Menikahi Nenek Moyang

Ari Keling
Chapter #18

Yang Tak Berkesudahan

Sore ini saya harus menemani Pak Uli menemui seorang cukong di rumah Pak Radin. Pemilik modal itu memang kenalan lama Pak Radin, dan dia berniat membangun pabrik air mineral lokal di tanah adat. Tadinya, saya menyuruh Pak Uli saja, tapi cukong itu menolak. Dia ingin bertemu langsung dengan saya tersebab bakda isya dia harus pergi ke kota untuk urusan penting lainnya. Pada mulanya, saya malas lantaran masih ingin berdekatan terus dengan Radana. Namun, setelah Pak Uli memberikan pemahaman bahwa ini kesempatan bagus untuk kelangsungan Dusun Mukim dan pemasukan Uang Dusun, akhirnya saya terpaksa menemui cukong itu. Memang, untuk urusan bisnis atau uang yang jumlahnya banyak, lebih baik bertemu langsung.

Pertemuan itu berjalan dengan baik. Obrolan serius kami diselingi tawa yang membikin suasana menjadi lebih akrab. Setelah kesepakatan kerja sama itu terjalin, si cukong lantas pergi keluar kota—entah memang dia mau berbisnis atau pulang ke rumahnya. Saya tidak memedulikan itu. Saya hanya ingin kembali ke kediaman saya untuk mendekap Radana, sekuat-kuatnya, senikmat-nikmatnya.

Dalam perjalanan pulang, hasrat seksual saya menggebu-gebu. Saya duduk dengan gelisah. Saya tidak sabar ingin segera sampai di rumah. Pak Uli sempat mencandai saya. Katanya, apa saya tidak mau jajan dulu? Katanya lagi, ada pelacur-pelacur remaja laki-laki yang masih baru dan segar. Saya menolak tawaran itu. Saya katakan kepada Pak Uli, kalau saya hanya mau dengan Radana. Lagi pula, saya belum bosan dengan Radana. Mungkin kelak saat saya ingin selingan, barulah saya menghubungi dia untuk mengantar saya menemui pelacur-pelacur remaja laki-laki yang katanya masih ranum itu. Pak Uli tertawa geli mendengar keterangan saya, dan dia sungguh dapat memakluminya. Namun, dia sedikit mencandai saya dengan mengatakan, begitulah memang pengantin baru, maunya terus-terusan bermandikan madu. Kami pun tertawa bersama.

Setibanya di rumah, saya langsung ke kamar. Sialnya, Radana sudah tidur. Saya tidak tahu dia memang sungguh telah terlelap, atau hanya pura-pura tidur pulas. Saya mencoba mengajaknya bicara, tapi dia tidak menyahut. Saya mendekatinya dan naik ke ranjang, tapi dia tidak terusik. Tersebab sudah sangat tidak tahan, saya pun tetap mengajaknya bicara sembari memeluknya. Lantaran jadi gemas, saya lantas menciumi setiap sudut wajahnya. Sampai saya mengguncang-guncang tubuhnya untuk membangunkannya, dia tetap tidak bergerak.

Saya jadi kesal. Saya naik ke tubuhnya. Saya membangunkannya. Namun, kali ini bukan hanya dengan kata-kata, tapi juga dengan tiga kali tamparan. Lantaran dia tidak juga membuka mata, dengan kasar saya melepaskan bajunya. “Bangun, Sayang!”

Akhirnya Radana terbangun. Dia menatap saya dengan air muka terganggu. Saya tidak peduli lantaran memang sudah sering seperti itu, dan dia tetap mau melayani saya. Namun, kali ini ada yang berbeda dengan sikapnya. Saya didorong olehnya dengan kasar, tapi saya sangat senang sampai-sampai saya tertawa. Ini kejutan yang menyenangkan. Dia melepaskan bajunya dengan tergesa. Saya diam menyaksikan itu dengan bahagia. Dan yang paling menggembirakan, dia menarik paksa saya supaya lebih dekat ke tubuhnya. Baju saya ditarik dengan kencang, lalu dirobeknya, sehingga belahan buah dada saya terlihat. Saya tersenyum dengan perlakuannya yang hebat itu. Kemungkinan besar dia sangat bergairah terhadap saya. Mungkin juga sejak tadi dia menunggu kedatangan saya untuk melampiaskan hasrat seksualnya. Kini, dia bukan hanya menelanjangi dirinya sendiri, tapi juga melepaskan seluruh pakaian saya.

Dia menaiki tubuh saya dan menindih saya dengan kuat. Tanpa menciumi saya terlebih dahulu, dia langsung memasuki saya sekasar-kasarnya. Apa yang dia perbuat itu, seperti apa yang sering saya lakukan terhadapnya. Dia sedang balas dendam dengan cara yang sama, dan berahi saya kian bergelora. Saya mendesah dan bergelinjang dengan girang. Tidak pernah saya diberikan kenikmatan sedahsyat ini.

Dia mencengkeram leher saya supaya memiliki pegang untuk bergoyang lebih hebat. Saya sangat menyukainya. Namun, lama-lama leher saya bukan dijadikan tempat pegangan, melainkan dia sedang menyulitkan pernapasan saya. Bahkan, kemudian dia meremas payudara saya sekuat tenaga, dan itu bukan malah membikin saya lebih terangsang, tapi dia seperti berusaha supaya saya segera berpulang. Dia sungguh sedang menyakiti saya. Perlakuannya itu membikin saya tak lagi nyaman. Saya sungguh tertekan. Saya membentaknya, tapi kemudian dia menampar saya. Saya katakan dia harus berhenti, tapi dia kembali menapar saya lebih keras, sampai-sampai ujung bibir saya pecah dan mengeluarkan darah.

Saya kembali memaki Radana, dan dia juga memaki saya. Terjadilah pertengkaran yang keras. Sampai akhirnya dia turun dari ranjang dan dengan cepat mengenakan semua pakaiannya lagi. 

Secepat mungkin saya kembali mengenakan pakaian. Saya yakin Radana hendak kabur. Dia tidak akan bisa lari dari sini. Lagi pula, pintu kamar sudah saya kunci. Saya langsung mengejarnya yang sudah berada di depan pintu. Saya menjenggutnya dengan kasar. Lalu dia membalikkan badan seraya mendorong saya hingga mundur beberapa langkah. Saya kembali mendekatinya. Saya menarik paksa bajunya, tapi dia kembali melepaskan diri. Bahkan, dia meninju muka saya dengan penuh tenaga sampai saya terjengkang ke belakang.

Apa yang Radana lakukan kepada saya, langsung mengingatkan saya kepada Arjun. Saya sunguh tidak terima. Setelah Arjun mati, belum pernah ada orang yang berani memukul atau menyakiti saya. Tidak pernah saya merasa serendah ini, apalagi di hadapan laki-laki bau kencur seperti Radana. Bangsat!

Saya memaki-maki dirinya. Dia pun balas mengumpati saya disertai ludahannya yang membikin saya kian naik darah. Saya bangkit berdiri dan dengan cepat menyerangnya. Saya juga ingin memukul wajahnya. Saya ingin meremas kemaluannya sampai pecah. Bajingan tengik! Dia menghindar dengan lihai. Bocah bedebah!

Radana tersenyum meledek, lalu berlari hendak mendobrak kaca jendela. Saya pastikan dia tidak akan bisa kabur, bahkan dia tidak akan mampu keluar dari kamar ini. Dengan cepat saya mengejarnya, menubruknya sekuat tenaga, sehingga kami sama-sama terpental menghantam tembok.

Jantung saya kian berdebar-debar. Napas saya pun tersengal-sengal. Sekelebat masa lalu tentang perlakuan kasar Arjun kembali terbayang. Dulu, saya tidak bisa melawan Arjun. Kini, saya mampu melawan Radana. Dalam hati saya tertawa gembira. Saya tidak boleh lemah terhadap Radana yang mulai berani menyakiti saya. Tidak ada yang boleh memukul saya lagi. Titik!

Saya tersenyum sinis mendapati Radana yang tampak kepusingan. Mungkin tadi kepalanya membentur tembok dengan keras. Tanpa banyak cakap lagi, saya meraih vas bunga di meja panjang sisi tembok, lalu menghantamkan benda itu ke dahi kirinya sekuat tenaga. Vas keramik di genggaman tangan saya pecah, sampai telapak tangan saya pun tergores. Dan yang paling menyenangkan saat mendapati Radana tidak berdaya dengan darah mengucur dari luka robek di dahinya itu.

Saya melihat Radana yang sekarang seperti melihat Arjun yang dulu. Bedanya, waktu itu saya takut untuk membalas semua kekerasan yang Arjun lakukan kepada saya. Sekarang, saya mampu membalas kekerasan yang diperbuat Radana terhadap saya.

Semenjak saya menjanda, tidak ada satu pun orang yang berani mengasari saya. Apalagi, setelah saya menjadi Kepala Dusun, tidak ada yang berani menolak semua keinginan saya, bahkan orang-orang yang jabatannya lebih tinggi ketimbang saya. Tersebab malam ini saya merasa harga diri saya sudah dinjak-injak oleh Radana, saya pun belum selasai mengobarkan api amarah ini.

Radana mengerjap-ngerjapkan matanya. Dia tampak kesakitan dan syok. Dia menyentuh luka di dahinya. Dia memegang kepalanya yang tampaknya masih kepeningan. Kini dia seperti orang goblok, dan saya kian bersemangat untuk menyerangnya lagi.

Saya meraih vas bunga lainnya. Dengan senyum terkembang dan kemarahan yang membara, saya menghantamkan benda itu ke kepala Radana untuk kali kedua, sekencang-kencangnya, sedendam-dendamnya.

Radana roboh. Dia terpakar. Saya melepaskan pecahan vas. Telapak tangan saya kian terluka, tapi yang lebih sakit batin saya. Maka, saya tidak menyesal telah berhasil membalas kekerasan yang Radana lakukan tadi. Saya lantas mendekatinya. Ternyata dia pingsan.

Saya memperbaiki pernapasan saya yang ngos-ngosan. Bayang-bayang Arjun kembali berkelebat hebat. Saya melihat Radana yang tak berdaya di dekat kaki saya seperti melihat diri saya yang dulu. Apa yang telah saya lakukan kepada Radana mengingatkan apa yang saya terima dari biadabnya seorang Arjun. Keadaan itu lantas membawa saya ke masa lalu.

***

Semenjak menikah dengan Arjun, ketenangan saya malah sangat terusik. Saya pikir, Arjun adalah pemuda baik yang mudah diatur, atau paling tidak mau menghargai saya. Ternyata saya sangat salah duga. Arjun adalah setan dari golongan manusia. Awalnya, saya yang tidak pernah cinta kepada Arjun berupaya untuk belajar mencintainya. Namun, apa yang dia lakukan terhadap saya malah membikin saya membuang jauh-jauh upaya itu. Akhirnya, saya benar-benar tak ada perasaan apa pun terhadapnya.

Saat malam pertama, saya pikir Arjun membiarkan saya beristirahat karena kelelahan setelah menyalami tamu undangan seharian. Saya juga mengira Arjun merasa capek. Ternyata apa yang saya pikirkan itu salah. Arjun meminta saya untuk melayaninya malam itu juga.

Saya tersenyum mendekati Arjun yang duduk di sisi ranjang. Saya ingin dia memaklumi kondisi saya yang belum siap melakukan hubungan badan dengannya. “Saya capek sekali, Kak. Malam besok saja kita—”

“Tidak,” sela Arjun. Dia menatap saya dengan kecewa. “Kalau malam besok namanya bukan malam pertama.”

Saya menelan ludah dengan hati gentar. Sedangkan Arjun terlihat tidak sabar. Tanpa bicara lagi, dia langsung menciumi saya. Dia menarik saya ke tengah ranjang. Dia tidak memedulikan saya yang agak gemetar. Aneh, saya seperti kehilangan kuasa atas tubuh saya sendiri. Saat dia menghunjami seluruh muka saya dengan ciuman, saya hanya pasrah menerima itu. Saya yang memiliki nafsu terhadap lawan jenis tidak juga lantas terangsang oleh sentuhannya. Tersebab menikah dengan Arjun adalah keterpaksaan dan berpikir kelak bisa mencintainya, saya jadi melakukan keterpaksaan lainnya, yang bahkan merenggut jiwa dan raga saya. Malam itu, untuk kali pertama dalam hidup saya, seorang lelaki menyetubuhi saya dengan kasar. Tubuh saya membeku. Saya seperti patung. Saya tidak bisa berontak. Batin saya seperti diacak-acak. Seketika itu saya sadar, ini bukanlah hubungan intim yang normal antara sepasang suami istri, tapi inilah pemerkosaan yang dilakukan seorang suami terhadap istrinya.

Setelah itu saya merasa ada yang hilang di diri saya. Adalah benar bahwa saya tidak utuh lagi. Jiwa saya remuk. Batin saya berantakan. Jiwa raga saya tidak terima dengan perlakuan Arjun itu, meski hari-hari berikutnya saya berupaya mencintainya, tentu dengan harapan saya juga bernafsu padanya, dan itu tak juga berhasil.

Arjun mengajak saya pindah ke rumahnya di luar kota. Padahal, waktu itu Bapak bilang kalau Arjun ingin hidup di dusun dengan suasana alam yang masih terjaga. Entah Bapak membohongi saya supaya saya mau menikah dengan Arjun, atau malah Arjun yang saat itu membohongi Bapak. Namun, itu tidak penting lagi lantaran sudah terlewati. Arjun meminta izin kepada Bapak untuk membawa saya ke rumahnya di luar kota. Sialnya, Bapak merestui itu dan berharap saya bisa lebih bahagia hidup bersama Arjun. Tentu saja saya tidak kerasan hidup di rumah Arjun, tapi saya tidak bisa berbuat banyak. Apalagi, Arjun juga punya anak buah yang bisa dan pasti dimintainya untuk mengawasi saya.

Namun, lagi dan lagi, upaya saya dalam berjuang menerima Arjun tidak juga membuahkan hasil yang baik. Saya tidak punya inisiatif lebih dulu dalam memenuhi kebutuhan biologisnya, bahkan saat saya sedang berhasrat ingin bersetubuh pun saya tetap enggan memintanya kepada Arjun. Justru Arjun-lah yang sering memaksa saya untuk melayaninya di ranjang. Sampai dia telanjang bulat pun, tidak pula timbul hasrat seks yang hebat dalam diri saya.

Sejak menikah, Arjun selalu minta dilayani setiap hari. Sebenarnya, dia bukan meminta, tapi memaksa, sehingga saya menegaskan pada diri sendiri bahwa saya sering diperkosa olehnya, dan memang apa yang dia lakukan terhadap saya itu pemerkosaan. Lantaran itulah batin saya kian tidak menerima kehadirannya di hidup saya.

Suatu hari Arjun pulang hampir tengah malam. Saya yang sudah tidur langsung saja dia bangunkan dengan kasar.

“Ngah, bangun, Ngah.” Arjun menepuk-nepuk pipi saya.

Saya membuka mata dengan terlonjak. “Ada apa, Kak?” tanya saya sembari bergerak duduk. Saya pikir bisa tidur nyenyak sampai pagi, ternyata lagi-lagi Arjun mengganggu istirahat saya. “Kakak baru pulang? Kalau Kakak lapar saya bisa ambilkan makanan.”

“Saya butuh kamu,” cetus Arjun sembari melepaskan bajunya.

“Maaf, Kak, saya capek. Kakak ‘kan tahu tadi saya sedang tidur,” kata saya dengan nada hati-hati khawatir dia marah.

“Sebagai istri, kamu itu harus mau melayani suami kapan pun juga,” sahut Arjun sembari melepaskan celananya.

“Tolong, Kak, biarkan saya tidur dulu setidaknya sampai subuh. Setelah itu, barulah kita berhubungan—”

Plak!

Arjun menampar saya. “Kamu ‘kan tahu sendiri, melayani suami itu perintah leluhur. Agama pun menyuruhmu untuk berbakti kepada suami,” katanya kemudian dengan tegas. Bau alkohol menguar dari mulutnya.

Saya sangat terkejut. Baru kali ini ada seseorang yang berani menampar saya, dan sialnya saya tidak berani melawan.

“Harusnya kamu bersyukur, cuma kamu satu-satunya perempuan yang saya tiduri. Teman-teman saya yang lain, bisa jadi tadi mereka bukan pulang ke istri mereka, tapi meniduri perempuan simpanan mereka atau pelacur di luar sana.” Arjun melepaskan baju saya.

Itu malah bagus! Kamu harusnya punya simpanan pelacur saja! seru batin saya. Lantas saya menepis tangannya. “Jangan kasar begitu, Kak,” pinta saya setengah mengiba.

“Bangsat! Kamu sudah berani melawan saya!” Arjun murka. Dia benar-benar serupa iblis. Dia menampar saya berulang kali. Menjenggut saya. Lalu merobek baju saya. Dia melepaskan seluruh pakaian saya dengan paksa. Dia menindih saya dengan sangat kasar. Dia memperkosa saya sembari sesekali menampar saya.

Sejak saat itu, saya terpaksa menuruti semua permintaannya, terutama berhubungan badan. Kalau saya tidak mau, dia pasti berlaku kasar. Kalau saya mau, dia pun menyetubuhi saya dengan kekerasan fisik lainnya. Saya serbasalah. Saya selalu disakiti.

Saya sudah tidak tahan. Suatu hari saat Arjun ada urusan pergi keluar kota, saya pulang ke kediaman Bapak. Saya ingin Bapak tahu bahwa saya tidak bahagia seperti harapannya waktu itu. Tersebab saya hanya mendapati Sarinah di rumah, akhirnya saya ke balai dusun. Di ruangan Kepala Dusun saya menemui Bapak. Beliau sempat menanyakan kenapa saya datang sendirian, dan saya menjelaskan kalau Arjun sedang mengurus bisnis barunya di luar kota. Bapak tampak bangga sekali memiliki menantu yang gemar dan pandai menghasilkan uang. Padahal, Arjun hanya meneruskan perintah dan bisnis bapaknya saja. Setelah menikah, saya tahu Arjun tidak punya andil besar dalam membangun dan meneruskan usaha bapaknya. Bisa dibilang, Arjun tinggal enaknya saja.

“Apa kamu sudah minta izin suamimu untuk datang ke sini?” Bapak menatap saya dengan saksama setelah saya duduk di hadapannya.

Saya kesal ditanya seperti itu. Saya jadi merasa kian terkekang.

“Bukan apa-apa, Ngah. Kamu itu sudah punya suami, jadi apa yang kamu lakukan di dalam dan di luar rumah harus seizin suami. Perintah itu bukan cuma dari leluhur, agama Islam pun mengajarkan itu,” lanjut Bapak menjelaskan.

Saya masih diam.

“Kalau kamu lupa atau tidak percaya, tanya saja sana pada Pak Jaraka. Dia ‘kan ustaz, pasti dia paham menyoal itu.”

Saya mengembuskan napas melalui mulut. “Begini, Pak. Saya ke sini memang tanpa sepengetahuan Kak Arjun,” kata saya kemudian membikin Bapak lantas memasang muka masam. “Saya justru mau mengadukan soal sikap Kak Arjun kepada saya selama kami menikah.”

“Memangnya ada apa?” Bapak bertanya dengan serius.

“Kak Arjun ternyata kasar, Pak. Dia sering minta berhubungan badan di saat saya sedang capek,” keluh saya kemudian, berharap Bapak mau mengerti keadaan saya.

“Kamu ini jadi istri kok lemah begitu?” sahut Bapak di luar perkiraan saya. “Dulu, Ibumu selalu kuat dan mau melayani Bapak dengan baik. Ibumu tidak pernah mengeluh capek. Harusnya kamu jadikan Ibumu contoh atau panutan. Ibumu itu istri terbaik. Kamu harus jadi istri terbaik juga untuk Arjun.”

Tanggapan Bapak membikin saya tercengang. Saya sedih Bapak malah membawa-bawa mendiang Ibu. Saya jadi berpikir, boleh jadi dulu Ibu sama tersiksanya dengan saya. Mungkin juga Bapak bersikap kasar kepada mendiang Ibu seperti Arjun kepada saya. “Tapi Kak Arjun sering mengasari saya, Pak.”

“Mengasari bagaimana? Kamu jangan melebih-lebihkan.”

“Dia sering menampar dan memukul saya, Pak.”

“Kamu jangan mengarang cerita, Ngah. Arjun itu laki-laki yang baik dan sopan. Mana mungkin dia yang begitu hormat kepada orang tuanya dan Bapak, bisa berbuat sekasar itu kepadamu? Kalau dia bisa menghargai Bapak, dia juga pasti menghargaimu. Lagi pula, dia tidak akan berani melukaimu seperti itu. Dia pasti memandang Bapak.”

“Bapak harus percaya sama saya, Pak,” pinta saya mengiba dalam kekesalan yang menjadi-jadi. “Satu-satunya orang yang paling saya percaya cuma Bapak. Satu-satunya orang yang paling saya hormati adalah Bapak. Saya menaruh harapan sama Bapak. Cuma Bapak yang bisa menolong saya. Tolonglah Bapak bicara sama Arjun supaya dia tidak mengasari saya lagi. Tolonglah Bapak kasih dia pengertian supaya tidak memaksa dan melakukan kekerasan sama saya lagi. Dia ‘kan sangat menghormati Bapak, jadi dia pasti mau mendengarkan Bapak.” Saya menahan tangis sampai mata saya berkaca-kaca dan kedalaman dada begitu sesak.

“Kalau Bapak menegurnya, itu sama saja mencampuri urusan rumah tangga kalian. Itu tidak baik, Ngah. Kalian ‘kan sudah dewasa, harusnya bisa menyelesaikan masalah seperti itu tanpa campur tangan orang tua.”

Saya jadi bingung. Sulit sekali menjelaskan masalah ini kepada Bapak. “Pak, kalau begitu saya mau bercerai saja sama Kak Arjun,” cetus saya kemudian karena tidak tahu harus berkata apa lagi. Apa yang saya katakan selalu salah di mata Bapak.

“Apa-apaan kamu ini?” Bapak marah. Beliau menatap saya dengan tidak suka. “Leluhur bisa murka kalau kalian bercerai. Lagi pula, Allah itu tidak suka dengan perceraian. Kalau kamu tidak percaya, tanya saja sama Pak Ustaz.”

“Tapi perceraian itu bisa jadi jalan keluar, Pak. Saya tahu Allah memang tidak suka dengan perceraian, tapi Allah tidak melarang itu.”

“Jasingah … Jasingah. Sudah menikah rupanya kamu mulai berani mendebat Bapak. Tahu apa kamu soal agama? Solat saja malas-malasan, sekarang malah menceramai Bapak. Kamu sudah jadi ustazah, ya?” Bapak tersinggung dengan ucapan saya barusan, dan beliau baru saja menyindir saya.

“Bukan begitu, Pak, tapi—”

“Diam kamu!” bentak Bapak membikin saya terbungkam dalam keterkejutan. “Perceraian itu aib yang bukan hanya untukmu, tapi juga bagi Bapak dan warga dusun. Kamu tahu itu, tidak?” Beliau menatap saya dengan wajah merah padam. “Turun-temurun keluarga Kepala Dusun tidak pernah ada yang bercerai. Jangan hancurkan kehormatan keluarga dan nama baik dusun ini cuma gara-gara masalah rumah tanggamu! Paham?!”

Gemetar hebat kedalaman dada saya mendengar ucapan Bapak itu. Alih-alih mendapat dukungan atau nasihat yang menenangkan, saya jutru diberi kekerasan lain oleh Bapak. Bahkan, seluruh perkataan beliau jadi terasa lebih menyakitkan ketimbang perlakuan Arjun terhadap saya. “Maafkan saya, Pak.” Saya menunduk.

Saya tidak tahu, apakah Bapak memang memiliki pikiran seperti yang beliau katakan? Atau, jangan-jangan Bapak tidak enak hati, terlalu menghormati, atau malah takut kepada orang tua Arjun yang menjadi cukong di pabrik rokok keretek? Apa pun itu, harusnya derajat Bapak lebih tinggi ketimbang cukong. Patutnya, Bapak yang harus lebih dihormati oleh para cukong. Atau mungkin, memang mendiang Kakek saya yang mendidik Bapak menjadi seperti ini, dengan segala pola pikirnya yang sangat menyebalkan.

“Sudahlah, lebih baik kamu pulang. Kasihan nanti suamimu tidak ada yang mengurus. Jadilah istri yang baik dan penurut terhadap suami.”

Saya pun pulang dengan batin hancur berantakan.

Hari terus berganti dan Arjun menyiksa saya tiada henti. 

Sore itu saya berdiri menghadap ke jendela yang terbuka. Saya baru selesai mandi dan mengganti pakaian. Tubuh saya cukup segar dan nyaman. Meski begitu, dalam kesendirian saya kerap kali melamun. Saya merenungkan nasib hidup saya yang dari hari ke hari kian nelangsa. Rasanya ingin balik ke masa lalu, di mana Ibu masih hidup. Apa yang saya pikirkan itu tentu lantaran Bapak yang kian tidak bisa diandalkan. Bapak tak lagi mau mendengar semua yang saya katakan. Bapak kian keras kepada saya dan beliau selalu memihak Arjun.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Arjun pulang entah dari mana. Tadi pagi dia pergi tanpa memberi tahu saya hendak bertemu siapa dan dalam urusan apa. Saya juga enggan bertanya padanya. Sering saya berharap Arjun pulang tinggal nama. Terserah Arjun mati bagaimana. Entah dia kecelakaan, dibunuh, atau apalah yang penting dia mati. Namun, harapan itu tidak juga terjadi.

Arjun menghampiri dan langsung memeluk saya dari belakang. “Mmm … kamu harum sekali, Ngah,” katanya setelah menghidu rambut saya.

“Saya baru keramas,” sahut saya tak berselera.

“Kenapa tidak keramasan bareng saya saja?” Arjun mencium kepala saya.

“Tadi ‘kan Kakak belum pulang.”

“Nah, sekarang saya sudah pulang, jadi kita bisa mandi bareng.” Arjun terkekeh.

“Tapi saya sudah mandi, Kak.” Saya kesal sekali dengan perkataannya itu, apalagi sekarang dia tengah menciumi tengkuk saya.

“Ya tinggal mandi lagi,” sahut Arjun, lalu terkekeh.

“Rambut saya saja belum kering, Kak.” Saya ikut tertawa pelan supaya Arjun tidak tersinggung.

“Justru karena rambutmu belum kering lebih baik mandi lagi.” Arjun melepaskan dekapannya. Dia memutar badan saya. Dia menciumi wajah saya, lalu membimbing saya ke dalam kamar mandi. Di ruangan itu saya ditelanjangi, lantas disetubuhi.

Akhirnya saya hamil, dan Arjun tetap sering minta berhubungan badan.

Malam itu saya dan Arjun baru selesai makan bersama. Makanan belum sempat dicerna dengan sempurna, tapi Arjun sudah minta dilayani di dalam kamar. Dia menarik saya ke ranjang sembari tertawa girang.

“Kak, saya ‘kan sedang hamil,” kata saya mencoba menolak keinginan Arjun.

“Memangnya kenapa kalau sedang hamil? Justru kamu makin cantik dan menggairahkan saat sedang hamil.” Arjun menatap saya dengan sorot mata buas.

“Usia kandungan saya baru tiga bulan, jadi bahaya kalau kita berhubungan badan,” kata saya yang sebenarnya tidak tahu benar atau tidak keterangan saya barusan.

“Jangan terlalu kolot, Ngah,” timpal Arjun. “Tidak ada larangan bersetubuh dalam kondisi hamil.”

“Kata dokter, tidak baik berhubungan intim saat mengandung.” Saya tersenyum supaya Arjun tidak marah. Saya tidak peduli penjelasaan saya barusan benar atau tidak, yang penting saya punya alasan bagus untuk menolaknya.

“Dokter juga manusia, Ngah. Dia bisa saja salah. Dokter itu belajar pada dokter senior dan buku-buku. Dokter senior itu manusia. Buku-buku ditulis oleh manusia. Semuanya bisa saja salah duga.” Arjun terkekeh mengejek.

“Kakak ‘kan juga manusia, bisa saja Kakak juga salah duga,” balas saya dengan nada bicara hati-hati. Sekesal apa pun saya kepada Arjun, tetap saja saya tak ingin dia marah.

“Kamu ini kalau diberi tahu oleh suami sering membantah,” cetus Arjun dengan nada jengkel. “Leluhur dan agama mengajarkan kamu tidak boleh membantah perintah suami. Paham?!”

Saya menelan ludah dengan pasrah. Memang percuma bicara baik-baik pada Arjun. Dia tidak akan mau mengalah. Dia tidak pernah sudi kalah.

“Lagi pula, leluhur dan Tuhan akan memberimu pahala yang besar jika kamu melayani suami dengan sebaik mungkin. Kamu ‘kan sudah tahu betul soal itu. Kamu tinggal mengangkang saja, lalu kelak bisa mendapatkan surga.”

Saya tak tahu harus berkata apa. Saya kalah. Saya sungguh lelah.

Arjun kemudian menindih saya. Dia menciumi leher saya sampai ke telinga. Sementara tangannya menjelajahi dada saya. Sedangkan kemaluannya membunuh jiwa saya.

Keadaan seperti itu terus berulang.

Tadinya, saya hendak menggugurkan kandungan saya. Namun, saat saya sudah hamil besar, Arjun mulai menurunkan intensitas kebutuhan biologisnya terhadap saya. Tentu saya tahu, dia sering kepelacuran untuk memuaskan hasrat seksualnya. Saya senang dengan keadaan itu, tapi kemudian waktu melahirkan telah tiba. Akhirnya saya terpaksa bertaruh nyawa mengeluarkan bayi perempuan dari rahim saya.

Saya pikir, kehadiran anak akan mengubah Arjun menjadi lebih sayang dan pengertian pada saya. Rupanya saya salah duga. Arjun seolah tidak memiliki kasih sayang yang manis. Di kepalanya mungkin hanya ada kenikmatan seksual yang saban hari ingin dia rasakan.

Malam itu saya baru saja menidurkan anak saya di keranjang bayi. Saya lantas duduk di tepi ranjang. Saya memijat-mijat pundak saya. Rupanya memiliki anak membikin saya tambah lelah.

“Ngah, saya sering berpikir, kenapa bayi kita perempuan, ya?” Arjun mendekati saya. Dia menampilkan wajah yang kecewa.

“Memangnya kenapa kalau kita punya anak perempuan?” Saya mulai waswas.

Arjun duduk di sebelah saya. “Saya lebih ingin punya anak laki-laki,” cetusnya kemudian.

Saya memejamkan mata sejenak sembari mengebuskan napas kesal. Saya memang tidak menginginkan anak. Saya sadar terpaksa melahirkan bayi itu. Namun, ketika Arjun berkata seperti demikian, ternyata hati saya terlukai. Mungkin lantaran saya sudah susah payah bertaruh nyawa melahirkan bayi itu, sehingga batin saya sakit mendengar ucapan kekecewaan Arjun. “Anak laki-laki dan perempuan ‘kan sama saja, Kak, yang penting sehat,” kata saya kemudian mencoba bersabar.

“Laki-laki dan perempuan tentu berbeda, Ngah,” timpal Arjun dengan cepat. “Bagaimanapun laki-laki derajatnya lebih tinggi. Kepala rumah tangga saja harus laki-laki. Nanti, kalau Bapakmu tiada, yang menggantinya Bapak haruslah Lagama., bukan kamu.”

“Dalam aturan adat saya boleh langsung menggantikan Bapak,” sahut saya tak mau kalah, meski dengan nada bicara yang pelan dan hati-hati.

“Iya, saya tahu itu, tapi ‘kan harus ada restu dari Lagama. Iya, ‘kan?” Arjun tersenyum tipis.

“Iya.” Saya mengangguk pelan.

“Itu artinya kamu tetap bergantung pada laki-laki.” Arjun terkekeh. Dia tidak bisa menyembunyikan ekspresi kemenangannya dalam perdebatan ini.

“Kenapa kamu tidak berdoa saja pada leluhur supaya bayi kita berubah jadi laki-laki?” kata saya yang kelepasan bicara lantaran tak kuasa menahan kejengkelan.

“Kalau urusan berdoa pada leluhur, biar Bapakmu sajalah yang melakukannya. Bapakmu lebih pandai soal itu. Ibaratnya, Bapakmu yang berdoa, saya yang berusaha.” Arjun terkekeh lagi seraya melepaskan baju saya.

“Kak, saya baru sebulan melahirkan. Saya belum siap lagi untuk berhubungan badan. Perut saya juga masih agak ngilu.” Saya meringis, berupaya memperlihatkan kelelahan saya.

“Perempuan itu makhluk yang hebat. Kamu jangan pura-pura lemah begitu.”

“Kak, tolonglah,” pinta saya sembari menepuk tangannya.

Plak!

“Kurang ajar!” sembur Arjun setelah menampar saya. “Berani sekali kamu memukul suamimu! Kamu mau jadi istri durhaka?!” Arjun melotot.

Saya kian jengkel dan jadi berani. “Kenapa kamu tidak ke pelacur saja? Saya tahu, belakangan ini kamu sering tidur dengan perek-perek di Makaba.”

Arjun mencengkeram dagu saya. “Jangan sok tahu kamu,” katanya, sementara tangannya yang lain kembali menampar saya.

Lihat selengkapnya