Kemarin pagi Nek Jasingah kembali memberikan dua ekor kambing yang lantas disembelih oleh orang suruhannya. Dua kepala hewan itu dijadikan pelengkap ritual dan bersama sesajen lainnya dikubur di pekarangan depan dan belakang rumahku. Tentu saja ritual itu dipimpin Pak Jaraka yang didampingi aku sebagai calon pengantin. Tujuannya tetap sama, untuk meminta keselamatan dan kelancaran pernikahanku dengan Nek Jasingah hari ini.
Daging kambing sudah dijadikan semur, lalu dimasukkan ke besek anyaman bambu bersama nasi, bihun, sayuran, dan buah. Besek itu dibagikan kepada para tamu yang ikut selamatan di rumahku semalam. Pak Jaraka pula yang memimpin pengajian dan semua doa.
Saat bubaran, para tetangga menyalamiku dan mengucapkan selamat. Aku pun harus membalas mereka dengan bahagia. Masih ada saja beberapa pria yang menepuk pundakku sambil berkata kalau aku sangat beruntung. Ada pula yang memuji Bapak karena bisa membesarkan anak seberuntung aku. Kalau saja mereka tahu isi hatiku yang sebenarnya, barangkali mereka tidak akan sebangga itu terhadapku. Orang-orang yang biasa tidak menyapaku, kini menegurku dengan ramah. Orang-orang yang biasanya tidak memedulikanku, sekarang tersenyum sambil mengangguk hormat kepadaku. Orang-orang yang tadinya jauh, kini berupaya mendekat. Begitulah perubahan yang terjadi, yang terkadang membuatku merasa jijik.
Pagi ini pesuruh Nek Jasingah sudah menjemput. Ada empat mobil terparkir di depan rumahku. Pak Jaraka juga sudah datang dengan wajah segar. Para tetangga dekatku pun sudah rapi. Setelah aku dan keluarga beres mengenakan pakaian adat yang dikirim oleh Nek Jasingah, barulah kami meluncur ke lapangan.
Dalam perjalanan aku melamun. Sejak semalam pun aku sulit tidur dengan nyenyak. Bukan karena aku gugup karena ijab kabul nanti, tetapi karena batinku menolak untuk mempersunting Nek Jasingah. Satu-satunya yang bisa menolak hanyalah jiwaku, sementara ragaku sudah tak lagi milikku.
Berada dalam posisi seperti ini membuatku teringat dengan Yusfina. Sebenci apa pun aku terhadapnya, tetap saja rinduku masih teruntuknya. Aku sulit membuang bayang-bayang Yusfina. Cintaku sudah tertambat di hidupnya. Aku tidak bisa menyingkirkan Yusfina sepenuhnya. Aku jadi menyesal telah menyakitinya. Sekarang aku pasrah. Jika memang dia bisa lebih bahagia bersama Narangka, biarlah dia bahagia. Lagi pula, aku sudah tidak bisa diharapkan lagi.
Aku sekuat tenaga membangun bendungan di pelupuk mata. Aku tidak boleh terlihat bersedih, apalagi menangis. Bahkan, sebaiknya mataku tidak berkaca-kaca. Aku tidak mau kemurungan yang tampak itu malah menjadi bahan pertanyaan Bapak dan Ibu. Aku terus berupaya mencerahkan hatiku yang suram. Aku juga terus menata batinku yang remuk redam.
Setibanya di lapangan, aku malah makin teringat pada Yusfina. Sebab, di tempat ini kami sering bermain. Di alun-alun dusun inilah awal mula cita-cita kubangun, ternyata di sini pulalah cita-citaku itu runtuh. Saat bermain bersama Yusfina, aku kerap kali melihatnya tersenyum atau tertawa. Aku menyadari bahwa kebahagiaan Yusfina adalah cita-citaku tertinggi. Aku ingin terus membahagiakannya. Maka, aku harus mengumpulkan uang agar bisa menikahinya, dan untuk itu aku harus bekerja di kota. Kini, segalanya telah sirna.
Kami disambut baik oleh Pak Uli dan panitia pernikahan lainnya. Sambutan pembuka dari kedua pihak yang diwakili Pak Uli dan Pak Jaraka berjalan baik. Seluruh seserahan sudah berpindah tangan, dari pihakku ke pihak Nek Jasingah. Sampai kemudian aku dibimbing oleh Pak Uli dan Pak Lagama. Setelah duduk bersebelahan dengan Nek Jasingah, ijab kabul pun terlaksana.
Aku melihat Nek Jasingah begitu gembira, sementara aku pura-pura memiliki perasaan yang sama. Bapak dan Ibu juga sangat menikmati momen pernikahanku, dan mereka terlihat semakin bangga. Bapak dan Ibu tersenyum cemerlang. Bapak dan Ibu melihat semua orang dengan percaya diri. Sejujurnya, aku senang melihat Bapak dan Ibu begitu bahagia, kendati lama-kelamaan kebahagiaan mereka terasa menikam jantungku.
Aku begitu heran saat bertukar cincin dengan Nek Jasingah. Sebab, aku tidak mendapati satu orang pun yang melihatku dan Nek Jasingah adalah pasangan yang aneh—tentu saja kecuali Kak Ujong dan Kak Amelia. Semua orang tampak biasa dan normal-normal saja. Padahal, aku terlihat lebih cocok menjadi anak atau mungkin cucunya, bukan menjadi suaminya. Namun, semua orang—kecuali Kak Ujong dan Kak Amelia—menatapku dan Nek Jasingah sebagai pasangan yang serasi.
Aku duduk di pelaminan dengan hati begitu gelisah, tetapi aku terus berusaha menepis perasaan itu. Aku tidak mau kegelisahan semakin menguasai dan membuatku tak sadar bersedih. Kalau sampai Bapak dan Ibu mendapatiku murung, bisa jadi masalah. Apalagi, kalau Nek Jasingah yang melihatku seperti itu, aku tidak mau dia nekat dan malah membuat malu Bapak dan Ibu di depan banyak orang. Aku terus saja takut pada ketakutan yang belum tentu terjadi. Aku begitu paranoid. Terlalu banyak yang aku pikirkan. Terlampau banyak pula yang membuatku waswas.
Kejengkelanku menjadi-jadi ketika Nek Jasingah beberapa kali mengusap pipiku. Dia tampaknya sudah tidak sabar ingin menyentuhku lebih dari itu. Aku jadi ngeri. Aku ingin berdoa kepada Allah agar hari ini tidak ada lagi malam hari, tetapi itu suatu yang mustahil. Atau, aku memohon kepada-Nya agar memperlambat waktu, sehingga malam datang terlambat atau lebih lambat daripada biasanya, tetapi itu juga tidaklah mungkin. Hari ini waktu bergulir dengan normal.
Nek Jasingah melihatku dengan bahagia. Tentu saja begitu. Dia telah mendapatkan apa yang dia inginkan. “Aku senang sekali kamu akhirnya terlihat bahagia,” katanya kemudian disudahi dengan senyuman.
Aku tidak bahagia! Dasar, sundal! teriak batinku. “Sejak awal saya memang bahagia, kok,” sahutku, lalu terpaksa membalas senyumnya.
Nek Jasingah mengusap pipiku. “Baguslah kalau begitu,” katanya lagi dengan ekspresi seperti hendak menelanku bulat-bulat. Sepertinya dia sungguh bernafsu denganku. Mengerikan sekali.
Aku kembali menyahut dengan kesal, “Saya tidak suka bermesraan seperti tadi.”
“Maksudmu mengusap pipi?” tanya Nek Jasingah. Entah dia memang tidak tahu atau malah pura-pura bodoh.
“Iya, jangan mengusap-usap pipi saya di depan banyak orang,” timpalku dengan suara tegas.
Nek Jasingah malah terkekeh. “Kamu lebih suka kita bermesraan saat berdua saja, ya?” Dia menyenggol bahuku dengan wajah dimanja-manjakan. Benar-benar menjijikkan.
Aku terdiam beberapa detik. Aku berupaya menahan kekesalan agar tidak aku muntahkan. Enek sekali melihat sikap Nek Jasingah, terlebih mendengar semua ucapannya. “Iya,” kataku akhirnya karena tak tahu harus berucap apa.
“Baiklah, saya akan sabar menunggu nanti malam.” Nek Jasingah makin terlihat senang. Dia meraih tanganku, lalu menggenggamnya.
Tidak! Najis! Tidak sudi saya bermesraan berdua denganmu, kuntilanak! batinku berteriak. Aku seperti menjebak diriku sendiri. Alih-alih memberi tahu Nek Jasingah bahwa aku tak suka disentuh olehnya, aku justru berkata seolah ingin bermanja-manja ketika berduaan saja dengannya. Benar-benar sial. Sekarang bukan hanya tindakan, perkataanku pun jadi serbasalah.