Aku sudah mati. Jiwa dan ragaku bukan milikku lagi. Aku telah menjadi boneka kepunyaan Nek Jasingah. Aku benar-benar dijadikan budak seks olehnya. Aku tidak bisa menolak semua keinginannya. Aku terus saja terpaksa melayani nafsu setannya. Aku ditelanjangi, diciumi, dijilati, digigit, diisap, dibunuh siang malam. Aku diperkosa berjam-jam. Awalnya, dia hanya menindihku dengan goyangan dan lumatan yang kasar. Namun, belakangan ini dia menyetubuhiku sambil sesekali memukul atau menamparku. Dengan cara seperti itu dia tampak lebih terpuaskan.
Dengan dalih perintah leluhur dan Tuhan, Nek Jasingah terus saja melakukan kekerasan seksual terhadapku. Terkadang, saat meminta dilayani, dia mengancam terlebih dahulu. Biasanya, dia menyebut nama Bapak dan Ibu, yang kemudian membuatku tertekan. Kalau aku tidak mau memuaskan nafsu bejatnya, dia pasti membuat Bapak dan Ibu malu. Atau, kedua orang tuaku itu akan mendapat masalah. Aku tahu dia tidak main-main dengan ancamannya, dan karena itu aku tidak mampu melawannya. Aku sudah berkorban sejauh ini, sudah sepatutnya Bapak dan Ibu bisa bahagia. Biarlah Bapak dan Ibu tidak tahu apa yang aku rasakan, tetapi mereka harus bisa menikmati hidup yang lebih baik.
Rasanya aku sudah tidak tahan dengan kekerasan yang dilakukan Nek Jasingah. Ketidakberdayaan kadang membuatku menangis di dalam kamar mandi. Air yang aku guyurkan ke kepala sering bercampur dengan air mata. Aku tahu betul Nek Jasingah menyadari kesedihan dan tangisanku itu, tetapi dia tidak peduli. Di dalam kepalanya hanya ada kebahagiaan, yang dia dapatkan dengan cara bercinta denganku.
Sehabis makan, Nek Jasingah menarikku ke kamar. Sehabis mandi, dia kerap kali mendorongku ke ranjang. Bahkan, suatu pagi sesudah aku salat subuh, dia memaksaku untuk melayaninya. Padahal, aku belum sempat berdoa dan masih memakai pakaian ibadah. Persetan dengan lisannya yang mengaku sebagai orang beragama. Semenjak kami menikah, dia tidak pernah ikut salat berjamaah denganku. Seperangkat alat salat yang menjadi mas kawin pun belum juga dia buka dari kotaknya. Aku bukan menikahi seorang manusia, tetapi setan yang menyamar jadi manusia.
Malam ini aku benar-benar lelah. Siang tadi aku kembali diperkosa habis-habisan oleh Nek Jasingah. Kemaluanku sampai lecet dan perih saat terkena air. Perut bawahku juga tidak nyaman, kadang terasa mual dan nyeri. Mungkin karena tindihan dan goyangan kasar Nek Jasingah saat memerkosaku. Terkadang aku berpikir, apa yang membuat Nek Jasingah kuat sekali bersetubuh? Apakah diam-diam dia mengonsumsi obat kuat? Ataukah memang nafsu seksnya sedang tinggi-tingginya? Aku sungguh tidak paham. Yang aku mengerti, adalah aku bisa mati jika setiap hari harus melayaninya di ranjang.
Sekarang aku benar-benar ingin tidur. Jiwa dan ragaku sungguh butuh istirahat dari semua aktivitas badan dan pikiran. Sakit tubuhku tidak seberapa parah, tetapi luka batinku yang serasa berdarah. Sebelum tidur aku sering berharap, bahwa terlelapnya aku tidak akan terbangun lagi untuk selamanya. Aku ingin mati saat rehat memejamkan mata seperti itu. Harapan yang sakit. Pernah terpikir dalam benakku untuk bunuh diri, tetapi berkali-kali pula aku urungkan niat itu. Bagaimanapun, aku tidak boleh menyakiti diri sendiri. Dalam agama Islam, bunuh diri itu perbuatan yang sangat berdosa. Maka, aku terus berupaya menguatkan jiwa raga, kendati harapan untuk mati saat tidur itu kembali muncul dalam kepala.
Selepas asar tadi Nek Jasingah dijemput oleh Pak Uli. Keduanya pergi menggunakan mobil yang dikendarai Pak Uli. Aku tidak tahu mereka ke mana dan dalam urusan apa. Aku tidak peduli. Aku tidak mau mengurusi perkara mereka. Biar saja keduanya pergi dengan lama. Kalau perlu mereka tidak kembali lagi. Barangkali mereka kecelakaan, lalu mati. Atau, Nek Jasingah saja yang mati, sementara Pak Uli hanya mengalami cedera ringan.
Sebenarnya, sempat terlintas pula dalam pikiranku untuk membunuh Nek Jasingah. Kalau dia mati, aku akan terbebas dari pemerkosaan yang akan berlangsung seumur hidupku. Namun, lagi-lagi aku paham, bahwa membunuh seseorang itu dilarang oleh agama. Karena hal itulah aku hanya bisa berharap Nek Jasingah mati kecelakaan. Atau, tanpa sepengetahuanku, dia memiliki musuh di luar dusun, lalu orang itu membunuhnya karena balas dendam. Bagaimanapun, pastilah ada orang-orang yang tidak menyukai orang seperti Nek Jasingah. Barangkali kali ini orang-orang itu memberanikan diri untuk menghabisi nyawanya. Siapa yang tahu? Ah, namanya juga harapan.
Setelah buang air kecil dan mencuci muka di kamar mandi, aku beralih ke kamar tidur. Jam dinding menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Semoga saja harapanku terkait matinya Nek Jasingah itu menjadi kenyataan. Mana tahu karma terhadapnya tengah bekerja. Barangkali nanti aku dibangunkan oleh Bi Sarinah yang mengabarkan kematian Nek Jasingah. Harapan itu tentu saja jahat. Biarlah aku hanya jahat dengan harapan. Tidak seperti Nek Jasingah yang keji terhadapku dari semua sisi.
Aku baru saja memejamkan mata ketika mendengar suara pintu kamar terbuka.
“Masih sore kok sudah tidur, Sayang?” Nek Jasingah kembali menutup pintu.
Aku pura-pura sudah terlelap. Benar-benar sial! Ternyata harapan saja tidak berpihak padaku. Nek Jasingah masih hidup dan terdengar baik-baik saja.
“Malam sedingin ini kenapa cepat-cepat tidur?” Nek Jasingah naik ke ranjang. “Saya butuh kehangatanmu.” Nek Jasingah memelukku. “Sayang, saya kedinginan,” katanya lagi dengan manja.
Aku tetap diam dan pura-pura sudah tidur pulas.
Nek Jasingah mulai menciumi wajahku. Jijik sekali aku diperlakukan seperti itu. Apalagi, saat dia melumat bibirku dengan nafsu yang membara, rasanya enek dan air liurnya membuatku mau muntah.
“Ayo, Sayang.” Nek Jasingah mengguncang-guncang tubuhku.
Aku tetap diam dan berusaha tenang.
Alih-alih Nek Jasingah menyerah dan memilih tidur, dia justru menaiki tubuhku. Semakin tidak dipedulikan, dia malah makin brutal.
Plak!
“Sayang, ayo bangun,” kata Nek Jasingah dengan nada manja sekaligus kesal.
Tamparan itu mulai mengusik ketenanganku.