Saya menunggu Radana yang sedang mandi dengan tidak sabar. Sebenarnya, saya ingin sekali mandi bersamanya. Kami bisa saling membantu dalam upaya membersihkan diri. Saya bisa menyabuni badannya, sementara dia juga bisa menyabuni badan saya. Saya bisa mengusap-usap seluruh tubuhnya, dia pun sangat boleh menyentuh seluruh tubuh saya. Mandi air hangat tentu menghangat raga, tapi sembari mendekap erat tubuh tentu membikin hangat jiwa. Apesnya, keinginan itu harus saya tunda. Pasalnya, saya mau berupaya pelan-pelan meluluhkan hati Radana. Saya ingin dia benar-benar mau melayani saya tanpa terpaksa.
Setelah Radana selesai mandi, saya langsung membersihkan diri. Saking bahagianya, saya bersenandung sembari mandi air hangat yang membikin tubuh saya nyaman. Sembari menggosokkan sabun ke tubuh, saya jadi terangsang. Apalagi, Radana sudah ada di kamar saya. Bodoh sekali jika saya membayangkan bersanggama dengan Radana, sementara orang yang saya bayangkan itu ada di dekat saya, bahkan sudah halal untuk saya setubuhi. Akhirnya saya tak tahan. Nafsu berahi saya sudah tidak bisa diredam. Sebagai suami yang baik, dia harus mau melayani saya sebagai istrinya. Hancur sudah niatan awal saya tadi. Maka, sehabis mandi saya hendak menyampaikan soal kewajiban dia sebagai suami, yaitu memuaskan kebutuhan biologis saya.
Setelah beralih ke kamar, rupanya Radana sudah tertidur pulas. Saat saya sapa beberapa kali, dia tidak bangun. Saya sempat menggoyang-goyangkan tubuhnya pelan-pelan, dia tetap terlelap. Sementara itu, saya berkali-kali menelan ludah karena sudah terlampau ingin bermandikan madu malam pertama. Hati saya jadi resah. Diri saya jadi tidak tenang. Namun, apa mau dikata? Radana sudah tidur. Maka, dengan kecewa saya memakai pakaian.
Saya rebahan di samping Radana yang benar-benar pulas. Sepertinya dia sungguh kecapekan. Saya mengusap wajahnya dengan penuh kasih sayang. Namun, saya benar-benar tidak tahan. Saya sudah menunggu terlalu lama momen seperti ini. Saya telah banyak mengeluarkan dana, tenaga, dan pikiran supaya Radana bisa tidur di ranjang yang sama dengan saya. Maka, saya kian tidak tahan.
Dengan kegelisahan yang sudah menguasai, saya menanggalkan seluruh pakaian saya. Saya menarik guling yang dipeluk Radana. Lalu, dengan perlahan dan hati-hati, saya melepaskan semua pakaian Radana. Saking pulasnya, dia sampai tidak terbangun. Dia hanya bergerak pelan dengan mata tetap tertutup. Saya sempat khawatir, jangan-jangan Radana sakit karena kelelahan. Saya menyentuh dahinya, dan terasa normal-normal saja, tidak demam. Sementara itu, hasrat saya untuk menidurinya kian tinggi dan tak terkendali, sehingga perasaan iba itu dengan cepat lenyap, lalu digantikan nafsu yang kian sulit dikendalikan. Saya menegaskan pada diri sendiri, bahwa Radana sama sekali tidak sakit. Kemungkinan besar dia hanya mau tidur atau malah menghindari untuk saya tiduri. Lantaran pikiran itu, nafsu saya kian tinggi.
Saya naik ke tubuhnya. Saya mendekatkan kemaluan saya ke kemaluannya. Saya menggesek-gesekkan kemaluan saya ke kemaluannya. Radana menggeliat, sementara saya kian bersemangat. Saya melihat diri saya yang dulu ada di diri Radana yang sekarang. Dulu, Arjun juga memperlakukan saya seperti sekarang saya memperlakukan Radana. Saya jadi tersenyum lebar, seolah-olah dendam masa lalu tengah terbayar. Setelah pemanasan dirasa cukup, saya paksakan kemaluan Radana masuk ke kemaluan saya. Dengan gairah yang kian hebat, saya menggoyang-goyangkan pinggul saya dengan nikmat.
Akhirnya Radana membuka matanya. Saya kembali mendapati diri saya yang dulu ada di diri Radana yang sekarang. Bedanya, dulu Arjun menyetubuhi saya sembari melakukan kekerasan atau main tangan, tapi kini saya menahan keinginan itu kepada Radana. Saya juga tidak mengerti, kenapa ada hasrat untuk melakukan kekerasan kepada Radana seperti yang dulu Arjun lakukan kepada saya. Sekarang saya berupaya mengatasi keinginan itu. Saya tidak mau menyakiti Radana. Saya hanya ingin mendapatkan kepuasan lahir batin dari laki-laki yang saya cintai. Saya ingin terbang ke langit tertinggi oleh laki-laki yang saya ingini.
Walau Radana sepertinya terkejut, saya tetap menikmati permainan ini. Radana mungkin hanya kaget tersebab kali pertama berhubugan badan dengan perempuam. Dia tidak bergoyang mengikuti goyangan saya. Saat saya menciumi bibirnya berkali-kali, dia tidak juga membalasnya. Tersebab dia seperti itu, saya jadi kian ganas menciumi dan menjilati leher dan badannya. Saya harus memaklumi Radana yang mungkin masih bingung harus bagaimana. Saya yakin, nanti dia juga akan merasa enak dan ketagihan. Kelak dia akan mengikuti semua gerakan saya, sehingga kami bergoyang sesuai irama yang diiringi desahan dan erangan kenikmatan. Bahkan, boleh jadi nanti dia yang mau menindih saya lebih dulu.
Akhirnya saya merasakan kepuasan yang seumur hidup baru saya rasakan. Kenikmatan dari seseorang yang saya inginkan benar-benar membikin saya melayang ke singgasana langit tertinggi. Saya merebahkan diri di sebelah Radana yang masih terdiam. Saya mencium pipinya berulang kali. Lalu mengecup bibirnya yang terasa sangat manis.
“Sayang, terima kasih, ya.” Saya mengusap pipi Radana. Saya membelainya penuh dengan cinta kasih yang belum pernah saya berikan kepada siapa pun.