Aku lebih banyak berdiam diri di kamar. Risi sekali mendapati banyak orang di rumah, apalagi keadaan itu sangat tidak aku kehendaki. Biasanya, setiap ada warga yang mau lamaran tidak sampai seperti ini, paling-paling lamaran itu hanya dihadiri keluarga. Karena kabar mau melamar Nek Jasingah dengan cepat tersebar, warga jadi ikut senang dan datang ke rumah. Tanpa diminta, mereka membantu persiapan lamaran dengan sukacita. Mereka turut berbahagia. Ekspresi mereka begitu bangga dan terhormat, seperti sikap yang ditunjukkan oleh Bapak dan Ibu kepada semua orang.
Sebenarnya, aku kecewa akan perubahan perilaku Bapak dan Ibu. Tampaknya, beban besar di pundak mereka telah sirna. Tak ada lagi kesedihan dan kepusingan di paras mereka. Kini, segalanya mereka lihat sangat indah. Saat berpapasan denganku, Bapak dan Ibu tersenyum gembira. Aku membalas senyum mereka dengan terpaksa, padahal hatiku sedang berduka.
Sejak kemarin Pak Jaraka sibuk menyiapkan semua perlengkapan lamaran. Beliau berdiskusi dengan Pak Uli tentang barang bawaan dan persiapan ritual adat. Keduanya juga sesekali bercakap-cakap dengan Bapak terkait kebutuhanku sekeluarga. Pak Uli menyuruh beberapa anak buahnya untuk membantu semua yang diperlukan.
Di halaman depan, tenda besar sudah berdiri menaungi bangku-bangku yang ditata berjejer beberapa baris. Ada juga meja panjang untuk prasmanan. Sementara di pekarangan belakang, ada tenda kecil, tempat di mana para ibu memasak. Bagi warga dusun, ini acara pinangan yang cukup mewah.
Selepas subuh tadi, dua kambing sudah disembelih. Daging kambing diolah menjadi semur, rendang, dan sop. Bersama nasi putih dan hidangan sayur lainnya, makanan itu akan disajikan di prasmanan depan. Sementara dua kepala kambing akan dijadikan sesajen kepada leluhur bersama sesembahan lainnya.
Selain semua itu, aku sekeluarga diberikan pakaian batik lengkap dengan bawahannya. Pakaian yang didominasi warna emas itu semakin memperlihatkan kepada warga bahwa aku orang paling beruntung di dusun ini. Namun, sesungguhnya aku adalah orang yang paling menderita. Sayang sekali tidak ada yang menyadari hal itu, kecuali Kak Amelia dan Kak Ujong, yang keduanya kini mau tak mau menemani para tamu di halaman depan.
“Radana,” sapa Pak Uli yang tanpa izin lagi langsung masuk ke kamarku. “Sudah, jangan banyak pikiran. Nek Moyang sudah memberikan yang terbaik untukmu. Sudah saatnya kamu menerima keputusan leluhur. Ini yang terbaik untuk hidupmu.” Dia menatapku dengan serius. Kendati dia terlihat lelah, tetapi gerakannya masih lincah.
“Iya, Pak.” Aku tersenyum tipis.
“Ini.” Pak Uli memberikan kotak kecil berwarna merah.
“Apa ini, Pak?” tanyaku sambil menyambut kotak tersebut.
“Buka saja.”
Aku membukanya dengan hati-hati. Aku mendapati dua cicin emas di dalam kotak tersebut.
“Kemarin saya ‘kan sudah mengukur ukuran jari manismu. Nah, ini cincinnya sudah jadi. Bagus, ‘kan?” Pak Uli terkekeh.
“Bagus, Pak. Terima kasih.”
“Setelah nanti resmi meminang Nek Moyang, kamu pasangkan cincin itu ke jari manisnya. Nanti Nek Moyang pun melakukan hal yang sama padamu. Cincin itu akan menjadi simbol pengikat antara hubunganmu dengan Nek Moyang menuju pernikahan.”
Aku mengangguk-angguk pelan.” Baik, Pak. Terima kasih atas penjelasannya.”
“Kamu tenang saja. Nanti saat menikah akan dibuatkan sepasang cincin lagi. Pokoknya, sejak hari ini hidupmu akan jauh lebih enak. Apalagi, kalau nanti kamu sudah resmi menjadi suami Nek Moyang, mau apa tinggal tunjuk saja.” Pak Uli kembali terkekeh.
Aku tersenyum tipis karena enggan ikut tertawa.
“Karena tugas saya di sini sudah selesai, saya harus ke rumah Nek Moyang untuk mempersiapkan acara nanti sore. Kalau ada apa-apa, kamu minta Bapakmu untuk menghubungi saya saja.”
“Baik, Pak.”
Setelah menepuk pundakku agar bersemangat, Pak Uli berlalu.
Aku menutup kotak perhiasan itu dan menaruhnya di meja kecil dekat ranjang. Aku duduk dengan gamang. Aku teringat pada Yusfina yang pasti sudah tahu acara pinangan ini. Sekarang aku makin sedih. Apakah Yusfina juga bersedih? Pertanyaan itu malah membuatku kesal pada diri sendiri.
Karena Pak Uli tidak menutup pintu kamar, dua orang tetangga masuk menghampiriku.
“Radana,” sapa Pak Basri dengan wajah bahagia. “Mimpi apa kamu sampai bisa melamar Nek Jasingah? Hebat betul kamu.” Dia menepuk pundakku dengan ekspresi yang begitu bangga.
“Saya tidak bermimpi apa-apa, Pak,” sahutku datar.
“Ah, pokoknya kamu hebat!” puji Pak Basri.
Pak Umir juga mendekatiku. “Radana, doa seperti apa yang kamu panjatkan kepada lelulur sehingga kamu bisa berada di posisi seperti ini?” Sorot matanya penuh harapan.
“Iya, Radana. Sesajen seperti apa yang kamu persembahkan untuk leluhur? Mungkin kami bisa menirunya. Siapa tahu nanti kami juga bisa mendapatkan kehormatan seperti kamu.” Pak Basri tersenyum semringah.
Aku menelan ludah yang pahitnya bukan main, sampai-sampai hatiku turut terasa getir.
“Betul, Pak Basri,” timpal Pak Umir. “Kalau saya berdoa dan memberikan sesejen seperti yang dilakukan Radana kepada leluhur, siapa tahu si Mantoro, anak saya yang tahun depan lulus SMA bisa menjadi suami kedua Nek Moyang.” Dia terkekeh dengan harapan yang terpancar dari wajahnya.
“Pak Umir, Nek Moyang memilih Radana itu pasti karena petunjuk leluhur. Radana dipilih leluhur menjadi suami Nek Moyang pastilah untuk kebaikan dusun ini.”
“Tapi saya berpikir begini loh, Pak Basri, dengan kita berdoa dan memberikan sesajen seperti yang Radana lakukan pada leluhur, hal itu bisa membuat leluhur memberikan petunjuk pada Nek Moyang.” Pak Umir menatap Pak Basri lebih saksama.
“Wahhh … betul juga, tuh.” Pak Basri mengangguk-angguk setuju.
“Ayo, Radana, beri tahu kami rahasiamu,” desak Pak Umir.
Pak Basri menepuk pundakku. “Jangan ada rahasia di antara kita,” tandasnya kemudian disudahi dengan terkekeh.
“Saya tidak berdoa dan memberikan sesajen kepada leluhur, Pak,” jawabku akhirnya, “tapi saya beribadah kepada Allah, jadi—”
“Walahhhh … mana mungkin?” sela Pak Umir. “Bukannya lebih hebat leluhur daripada Tuhan?”
“Iya, Radana. Derajat leluhur lebih tinggi ketimbang Tuhan,” kata Pak Basri menambahkan.