Hari ini saya mendapati wajah-wajah bahagia yang berseliweran di sekitar saya. Yang merasa gembira bukan hanya saya sekeluarga, tapi juga perangkat dusun dan warga. Saya sudah menyuruh beberapa orang untuk menyembelih dua ekor sapi untuk kelengkapan hidangan di prasmanan. Sementara kepala dua hewan itu sudah menjadi kekompletan sesajen yang dikubur di halaman depan dan belakang kediaman saya. Tentu saja itu ritual persembahan kepada leluhur untuk meminta kelancaran dalam pernikahan saya dengan Radana.
Sejak semalam para perangkat dusun kelas bawah seperti pesuruh, centeng, dan jongos yang dibantu warga sibuk menyiapkan semuanya. Saya meminta mereka mendirikan tenda, pelaminan, dan panggung hiburan di lapangan. Di sana akad nikah dan penerimaan tamu dilaksanakan. Saya tentu saja mengenakan pakaian adat pernikahan yang didominasi warna biru cerah. Keluarga saya pun mengenakan pakaian adat dengan warna serupa. Sementara para Ketua Mukim saya belikan batik agar terlihat berbeda dengan warga biasa. Tidak ketinggalan ibu-ibu yang saya tunjuk untuk menjaga prasmanan dan meja-meja berisi buah serta kudapan saya belikan pakaian terbaik. Namun, dari mereka tidak akan bisa mengalahkan kemewahan dan keanggunan pakaian adat yang saya kenakan. Itu adalah pakaian kehormatan tingkat tinggi di Dusun Mukim, dan tidak ada yang boleh mengenakannya selain saya atau keluarga Kepala Mukim.
Pak Uli yang saya berikan kepercayaan menjadi ketua panitia pernikahan pun sangat cekatan. Dia memang sungguh bisa diandalkan tersebab kebiasannya yang mudah mengerti keinginanan saya. Dia memperhatikan semua yang saya pinta supaya bisa terlaksana dengan baik. Dia sangat cakap dalam mengatur semua perangkat dusun untuk bertindak atau berbuat seperti yang saya perintahkan.
Saat rombongan besan datang, Pak Uli memerintahkan semua orang untuk bersiap menerima mereka dengan sigap dan ramah. Empat orang yang ditugasi untuk mengabadaikan momen pernikahan saya pun mulai sibuk. Keempatnya dengan baik memfoto dan membuat video. Saya tersenyum semringah. Lega sekali rasanya sudah bisa di tahap ini. Saya duduk menunggu di depan pelaminan, tempat di mana ijab kabul dilaksanakan.
Radana datang bukan hanya bersama keluarganya, tetapi juga tetangga dekatnya. Radana sekeluarga tentu saja sudah saya berikan pakaian adat yang sama seperti keluarga saya. Terkhusus Radana, tentulah yang paling baik, di mana kehormatan pakaian tersebut sederajat dengan saya.
Pak Jaraka yang memimpim rombongan keluarga Radana sedang mengawali salam pembuka dengan Pak Uli. Keduanya tampak santai dan serius dalam acara kedatangan dan penyambutan tersebut.
Setelah saling sepakat bahwa kedatangan besan diterima, Pak Uli dan Lagama mendekati Radana. Keduanya menarik lengan Radana dengan santai dan mengajaknya masuk ke tenda. Ketiganya terus mendekat ke arah saya sembari melempar senyuman terbaik. Bahagia sekali rasanya melihat Radana tersenyum seindah itu. Saya tidak peduli dia sungguh bahagia atau masih berupaya bahagia atau malah tengah berpura-pura bahagia. Yang penting, saya bisa menikahinya. Kalau sudah begitu, tubuhnya mejadi halal buat saya.
Para perangkat dusun menampilkan wajah ramah sembari berterima kasih. Mereka menyambut bebawaan yang disodorkan oleh para tetangga terdekat Radana. Seserahan berupa perhiasan, buah-buahan, macam-macam kue tradisional, pakaian-pakaian bagus, dan lain sebagainya itu lantas dibawa ke tempat yang sudah disediakan, yang mana setelah itu akan diangkut ke kediaman saya. Lucu juga melihat seserahan yang saya beli untuk Radana, sekarang diberikan lagi kepada saya.
Semua orang duduk di bangku tamu. Sementara saya, Radana, Lagama, Ujong, Pak Jaraka, Bu Deli, dan Pak Rado duduk melingkari meja bundar. Saya berada di sebelah Radana. Sedangkan di seberang kami ada Pak Jaraka yang akan menikahkan kami.
Setelah mengucapkan kebasa-basian yang membikin saya tidak sabar, akhirnya Pak Jaraka menjabat tangan Radana.