Menikahi Nenek Moyang

Ari Keling
Chapter #12

Ritual Terima Pinangan

Hari ini saya senang sekali tersebab wangi malam pertama sudah tercium. Saya mengamati kamar yang tadi dirapikan oleh Sarinah. Tak lama lagi ruangan ini akan diisi oleh kecintaan saya, yakni Radana. Ah, membayangkan dia berada di sini membikin saya malah kian tidak sabar. Saya betul-betul harus menguasai diri. Saya patut mengikuti serangkaian adat terlebih dahulu sebelum tidur bermandikan madu.

Seperti halnya di rumah Radana, di halaman depan dan belakang kediaman saya pun didirikan tenda. Yang depan untuk menaungi tamu, sementara di belakang untuk tempat memasak. Perangkat dusun dibantu warga juga sudah menyembelih dua ekor kambing. Mereka bergotong royong menyiapkan acara Ritual Terima Pinangan. Kalau Ritual Pinangan bertujuan meminta kelancaran saat melamar, sedangkan Ritual Terima Pinangan memohon kelancaran ketika dilamar. Tentu saja permintaan itu ditujukan kepada leluhur berupa persembahan sesajen.

Sejak pagi Lagama beserta istri dan anaknya sudah datang. Anak-anak saya beserta suami dan anak mereka pun sudah ada di kediaman saya. Tidak ada satu pun dari mereka yang mempertanyakan kenapa saya ingin menikah dengan laki-laki remaja. Sedari awal saya selalu menegaskan kepada anak-anak saya, usia hanya angka, dan Radana bisa saja nanti memiliki pikiran yang lebih dewasa ketimbang mereka. Saya juga mengingatkan untuk selalu menghormati Radana seperti mereka menghormati saya. Pokoknya, mereka tidak boleh malu saat nanti mempunyai bapak yang usianya lebih muda ketimbang mereka. Itu adalah apa yang bisa saya sampaikan sebagai orang tua. Namun, dalam hati saya sesungguhnya tidak peduli. Saya tidak mau ambil pusing jika anak-anak saya diam-diam tidak setuju, yang penting saya bisa menikah dengan Radana. Saya tidak mau memikirkan bila diam-diam mereka tidak berani mengutarakan ketidaksetujuan itu. Pokoknya, apa yang saya inginkan, mereka harus mengizinkannya. Seperti yang mendiang Bapak ajarkan kepada saya, kepada mereka pun saya sering berkata, bahwa menuruti semua perkataan saya adalah pengabdian kepada orang tua sekaligus ketaatan kepada leluhur.

Lantaran sudah rapi, saya menemui Pak Jaraka dan Pak Uli di ruang tamu. Sementara itu, keriuhan terdengar di belakang dan depan rumah. Tampaknya orang-orang juga ikut bergembira.

“Bagaimana tadi di sana? Lancar, Pak?” tanya saya seraya duduk di depan Pak Jaraka.

“Alhamdulillah. Lancar, Nek,” jawab Pak Jaraka.

“Bagus.” Saya tersenyum.

“Karena nanti malam tugas saya memimpin rombongan keluarga Radana, jadi nanti malam siapa yang akan menerima tamu di sini?” Pak Jaraka menatap saya serius.

“Nanti yang jadi penerima tamunya Pak Uli,” jawab saya sembari menunjuk Pak Uli yang sedang menyeruput kopi.

Pak Jaraka mengangguk mengerti. “Baguslah kalau begitu, jadi lebih enak nanti kita bicaranya.”

Lihat selengkapnya