Selain batik untuk acara Ritual Pinangan tadi siang, Nek Jasingah juga memberiku pakaian khusus untuk pinangan. Pakaian itu berupa batik biru dengan corak garis-garis hitam melengkung entah membentuk gambar apa. Bawahannya celana panjang warna hitam dari kain tebal dan tampak kuat dan mahal. Aku memang belum pernah memakai pakaian seperti itu. Jujur, pakaian tersebut memang bagus, tetapi aku kesal harus mengenakannya. Bukan salah pakaian itu, tetapi keadaan yang membuatku tidak berselera untuk memakainya.
Selepas isya Pak Jaraka datang ke rumah bersama salah satu pesuruh Nek Jasingah. Keduanya menjemputku sekeluarga menggunakan mobil. Pak Jaraka langsung memintaku sekeluarga untuk masuk dan segera meluncur ke rumah Nek Jasingah. Kami juga memasukkan beberapa bawaan berupa kue yang dikemas dalam kotak kardus bermika dan buah-buahan dalam keranjang. Lucu sekali rasanya hendak menyerahkan bebawaan itu kepada Nek Jasingah, sementara sebelumnya dia pula yang memberikannya kepadaku.
Setibanya di sana, aku sekeluarga disambut dengan keramahan Nek Jasingah sekeluarga dan perangkat dusun. Kami saling berjabat tangan dan melempar senyum kebahagiaan—kecuali aku yang tentu berpura-pura bahagia. Kami menyerahkan bebawaan kepada para perangkat dusun yang lantas menyambutnya. Lalu kami semua berkumpul di ruang tengah beralasan karpet.
Kami disuguhi banyak kudapan, baik yang manis maupun yang gurih. Air mineral kemasan botol kecil pun tersedia lebih dari cukup. Aku sekeluarga beserta Pak Jaraka duduk berbaris bersandar pada dinding sebelah utara. Sedangkan Nek Jasingah dan keluarganya yang didampingi Pak Uli duduk di sebelah selatan. Sementara di sisi timur dan barat diisi para perangkat dusun.
Aku kesal dan lelah harus duduk dengan nyaman dalam keadaan yang tidak mengenakkan. Aku harus terus menampilkan wajah ceria. Aku sesekali terpaksa tersenyum dengan gembira. Kalau acara pinangan saja sudah tersiksa begini, bagaimana nanti saat aku menikah dan menjalani hidup dengan Nek Jasingah?
Sambil mendengar kata pembuka dari Pak Jaraka yang bertamu dan Pak Uli yang menerima tamu, aku memperhatikan Nek Jasingah. Kegembiraan tergambar jelas di wajahnya. Dia berdandan tidak terlampau tebal, tetapi juga tidak terlalu tipis. Aku tidak mendapati rambutnya yang sudah agak beruban. Mungkin dia mewarnai ubannya itu, atau disembunyikan ke gulungan dalam sanggulnya. Entahlah. Yang paling menjengkelkan adalah pakaian yang dia kenakan. Rupanya dia memakai batik biru bercorak garis-garis hitam melengkung dan kain bawahan hitam. Aku dan dia mengenakan pakaian yang senada. Dari pilihan pakaian itu, pastilah dia sudah mengatur agar kami terlihat seperti pasangan yang serasi. Sialan! Menjijikkan!
“Baiklah, saya akan masuk pada inti kedatangan kami,” kata Pak Jaraka setelah menyudahi percakapan keramahtamahan dengan Pak Uli. “Sekali lagi terima kasih kepada Nek Moyang sekeluarga dan para perangkat dusun. Kami merasa sangat tersanjung diterima begitu baik di sini. Kami juga memohon maaf bila ada kekurangan dengan kedatangan kami, yang mana kita sebagai manusia pastilah memiliki kekurangan.” Pak Jaraka tersenyum. “Tujuan kami kemari untuk meminang atau melamar Nek Jasingah, yang mana kita semua tahu bahwa beliau adalah Nek Moyang atau Kepala Dusun kita. Saya mewakili keluarga Bapak Rado, yang mana Radana ingin memperistri Nek Moyang. Kami berharap pinangan ini bisa diterima oleh Nek Moyang.” Pak Jaraka mengangguk hormat.
Pak Uli memperbaiki posisi duduknya. “Terima kasih kepada Pak Jaraka yang telah mewakili keluarga Pak Rado. Semua keterangan barusan tentu saja dapat kami mengerti.” Dia tersenyum sambil mengangguk pelan. “Kami juga tentu meminta maaf kepada para tamu, khususnya keluarga Pak Rado. Barangkali dalam penyambutan dan hidangan yang kami sajikan kurang berkenan di hati semuanya.”
“Sambutannya sungguh ramah, Pak. Sajiannya juga sangat melimpah,” sahut Pak Jaraka membuat semua orang tersenyum, dan ada pula yang tertawa pelan.
“Alhamdulillah kalau memang begitu,” timpal Pak Uli. “Seperti yang diajarkan oleh leluhur dan agama kita, bahwa memang tamu yang datang dengan kebaikan sudah seharusnya kita sambut dengan kebaikan. Bukan begitu, Pak Ustaz?”
“Betul, Pak Uli,” jawab Pak Jaraka dengan cepat. “Semoga kebaikan selalu menaungi kita semua. Aamiin.”
Semua orang spontan mengamini ucapan Pak Jaraka.
“Maksud kedatangan Radana sekeluarga, yang mana sudah dijelaskan oleh Pak Jaraka tadi, tentu sebagai perwakilan keluarga Nek Jasingah atau Nek Moyang, bisa saya katakan bahwa kami setuju. Namun, untuk menerima pinangan tersebut, alangkah baiknya kita juga bertanya pada Nek Moyang sendiri.” Pak Uli menatap Nek Jasingah. “Silakan, Nek. Diterima atau tidak pinangannya?” tanyanya dengan wajah dan nada bercanda.
Nek Jasingah tampak malu-malu. Entah dia berpura-pura atau memang begitu adanya. Aku tidak terlalu paham. Aku juga enggan memahaminya.
“Sebelumnya perlu saya jelaskan dulu, bahwa semua yang sudah terjadi dengan keluarga Pak Rado dan keluarga saya adalah kehendak leluhur. Mulai dari Bu Deli yang sakit, Pak Rado melakukan perjanjian adat, sampai akhirnya Radana meminang saya sekarang, itu adalah petunjuk dari leluhur. Soal isi perjanjian adat yang saya dan Pak Rado sepakati, itu juga petunjuk dari leluhur. Tentu semua yang ada di sini sudah tahu, bahwa saya yang Kepala Dusun dan keturunan langsung leluhur memiliki kesitimewaan bisa berkomunikasi dengan leluhur. Jadi, selama kita mau memberikan sesajen terbaik untuk leluhur, leluhur juga akan memberikan kita hadiah terbaik. Hadiah terbaik bagi saya dan Pak Rado adalah penyatuan dua keluarga.” Nek Jasingah diam sejenak. Dia tampak sangat menguasai apa yang dia katakan. Dia sungguh percaya diri. Gerakan tubuhnya begitu luwes. Dia memang sudah terbiasa menyampaikan kebohongan seperti itu. “Leluhur tidak akan memberikan solusi buruk bagi kita. Leluhur pasti memberikan kita semua yang baik-baik. Maka, saya akhiri penjelasan saya ini dengan menerima pinangan Radana.” Dia makin semringah.
Semua orang terlihat lega dan semakin gembira. Para perangkat dusun saling bersitatap sambil mengangguk-angguk. Mereka menyetujui semua ucapan Nek Jasingah. Aku tidak terlalu paham, apakah mereka memang tulus sepakat dengan segala ucapan Nek Jasingah, atau hanya pura-pura setuju agar tetap bisa bekerja sebagai perangkat dusun yang memang harus lebih percaya terkait leluhur.
Pak Uli kembali mengambil alih acara. “Baiklah, kita semua sudah mendengar secara langsung, ya, bahwa Nek Jasingah atau Nek Moyang kita telah menerima pinangan Radana. Sebagai simbol pengikat pinangan, Nek Jasingah dan Radana dipersilakan untuk bertukar cincin. Setelah itu, Nek Jasingah dan Radana tidak boleh lagi melirik atau bahkan mendekati orang lain.” Dia tersenyum, dan ucapannya barusan langsung disetujui semua orang dengan mengangguk-anggukkan kepala.
Kemudian aku dan Nek Jasingah diminta berdiri di tengah ruangan. Kami bertukar cincin yang sudah Nek Jasingah berikan melalui Pak Uli waktu itu. Nek Jasingah tampak bangga dan bahagia melebihi tadi saat jari manisnya aku pasangkan cincin. Sedangkan aku berusaha mati-matian untuk seceria mungkin saat jari manisku dipakaian cincin olehnya. Lantas kami difoto berdua dengan senyum terkembang dan memperlihatkan cincin di jari kami. Sungguh hal yang menjengkelkan sekaligus menyedihkan.
Setelah aku dan Nek Jasingah resmi diikat tunangan, kami semua makan bersama. Setelah makan, kami kembali beramah-tamah sambil menikmati makanan ringan dan minuman hangat. Kesulitan dan kemalanganku hari ini belum juga berakhir. Aku harus mau bercakap-cakap dengan siapa pun, termasuk adik dan anak-anak Nek Jasingah. Canggung sekali aku terhadap mereka. Bagaimanapun ada rasa tak percaya diri. Bagaimana tidak? Aku akan memiliki adik ipar dan dua anak tiri yang usianya terbilang jauh di atasku. Kendati mereka bersikap baik, tetap saja leherku terasa tercekik. Sepertinya aku telah masuk ke gerbang neraka, sebuah tempat kesengsaraan yang diciptakan oleh Nek Jasingah.
***
Hari ini Bapak tidak ke kebun. Katanya, beliau diizinkan libur selama tiga hari sejak acara pinangan kemarin. Hubungan kami tampak kembali hangat, seperti sebelum adanya perjanjian adat. Padahal, diam-diam aku masih sangat kecewa pada Bapak. Sementara Ibu, sekarang juga terlihat senang. Ibu tidak lagi melamun dengan wajah yang ruwet. Bapak dan Ibu tidak lagi peduli dengan perasaanku yang sebenarnya.
Di luar aku harus menampilkan kebahagiaan. Di dalam rumah aku juga wajib bergembira. Kalau aku tampak bersedih, orang-orang akan curiga. Aku tidak mau itu terjadi. Jika ada warga yang mendapatiku murung, pastilah nanti jadi bahan omongan, lalu sampai ke telinga Bapak dan Ibu, bahkan bisa memukul gendang telinga Nek Jasingah. Sementara bila aku susah hati di rumah, Bapak dan Ibu juga pasti banyak tanya dan curiga, yang akhirnya memunculkan masalah baru. Aku sungguh pusing. Semua jalan yang terbentang adalah jalan buntu. Dusun ini jadi seperti dinaungi kubah besar dan luas nan kasatmata yang mengurungku.
Belum lama ini aku makan siang bersama Bapak dan Ibu. Sebenarnya, sedari pagi aku ingin bertemu dengan Yusfina, tetapi aku takut untuk berpamitan keluar rumah. Aku tidak mau kalau keinginan itu malah membuatku dan Bapak bertengkar. Sungguh, aku sudah sangat capek jika harus berseteru lagi dengan Bapak. Maka, sejak beberapa jam lalu aku mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan itu. Karena kami masih berkumpul di ruang tengah, sekaranglah waktu yang tepat untuk berbicara dengan mereka.
“Pak, Bu, saya mau bertemu dengan Narangka dan Yusfina, ya?” Aku sengaja menyebut nama Narangka agar Bapak dan Ibu tidak curiga berlebihan. Aku tidak ingin Bapak, terutama Ibu, mengira aku mau berduaan dengan Yusfina, kendati memang itu yang aku mau. Aku harus bisa membuat mereka berpikir, bahwa aku ingin bermain dengan Narangka dan Yusfina seperti biasa.
“Jangan main lagi. Kamu itu sudah dewasa. Kamu tidak lama lagi akan menikah. Kamu tidak pantas lagi bermain di lapangan atau di mana pun. Intinya, kamu bukan anak-anak lagi.” Bapak menatapku serius.
“Tolonglah kamu jangan macam-macam lagi, Rad,” pinta Ibu tegas. “Kalau kamu kabur lagi, Ibu akan benar-benar bunuh diri. Kali ini Ibu tidak cuma mengancam, tapi akan sungguh Ibu lakukan.”
“Kalau kamu kabur lagi, Bapak lebih baik mati juga. Tidak sanggup rasanya kembali menanggung malu untuk ketiga kalinya.” Bapak menampilkan wajah yang memohon.
Rupanya Bapak tidak lagi cepat berkata lantang penuh kemurkaan. Beliau terlihat jauh lebih bisa mengontrol diri. Barangkali karena aku yang sudah resmi bertunangan dengan Nek Jasingah, sehingga beliau merasa agak lega.
Aku melihat Bapak dan Ibu secara bergantian. Sorot mataku penuh keseriusan. “Pak, Bu, kali ini saya berjanji tidak akan kabur lagi. Lagi pula, ini ‘kan masih terang benderang, tidak mungkin saya minggat di siang hari begini. Bapak dan Ibu tidak perlu khawatir, saya sudah resmi bertunangan dengan Nek Jasingah. Saya tidak akan membuat Bapak dan Ibu malu lagi,” ujarku kemudian yang memang tidak mempunyai niatan untuk pergi lagi dari dusun.
“Sungguh?” Ibu melihatku dengan tatapan menyelidik.
“Iya, Bu.” Aku tersenyum.
Bapak terdiam dan tampak berpikir.
“Percayalah pada saya, Pak,” pintaku setengah mengiba. “Saya cuma ingin ketemu dengan Narangka dan Yusfina. Saya juga berjanji tidak akan bermain lagi seperti anak-anak yang lain. Paling-paling kami mendiskusikan suatu buku. Lagi pula, Narangka dan Yusfina ‘kan teman terdekat saya, Pak. Sejak kemarin saya belum bertemu dengan mereka. Saya juga mau memberi tahu mereka tentang pertunangan saya dengan Nek Jasingah. Saya juga ingin merayakan kebahagiaan saya dengan mereka, Pak.”
Bapak tersenyum semringah. “Betul juga. Dulu waktu Bapak meminang Ibumu, pulangnya Bapak langsung berkumpul dengan teman-teman. Kami minum-minum untuk merayakan kebahagiaan Bapak.” Beliau terkekeh.
“Tapi kamu tidak boleh minum minuman keras,” imbuh Ibu mewanti-wantiku.
“Tenang saja, Bu, paling-paling saya cuma jajan es.” Aku terkekeh.
Akhirnya Bapak dan Ibu membolehkanku keluar rumah. Dalam hati aku berucap maaf. Aku membohongi Bapak dan Ibu dengan membawa-bawa nama Narangka. Padahal, aku hanya ingin bertemu dengan Yusfina. Aku rindu padanya. Kalau bisa, aku ingin mengungkapkan semua kesedihanku di dekatnya. Aku ingin membagi seluruh perasaanku dengannya. Aku butuh teman bicara. Aku ingin menangis di pelukannya.
Setibanya di rumah Yusfina, aku bertemu dengan Pak Jaraka. Sialnya, Yusfina tidak ada di rumah. Menurut Pak Jaraka, sekitar tiga puluh menit yang lalu Narangka menjemput Yusfina untuk ke Rumah Baca. Aku pun akhirnya pamit pada Pak Jaraka.
Aku tidak percaya Narangka dan Yusfina ke Rumah Baca. Selain mereka sudah agak enggan ke Rumah Baca, biasanya di jam segini kami belum membuka rumah tersebut. Perasaanku jadi tidak enak. Entah kenapa seperti ada firasat buruk yang membuatku gelisah. Kalau mereka tidak ke Rumah Baca, pastilah ke sisi sungai. Aku bergegas ke sana.
Memasuki area sisi sungai aku memperlambat langkah. Aku mengendap-ngendap agar tidak ketahuan Narangka dan Yusfina. Ternyata benar. Mereka ada di sana sedang duduk bersebelahan menghadap aliran sungai. Perlahan-lahan aku bergerak dan bersembunyi di balik pohon. Dari jarak beberapa meter itu aku mengintip dan bisa mendengar percakapan mereka.
“Kita harus tetap membuka Rumah Baca,” kata Yusfina melanjutkan obrolannya dengan Narangka. “Kasihan anak-anak yang lain kalau Rumah Baca kita tutup. Yang megang kunci ‘kan cuma kita bertiga.”
“Nek Jasingah juga pasti punya kuncinya,” sahut Narangka.
“Iya, tapi bagaimanapun kita sudah diberi amanah olehnya. Jangan sampai dia curiga pada kita. Kamu tentu tidak mau mendapat masalah, ‘kan?” Yusfina terdengar khawatir.
“Iya, tenang saja. Kalau begitu nanti sore kita buka Rumah Baca. Kita bersikap seolah-olah tidak tahu apa yang pernah dilakukan Nek Jasingah terhadap anak-anak di sana. Begitu, ‘kan, maksudmu?”
“Iya.”
Ada senjang senyap di antara keduanya. Entah apa yang mereka tengah pikirkan. Kata hatiku menyuruh untuk tetap bersembunyi. Aku pun bersabar untuk tidak menampakkan diri di depan Yusfina dan Narangka.
“Yus, hmm … sebenarnya ada yang mau saya katakan sama kamu,” cetus Narangka terdengar agak ragu dan gugup.
Aku memasang pendengaran lebih tajam. Sementara perasaanku makin tidak enak. Jangan-jangan inilah yang sejak tadi aku khawatirkan, bahwa ada firasat yang membuat hati tak nyaman terkait hubungan Yusfina dan Narangka yang tidak terlihat olehku.
“Ya, katakan saja. Mau bicara kok pakai pembuka seperti itu? Kamu seperti bukan Narangka yang doyan ceplas-ceplos.” Yusfina terkekeh.
Narangka tidak ikut tertawa. Biasanya ucapan semacam itu akan membuat Narangka juga tertawa. Benar kata Yusfina barusan, Narangka tidak seperti biasanya.
“Sebenarnya … hmm … sebenarnya sudah lama saya cinta sama kamu, tapi saya keduluan Radana. Lagi pula, sepertinya kamu tidak menyukai saya. Kamu tidak memiliki perasaan yang sama seperti saya. Makanya, saya tidak pernah mengatakan ini sama kamu, bahkan tidak terpikirkan oleh saya untuk bicara begini seperti sekarang.”
Aku terkejut. Dari balik pohon aku mendapati Yusfina juga terkejut karena mengetahui perasaan Narangka yang sesungguhnya. Narangka pun tampak terkejut karena baru saja mengungkapkan perasaannya kepada Yusfina.