Kendati sudah bisa melihat dengan jelas, tetapi aku masih kebingungan. Aku terus saja mencerna, bagaimana bisa aku dipindahkan dari rumah Pak Lurah kembali ke rumahku tanpa aku sadari. Aku lagi-lagi berpikir. Apakah sebenarnya Pak Lurah membohongiku? Apakah Pak Lurah sejak awal memang tidak benar-benar mau menolongku? Apakah ada sesuatu yang Pak Lurah campurkan ke dalam makanan atau minumanku melalui Bi Nisah? Apakah Pak Lurah yang mempunyai jabatan tinggi, tetapi memiliki diri yang rendah, sehingga dia merelakan dirinya dengan nyaman di bawah telapak kaki Nek Jasingah?
“Kenapa kamu membohongi Ibu dan Bapak, Rad?” tanya Ibu kemudian memecah kebuntuan pikiranku.
Aku tidak menanggapi pertanyaan Ibu. Aku masih belum tuntas memikirkan apa yang tengah terjadi. Sampai kemudian aku meyakini, bahwa Pak Lurah sama saja seperti Pak Harun. Bisa jadi Pak Camat dan orang penting lainnya di Makaba sudah menjatuhkan harga diri mereka di kaki Nek Jasingah. Ya, mereka pasti gampang luluh dengan mulut Nek Jasingah yang bukan hanya mengeluarkan kata-kata, tetapi juga uang. Ya, uang memang bisa membungkam mulut siapa pun. Uang bisa membuat seseorang menjadi boneka yang mudah dimainkan si pemilik uang. Sial! Kenapa sejak awal aku tidak memikirkan hal ini?
“Radana, Ibu sedang bicara sama kamu. Kenapa kamu malah diam seperti ini?” Ibu menatapku dengan kesal.
Aku balas menatap Ibu dengan jengkel.
Tiba-tiba Nek Jasingah masuk ke kamarku. Dia tersenyum dengan wajah ceria. Entah bagaimana aku mendapati ekspresinya yang palsu itu. Sorot matanya tidak bisa berbohong, bahwa ada kemurkaan di binar matanya itu.
“Dasar anak durhaka!” Bapak mendekat seraya menamparku dengan keras. “Berani-beraninya kamu membohongi Bapak dan Ibu!”
“Pak Rado, jangan kasar.” Nek Jasingah menepuk pundak Bapak. Suaranya begitu lembut dan terdengar bijaksana.
“Maaf, Nek.” Bapak mundur dan membiarkan Nek Jasingah duduk di tepi tempat tidur.
“Jangan menyelesaikan masalah dengan tamparan. Kekerasan bukanlah cara yang leluhur ajarkan.” Nek Jasingah menatap Bapak yang tampak takut. “Sebagai orang tua, Bapak harus terus mau menasihati anak Bapak dengan cinta kasih yang damai. Ajarkan anak Bapak soal kebaikan dengan cara yang baik.”
“Maaf, Nek.” Bapak mengangguk hormat.
“Leluhur tidak suka kekerasan. Leluhur itu selalu menebar kedamaian. Itu yang harus selalu kita ingat dan lakukan dalam kehidupan.” Nek Jasingah terus menatap Bapak dan kini menoleh ke Ibu. Dia seakan-akan bukan hanya tengah memberi nasihat, tetapi matanya lebih mengancam.
Aku memegang pipiku yang sakit dan panas. Ujung bibirku mengeluarkan darah. Sementara aku masih tercenung untuk mencerna apa yang tengah terjadi.
Nek Jasingah mengulurkan tangannya, lalu jemari tangannya itu menyeka darah di ujung bibirku. “Kamu tidak perlu melakukan ini,” katanya dengan tenang. “Semua yang sudah terjadi adalah kehendak leluhur, dan itu sudah pasti untuk kebaikan kita semua. Jangan kabur lagi.”
Aku memukul-mukul kepalaku dengan perlahan, kiranya cara itu mampu membuatku sepenuhnya sadar. Atau, barangkali dengan begitu aku bisa terbangun di kamar tamu rumah Pak Lurah.
“Radana,” sapa Nek Jasingah dengan lembut. “Ini bukan mimpi. Tadi pagi Bapakmu bersama centeng-centeng saya menjemputmu di rumah Pak Lurah.” Nek Jasingah tersenyum.