itu.
Sampai sore aku merenung di kamar. Rasanya tidak ada lagi harapan akan kebebasan hidup. Segala diriku tampaknya telah dikuasai Nek Jasingah. Ah, tidak! Semua keluargaku sudah berada dalam genggaman perempuan tua itu. Jabatan tertinggi membuatnya mampu menguasai setiap jengkal dusun ini.
Kesendirian membuatku berpikir ulang. Selepas aku kabur dari dusun, ternyata Ibu tidak melakukan tindakan buruk apa pun. Selama tahu aku minggat dari rumah, Ibu tetap baik-baik saja. Saat aku terpaksa kembali ke sini, Ibu tidak melukai dirinya sendiri. Ibu memang tampak sedih, tetapi begitu lega mendapatiku telah berada di depannya lagi. Kesedihan Ibu justru seperti bukan karena kehilanganku, tetapi susah hatinya lebih tampak karena ketiadaanku akan digantikan sebuah aib keluarga. Bisa jadi, selama ini aku memikirkan keselamatan Ibu, tetapi Ibu tidak memikirkan keselamatanku. Barangkali, apa yang aku takutkan perihal tindakan Ibu karena kepergianku dari dusun itu memang tidak akan terjadi. Sepertinya, aku memang berdiri sendirian di dusun ini. Ya, sudah tidak ada lagi yang berada dalam posisiku. Sudah tidak ada lagi yang mau dan berani mendukungku.
Aku jadi kesal mendapati pemikiran itu. Aku merasa seluruh pikiranku tidak berbalas dan tidak dihargai. Narangka dan Yusfina jelas sudah tidak bisa diharapkan. Kak Ujong dan Kak Amelia juga sudah tidak berani membelaku. Sementara Ibu, ternyata tidak berada di pihakku. Bisa jadi, semua sikap dan perkataan Ibu terhadapku adalah kepura-puraan. Ya, Ibu pasti hanya ingin terlihat peduli terhadapku. Ibu bersandiwara seolah-olah selalu bertentangan dengan Bapak. Padahal, sesungguhnya di belakangku, Ibu selalu mendorong dan menyemangati semua yang Bapak rencanakan terhadapku.
Aku menggeleng-geleng kesal dengan terkaan itu. Semakin lama, dugaan itu aku yakini. Aku tidak bisa berdiam diri seperti ini. Aku tidak boleh seperti tahanan yang tinggal menunggu eksekusi hukuman mati. Kalau Bapak dan Ibu memiliki rencana untuk membunuhku, aku pun harus mempunyai rencana agar tetap hidup dan keluar dari kebusukan ini.
Kini aku bukan hanya bangkit dari ranjang, tetapi berdiri dari kepasrahan. Aku merapat ke pintu, lalu mengetuknya berulang kali. “Bu, saya lapar, Bu. Tolong bukakan pintu.”
Aku mendengar langkah mendekat.
“Nanti saja makannya setelah Bapak pulang dari kebun. Kita makan bersama,” sahut Ibu dari balik pintu.
“Bu, tapi saya mau sekalian kencing,” kataku dengan nada merengek.
Ibu tidak menanggapi. Barangkali tengah berpikir.
“Bapak ‘kan tadi bilang, kalau saya mau ke kamar mandi harus Ibu awasi. Ya sudah, Ibu awasi saja saya,” lanjutku berupaya menggugah pikiran Ibu agar segera membukakan pintu kamar.
Aku memang lapar, tetapi tidak terlalu. Aku juga ingin buang air kecil, tetapi masih bisa kutahan. Aku hanya ingin keluar dari kamar untuk melihat situasi, apakah aman bila aku kabur lagi?
“Tapi kamu jangan kabur lagi, ya?” ucap Ibu dengan nada khawatir.
“Iya, Bu, saya janji.”
“Kalau kamu kabur lagi, lebih baik Ibu mati bunuh diri,” timpal Ibu dengan ancaman.
Aku tersenyum tipis karena menganggap ucapan Ibu barusan adalah bualan. Aku sudah tidak percaya pada Ibu. “Iya, Bu, saya janji tidak akan kabur lagi,” tegasku kemudian.
Klek! Klek!
Ibu membuka pintu.
Aku mengembuskan napas lega.
“Ayo, ke kamar mandi.” Ibu meminta aku berjalan di depannya.
Aku masuk ke kamar mandi, sementara Ibu menjaga di depan pintu. Setelah menuntaskan hajat kecil itu, aku mencuci muka agar lebih segar. Aku kembali keluar dan ternyata Bapak sudah pulang dari kebun. Jelas saja, hari sudah mau gelap.
“Masuk lagi ke kamar!” kata Bapak memerintah dengan nada kasar.
“Ada yang mau saya bicarakan sama Bapak dan Ibu,” sahutku melihat Bapak dan Ibu bergantian. Aku menampilkan wajah seserius mungkin agar Bapak dan Ibu percaya bahwa apa yang mau aku utarakan adalah hal penting.
“Apa?” Bapak menatapku dengan sorot mata menyelidik.
“Saya akan mengikuti semua yang Bapak dan Ibu perintahkan,” jawabku yang malah membuat Bapak dan Ibu bingung. Bapak dan Ibu pasti mengharapkan itu, tetapi keduanya belum percaya dengan ucapanku.
“Termasuk menikahi Nek Jasingah?” Bapak menatapku lebih saksama.
“Iya, Pak.”
“Kamu jangan menipu kami,” kata Ibu menambahkan. Wajah beliau khawatir, tetapi ada kelegaan yang juga aku temukan di parasnya itu.
“Tidak, Bu,” timpal aku cepat.
Muka Bapak dan Ibu seketika berubah menjadi cerah. Kendati begitu, Bapak kembali bertanya, “Kamu yakin?” Bapak pasti ingin lebih memastikan.
“Tentu saja saya yakin, Pak.” Aku mengangguk tegas. “Setelah saya pikir-pikir, terlalu berat bekerja di kota untuk mendapatkan uang. Ternyata, dengan menikahi Nek Jasingah, saya pun bisa kaya. Bukan cuma itu, kelak saya bisa menjadi orang nomor di dusun ini. Keluarga kita akan sangat dihormati.” Aku tersenyum lebar.
“Betul! Harusnya sejak awal kamu berpikir seperti itu. Buat apa kamu pergi jauh ke luar pulau sampai ke ibu kota segala, sementara di dusun sendiri saja kamu bisa memperbaiki kehidupan keluarga? Perjanjian adat itu adalah cara leluhur untuk menaikkan derajat keluarga kita.” Bapak semringah.
“Iya, betul, Pak. Maafkan saya yang baru menyadari semuanya.” Aku tersenyum. “Kalau perlu, sehabis makan malam, Bapak dan Ibu temui saja Nek Jasingah, katakan padanya tidak perlu menunggu lagi, besok kita akan melamarnya. Bilang sama Nek Jasingah, penuhi semua janjinya yang mau menyiapkan semua perlengkapan lamaran dan pernikahan,” sambungku dengan mantap.
Bapak langsung menyentuh pundakku. “Kenapa tidak sejak awal kamu begini? Bapak ‘kan jadi tidak perlu memarahimu,” tandasnya disudahi dengan terkekeh senang.
“Sudahlah, Pak. Lebih baik sekarang kita makan bersama. Kita perbaiki hubungan kita yang sempat tidak harmonis. Bagaimana?” Aku berupaya keras untuk tersenyum.
“Bu, siapkan makanan.” Bapak menepuk pundak Ibu dengan wajah girang.
Setelah Bapak membersihkan diri, kami bertiga makan bersama. Sambil menikmati hidangan yang Ibu sajikan, kami bercakap-cakap untuk memulihkan ketegangan. Aku harus bisa membuat suasana keluarga kembali hangat. Aku harus mampu mengusir segala kecurigaan Bapak dan Ibu.
Seusai makan malam yang penuh kepura-puraan dalam diriku, akhirnya Bapak pergi juga menemui Nek Jasingah. Namun, rupanya Bapak tidak sebodoh yang aku kira. Beliau meminta Ibu untuk tetap di rumah saja. Aku tahu, Bapak menyuruh Ibu untuk tetap mengawasiku. Bapak dan Ibu tidak perlu berkata dengan gamblang bahwa aku masih perlu dijaga. Dari sikap keduanya, mereka sudah sama-sama mengerti bahwa aku jangan sampai kabur dua kali. Terpaksa aku kembali memutar otak untuk memuluskan rencanaku.
Sepeninggal Bapak, aku dan Ibu duduk di ruang tengah. Kendati ekspresi Ibu tidak lagi tegang atau sedih, tetapi bahasa tubuhnya tetap mewaspadaiku. Sementara aku berupaya bersikap santai, seolah-olah tidak sedang merancang kepergian untuk kali kedua. Rencana ini harus berhasil. Sebab jika tidak, Bapak tidak akan mengampuniku. Bapak bisa menghabisiku. Maka, aku harus berpikir jauh lebih matang daripada sebelumnya.
“Sebenarnya, Ibu tidak pernah berpikir kalau keluarga kita bisa menjadi bagian dari keluarga Kepala Dusun.” Ibu tersenyum tipis. Beliau menerawang ke langit-langit ruangan. Barangkali beliau membayangkan bagaimana nanti bisa hidup enak setelah aku menjadi suami Nek Jasingah.
Perih hatiku mendapati Ibu berbicara dengan sikap seperti itu. Aku tidak menyangka akhirnya melihat apa yang sebenarnya terjadi di hati Ibu. Ya, sesungguhnya Ibu menginginkanku menjadi suami Kepala Dusun, yang kemudian membuatnya memiliki derajat lebih tinggi daripada orang lain.
“Ternyata benar, bahwa seseorang bisa diangkat derajatnya setelah mengalami sakit.” Ibu semringah. “Tadinya, Ibu pikir sakit radang usus buntu adalah peringatan dari leluhur. Sekarang Ibu baru tahu, leluhur memberikan Ibu sakit seperti itu untuk menaikkan derajat Ibu, bahkan derajat keluarga kita, Rad.” Beliau makin berseri-seri.
Aku tersenyum, sementara batinku jengkel setengah mati. Persetan dengan leluhur! teriak hatiku. “Leluhur memang baik ya, Bu,” tandasku kemudian agar Ibu tidak curiga terhadapku yang sebenarnya menahan murka dalam dada.
“Iya.” Ibu mengangguk. “Ternyata benar, setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Setelah kesengsaraan pasti ada kebahagiaan. Rupanya leluhur mau menguji keluarga kita, lalu menaikkan derajat kita setinggi-tingginya, sehormat-hormatnya!” Beliau tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar ceria.
Aku sama sekali tidak mendapati lagi kesedihan Ibu. Kesedusedannya telah sirna. Aku yakin, awalnya Ibu tidak mengira kalau penyakitnya waktu itu bisa membawanya sampai ke harapannya sekarang. Pemikiran Ibu pasti mengalami perubahan, dari yang tidak setuju dengan perjanjian adat sampai akhirnya mendamba-dambakannya. Jelas sudah Ibu mengalami perubahan itu. “Apa nanti Ibu tidak malu punya menantu yang usianya lebih tua dari Ibu?” tanyaku memberanikan diri. Aku ingin lebih dalam menyelami hati Ibu.
“Tentu saja tidak,” jawab Ibu mantap. “Nek Jasingah itu adalah keturunan paling terhormat di dusun ini. Leluhur sudah memilihnya untuk menjadi menantu Ibu, dan Ibu harus bahagia menerima keputusan atau pemberian leluhur.”
Aku menelan ludah yang pahit. Lagi dan lagi Ibu membawa-bawa leluhur.
“Bapak dan Ibu selalu menjaga hubungan baik dengan leluhur. Setiap mendapat rezeki, kami selalu bersyukur dengan cara memberikan sesembahan kepada leluhur. Setiap mau melakukan suatu hal, kami juga meminta petunjuk dan bantuan kepada leluhur. Kami selalu memberikan sesajen terbaik untuk leluhur. Sekarang ini adalah balasan leluhur untuk kita. Ya, untuk keluarga kita, Rad. Apa yang sudah kita berikan kepada leluhur, sekarang leluhur mengembalikannya dengan lebih banyak, lebih dari perkiraan kita.” Ibu terkekeh senang bukan kepalang.
Aku mengusap tengkukku yang merinding. Apa yang Ibu katakan di luar perkiraanku. Ternyata Ibu berpikir demikian perihal leluhur. Ibu memang jarang salat, sama sepertiku. Beliau lebih khidmat saat berdoa kepada leluhur daripada berdoa kepada Tuhan. Namun, aku tak habis pikir kenapa bisa-bisanya mereka memiliki pemahaman perihal leluhur sedalam itu? Bahkan, di hati mereka sepertinya leluhur derajatnya lebih tinggi daripada Tuhan. Ini sangat mengerikan.
“Kalau nanti kamu sudah resmi menikah dengan Nek Moyang, pastilah hidup kita berubah. Tidak mungkin Nek Moyang tega melihat hidup keluarga kita seperti keluarga lainnnya. Nek Moyang pasti membuat perbedaan untuk kita, Rad. Nek Moyang akan memberi Bapak jabatan, entah tetap di perkebunan atau malah di pabrik. Nanti, bisa jadi Ibu juga ditawari jabatan lain, misalnya menjadi pengawas pekerja di kebun atau tambak. Hidup Ujong dan Amelia juga pasti dibikin enak oleh Nek Moyang. Apalagi kamu, sudah pasti mendapat fasilitas dan kemewahan. Intinya, Nek Moyang pasti membuat kita terlihat berbeda dari warga biasa.” Ibu terus saja membayangkan khayalannya.
“Semoga nanti seperti itu ya, Bu.” Aku menampilkan wajah yang turut bahagia. Padahal, dalam hati aku jijik mendengar apa yang disampaikan Ibu. “Oh ya, Bu, tolong buatkan saya teh manis hangat, Bu. Mungkin minuman itu bisa makin menenangkan saya. Bagaimanapun, saya grogi juga karena tidak lama lagi akan melamar Nek Jasingah.”
Ibu terkekeh. “Itu wajar. Nanti Ibu berdoa kepada leluhur supaya kamu tidak gugup, baik saat lamaran maupun pernikahan,” katanya kemudian.
“Saya perlu teh manis hangat, Bu. Kalau kita mengobrol sambil menikmati minuman hangat, suasana jadi lebih menyenangkan.” Aku tersenyum, sementara gemas sekali karena Ibu tidak lantas mengiakan permintaanku itu.
“Tumben kamu minta dibuatkan teh, biasanya kalau mau minum teh bikin sendiri.” Ibu melihat aku dengan tatapan curiga.
“Ibu tidak perlu curiga. Tolonglah Ibu percaya sama saya.” Aku menatap matanya lurus-lurus. “Begini, Bu. Nanti setelah saya menikah dan tinggal di rumah Nek Jasingah, saya tidak lagi bisa merasakan teh hangat buatan Ibu. Begitu juga Ibu, tidak bisa lagi membuatkan teh untuk saya. Jadi, alangkah—”
“Baik … baik,” sela Ibu sambil mengangguk-angguk. “Ibu paham maksudmu. Ini adalah kesempatan Ibu yang masih bisa mengurusmu, bahkan untuk membuatkan teh. Ini juga kesempatan kamu menikmati teh buatan Ibu yang penuh kasih sayang.” Ibu terkekeh senang.