Hari itu tepat dua tahun saya menjabat sebagai Kepala Dusun. Saya duduk di beranda depan sembari menikmati teh hangat buatan Sarinah. Saat sore atau menjelang petang, saya memang gemar bersantai di sana. Saya jadi mengenang apa yang telah saya lewati. Kehormatan yang saya duduki membikin hidup saya berada lebih tinggi. Saya sadar bahwa diri saya menjadi sangat angkuh, dan karenaya saya terus mengimbangi supaya keangkuhan itu tidak keluar di depan penduduk. Saya harus terlihat baik, santun, arif, dan bijaksana.
Progam-progam yang berjalan dengan baik sebenarnya sangat dipengaruhi oleh uang yang saya keluarkan. Pokoknya, asal ada uang segala urusan menjadi lancar. Untuk menyelesaikan masalah, tidak cukup hanya banyak bicara, justru harus lebih banyak menggunakan uang. Ya, tentu saja Uang Dusun.
Selain penghormatan yang saya dapat dari warga dusun, yang tak kalah menyenangkan penghormatan dari pejabat daerah. Jabatan saya memang paling rendah, tapi keuangan saya jauh lebih tinggi daripada pejabat-pejabat itu. Lantaran hal tersebut, para pejabat daerah ada saja yang pandai memuji saya. Sementara saya mendengarnya bukan sebagai sanjungan, tapi jilatan. Ya, para petinggi daerah kerap kali menjilat pantat saya dan itu sangat menggembirakan, seolah-olah menjadi candu. Ada yang bilang kinerja saya sebagai Kepala Dusun sangat mumpuni, sehingga penduduk kian sejahtera dan tak ada yang menganggur. Ada yang berkata semenjak kepemimpinan saya Dusun Mukim menjadi dusun percontohan untuk dusun atau desa lainnya. Dusun atau desa lain tentu saja sulit menyaingi Dusun Mukim karena kebanyakan tidak memiliki tanah adat. Sekalipun ada, luasnya kalah jauh dari tanah adat Dusun Mukim. Lantaran hal itu, dusun lainnya tidak memiliki Uang Dusun sebanyak Dusun Mukim. Kembali pada apa yang dikatakan para petinggi daerah terhadap saya. Sebenarnya, apa yang mereka katakan itu benar, tapi saya tahu jilatan itu disertai harapan supaya mereka terus mendapat kelancaran dari jatah hasil tanah adat, kalau bisa malah mereka mendapatkan jatah tambahan. Kalau saya sedang senang, biasanya saya memberikan bonus kepada mereka. Hal itulah yang membikin jilatan sanjung puji sering kali saya terima.
Saya menyeruput teh hangat dengan nikmat. Saya memandang anak-anak yang sejak tadi berada di Rumah Baca kini sedang membubarkan diri. Mereka memang harus mandi sebelum gelap datang. Itu kebiasan yang saya tanamkan kepada anak-anak supaya rajin membersihkan diri. Sebelumnya, saat mendiang Bapak masih menjabat, saya sering melihat anak-anak dusun yang dekil, bahkan jarang mandi. Saya tidak suka melihat anak-anak berpenampilan kumal. Meski mengenakan pakaian biasa, mereka harus bersih dari kesan tak terurus. Saya pun mewajibkan anak-anak harus mandi sebelum magrib. Hal itu disetujui para orang tua. Tersebab kewajiban yang saya sampaikan itu membikin orang tua senang. Pasalnya, anak mereka jadi mudah diatur. Mereka tinggal bilang saja kalau anak mereka tidak mandi atau malas mandi atau mandi sesudah magrib, bisa-bisa anak mereka kena omelan saya.
Tak lama setelah keriuhan anak-anak sirna, saya kedatangan Pak Hamdari. Dari wajahnya yang ruwet, dapat saya tebak kalau dia sedang mengalami masalah dan butuh bantuan saya.
“Maaf, Nek, saya mengganggu waktu Nek Moyang,” kata Pak Hamdari takut-takut.
“Ada apa, Pak?” tanya saya tenang.
“Saya butuh bantuan, Nek.”
“Bantuan apa, Pak? Katakan saja.”
“Anak saya yang kuliah di luar kota butuh biaya, Nek. Katanya, dia mau beli buku dan bayaran semester. Saya tidak terlalu mengerti, tapi dia merengek minta dikirimi uang lagi.”
“Waktu itu saya ‘kan sudah pernah bilang, tidak perlu menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi, apalagi perempuan, paling-paling setelah menikah kerjaannya di dapur dan di kasur. Lebih baik kamu ajarkan dia memasak dan bergoyang.” Saya terkekeh pelan. “Kalau memang mau disekolahkan, sampai SMA saja itu sudah sangat bagus.”
“Maaf, Nek, tapi sayang sekali kalau harus putus kuliah, soalnya sudah setengah jalan.”
“Ya sudah, maumu bagaimana? Mau pakai Uang Dusun?” Saya menatap Pak Hamdari lebih saksama. Keruwetan di mukanya semakin menjadi-jadi.
“Iya, Nek.” Pak Hamdari mengangguk.
“Bapak ‘kan tahu sendiri, kalau warga secara pribadi mau meminjam Uang Dusun, itu artinya harus melakukan perjanjian adat.”
“Iya, Nek.”
Saya lantas menyambung, “Dan Bapak juga sudah tahu betul bagaimana perjanjian adat itu.”
“Iya, Nek, saya sudah paham. Tapi, jaminannya apa, Nek?” Pak Hamdari terlihat gusar. Dia berdiri dengan tidak tenang.
“Saya harus tahu dulu, Bapak mau pinjam berapa duit?”
“Sepuluh juta, Nek,” jawab Pak Hamdari masih dengan wajah takut.
Saya mengangguk-angguk pelan. Saya menyeruput teh sembari berpura-pura berpikir, sehingga Pak Hamdari meyakini kalau nominal yang dia sebutkan itu terlampau tinggi. Padahal, sepuluh juta itu uang kecil.
“Bagaimana, Nek?” tanya Pak Hamdari yang khawatir dan tidak sabaran.
“Itu uang yang banyak, Pak.” Saya menaruh cangkir kembali ke meja. “Kalau tidak mampu melunasi sampai batas waktu yang ditentukan, itu bukan cuma dipotong jari, tapi harus ada jaminan lainnya.”
Pak Hamdari kebingungan.
Saya menikmati kepusingan di wajah Pak Hamdari. “Apa Bapak tidak punya anak lagi selain yang kuliah di kota?”
“Maksudnya, Nek?” Pak Hamdari mengerutkan dahinya. Dia mengusap wajahnya dengan cemas.
“Bukannya Bapak punya anak kedua, ya? Yang remaja laki-laki itu?”
“Ohhh … itu namanya Tamaja, Nek, tapi dua tahun lalu dia meninggal dunia karena sakit.” Pak Hamdari jadi sedih.
“Oh iya, saya lupa. Maaf, Pak. Maklum saya sudah tua.” Saya terkekeh lantaran sungguh pikun. Sementara itu, saya juga kecewa. Kalau saja anak remaja laki-lakinya masih hidup, enak sekali bisa saya manfaatkan.
“Tidak apa-apa, Nek.”
“Begini, Pak, kalau ada warga yang membahas soal perjanjian adat, sebenarnya leluhur ikut melihat. Jadi, saya perlu berkomunikasi dulu dengan leluhur. Dengan begitu, kita akan mendapat jalan keluar untuk kebaikan kita semua.” Saya tersenyum untuk meyakinkan Pak Hamdari.
“Tentu saja, Nek. Silakan.”
Saya memejamkan mata. Saya berpura-pura tengah berkomunikasi dengan leluhur. Padahal, saya sedang berpikir bagaimana caranya bisa memberatkan Pak Hamdari terkait perjanjian adat. Saya kira, setelah menjadi Kepala Dusun, inilah saatnya bagi saya untuk memperkuat penghormatan dari masyarakat, dan tentu membikin mereka lebih percaya akan keberadaan dan kehebatan leluhur.
Akhirnya saya membuka mata lagi. Saya mengangguk-angguk pelan supaya Pak Hamdari percaya bahwa saya baru saja mendapat bisikan dari leluhur. “Pak, baru saja leluhur memberi saya petunjuk supaya masalah Bapak bisa diselesaikan dengan perjanjian adat.”
“Jadi bagaimana, Nek?” kejar Pak Hamdari yang tak sabar.
“Saya akan meminta Pak Uli untuk menyiapkan sepuluh juta dari Uang Dusun. Lalu, kita melakukan perjanjian adat yang disaksikan Pak Uli dan leluhur. Bapak harus melunasi uang pinjaman itu setelah dua bulan perjanjian adat kita tandatangani. Kalau Bapak tidak sanggup membayar dalam tempo dua bulan, jari tangan bapak harus dipotong sebagai simbol ketidakpatuhan pada adat. Selain itu, Bapak juga tidak mendapatkan upah dari bekerja di kebun selama setahun.” Saya mendapati perubahan dari air muka Pak Hamdari yang kian kusut masai.
“Apa tidak bisa dikasih waktu lebih panjang, Nek? Misalnya, tempo pembayaran sampai lima bulan atau kalau bisa satu tahun, gitu?” Pak Hamdari mengiba.