Setelah berhasil menjadikan Pak Harun salah satu budak, saya dan Pak Uli pamit. Saya masuk ke mobil di kabin tengah, sementara Pak Uli yang mengemudi. Saya harus memperkuat budak-budak saya lainnya. Saya tahu betul Radana bisa sangat berani untuk melarikan diri. Saya harus menyiapkan jebakan-jebakan lain. Maka, dari rumah sakit tempat anak Pak Harun dirawat, saya mau langsung ke budak-budak saya yang lain.
“Apa tidak terlalu berlebihan, Nek?” tanya Pak Uli yang belum juga menyalakan mesin mobil.
“Apa maksudmu?”
“Untuk urusan mendapatkan Radana, Nek Moyang sampai harus mengeluarkan banyak biaya.”
Saya tersenyum tipis. “Radana itu lebih penting dari apa pun yang saya inginkan, Uli,” kata saya kemudian dengan tenang, tapi penuh dengan penekanan. “Dengan kekuasaan yang saya pegang, sudah banyak yang saya dapatkan. Tapi, dalam diri saya ini ada lubang yang cuma bisa diisi oleh Radana. Kamu paham maksud saya?”
“Paham, Nek.” Pak Uli mengangguk sambil menahan tawa.
“Jangan tertawa kamu, saya jadi malu.” Saya terkekeh. Mungkin di mata Pak Uli saya seperti anak remaja yang baru jatuh cinta.
Pak Uli yang tak mampu menahan tawa akhirnya tergelak. “Cinta itu agung. Kalau hati sudah dirasuki nama seseorang, kita memang harus mendapatkan orang itu. Bagaimanapun caranya, kita harus berjuang untuk meraihnya,” katanya kemudian.
“Radana ini bukan hanya soal cinta, tapi … saya kesepian, dan yang bisa mengusir kesepian saya pastilah hanya Radana.” Saya terkekeh geli sembari membayangkan wajah tampan Radana. Bahkan, dengan cepat bayangan saya berganti sedang berpelukan dengannya di ranjang. Itu sangat menyenangkan.
“Lalu, sekarang kita ke mana, Nek?”
“Kita ke rumah si Radin.”
“Memangnya Pak Lurah tidak ada di kantor kelurahan, Nek?”
“Sebelum berangkat, saya sudah menelepon si Radin untuk bertemu. Katanya, selepas zuhur dia sudah berada di rumah.”
“Itu Lurah jam kerjanya sering setengah hari saja.” Pak Uli terkekeh sinis.
“Kita juga bekerja semau kita, ‘kan?” Saya ikut tertawa.
***
Saya menyeruput kopi jenis robusta yang disuguhkan oleh Bi Nisah. Kopi yang tumbuh di lereng gunung tanah adat Dusun Mukim salah satu yang terbaik di negeri ini. Rasa pahitnya begitu mantap. Pemesan kopi ini bukan hanya dari luar kota dan provinsi, tapi juga luar negeri. Pak Radin, sebagai lurah di Makaba, tentu saja mendapat jatah biji kopi nikmat ini.
“Sepertinya ada hal penting, Nek? Jalan dari sini menuju dusun masih mulus, ‘kan?” tanya Pak Radin dengan serius.
“Masih, kok. Nanti kalau ada bagian jalan yang rusak, saya akan laporan ke kamu. Seperti biasa, Dana Desa bisa kita akali, tinggal bilang Camat saja, ‘kan?” Saya terkekeh.
Pak Radin tertawa. “Tenang saja, Nek, soal Dana Desa itu urusan mudah. Lagi pula, Camat itu ‘kan kakak sepupu saya. Dia juga pandai bicara pada petinggi-petinggi yang lain. Segalanya gampang diatur,” katanya kemudian dengan percaya diri.
Saya mengangguk-angguk paham. “Iya, begitulah. Jadi, kamu bisa bangga dengan jabatanmu yang telah memajukan Makaba termasuk Dusun Mukim. Saya pun sebagai Kepala Dusun dianggap makin cakap mengurus dusun. Pokoknya, kita harus dipandang baik oleh warga.”
“Tenang saja, Nek. Selama jatah saya lancar, perkara apa pun terkait Dusun Mukim pasti saya bantu.” Pak Radin tersenyum meyakinkan. Budak saya yang satu ini memang pandai bicara.
“Begini, Din, saya perlu bantuanmu lagi.”
“Silakan.” Pak Radin tersenyum lebar. Pastilah dia berpikir akan mendapat sesuatu dari saya. Memang, jongos-jongos yang memiliki jabatan lebih tinggi ketimbang saya gemar merongrong. Meminta bantuan, itu artinya saya harus memberikan sesuatu di luar jatah wajib untuk mereka.
“Saya sudah melakukan perjanjian adat dengan salah satu warga. Intinya, anaknya yang bernama Radana sudah berada dalam keadaan harus menikahi saya. Kamu pahamlah, Din.” Saya terkekeh malu.
Pak Radin ikut terkekeh. “Kalau nanti sudah punya suami, Nek Moyang tidak jajan lagi, dong?” candanya kemudian.
“Halah! Jangan meledek saya begitu.” Saya tersipu sembari mengibaskan tangan. Ada rasa bahagia sekaligus malu mengakui bahwa saya ingin menikah di depan lurah sialan ini. “Soal jajan, ya kalau saya sedang bosan dengan suami, boleh dong saya sesekali jajan?”
Pak Radin dan Pak Uli tertawa berbarengan.
“Ya boleh dong, Nek,” jawab Pak Radin, lalu menoleh ke Pak Uli. “Iya ‘kan, Pak Uli?”
“Tentu saja,” sahut Pak Uli. “Selagi punya uang, siapa pun boleh jajan apa saja, termasuk remaja-remaja ranum.”
Kami bertiga terkekeh bersama.
“Eh, ngomong-ngomong, Radana itu masih muda?” tanya Pak Radin kemudian. Air mukanya penasaran.
“Ya jelas, dong,” jawab saya dengan bangga.
“Nek Moyang memang memiliki selera yang luar biasa. Saya saja rasanya sudah lelah melayani istri saya.”
“Umurmu lebih muda, tapi fisikmu sudah tua!” cetus saya membalas ledekan Pak Radin.
Kami tertawa lagi. Obrolan semacam ini memang menyenangkan. Kami menganggap percakapan ini adalah hal ringan. Kami sudah saling mengenal. Kami sudah tahu sama tahu.
“Lalu, apa yang bisa saya bantu?”
“Begini, Din,” kata saya dengan serius. “Saya memang tidak yakin, tapi saya perlu mengatasi ketidakyakinan saya ini. Mungkin ini cuma kekhawatiran saya saja, tapi saya harus menguasai kekhawatiran saya ini.”
“Apa itu, Nek?” Pak Radin mengerutkan keningnya. Dia kian penasaran.
“Radana itu ‘kan masih remaja. Dia baru lulus SMA. Mungkin dia tidak terima dengan perjanjian adat yang dilakukan saya dan Bapaknya. Karena hal itu, bisa jadi dia kabur dari dusun atau melakukan hal lain yang tidak terpikirkan oleh saya. Kedatangan saya ke sini untuk meminta bantuanmu, kalau-kalau ada anak bernama Radana meminta tolong atau tengah melakukan apa pun untuk melawan saya, kamu harus membantu saya.”