Musibah selalu datang dari mana saja. Arga, 26 tahun adalah pria penghobi paralayang yang mengalami kecelakaan terbang seminggu sebelum hari pernikahannya. Ia naik ke atas bukit untuk melakukan paralayang terakhir kali. Lantaran terlalu bersemangat, cuaca buruk juga kemungkinan angin diabaikan. Alhasil di tengah perjalanan udara menuju pendaratan, parasutnya tiba-tiba terbawa angin kencang. Kejadiannya berlangsung bergitu cepat, mirip tamparan kuat. Ia meneriakkan istigfar, tapi sia-sia saja. Di bawah hanya ada padang ilalang dan jauh di depan hanya hamparan pantai sunyi.
Arga terlempar seperti kapas. Tubuhnya terombang ambing untuk beberapa saat sebelum akhirnya ujung parasutnya tersangkut di dahan pohon beringin. Tubuhnya tergantung seperti kepompong dari ketinggian ratusan kaki.
Itu adalah pohon beringin terbesar yang pernah Arga temui. Sulurnya begitu panjang sampai tanah. Aneh, pohon itu sangat mencolok, tapi ia tidak melihatnya dari atas bukit.
“Mana ponselku?” gumam Arga panik, tapi tetap merogoh sakunya dengan hati-hati. Salah bergerak sedikit, ia bisa jatuh dan mengalami cedera. Ia harus cepat-cepat mengabari seseorang agar segera datang menolong. Langit di atasnya mendung dan angin terus menampar-nampar daun. Bau hujan bahkan sudah mulai tercium.
Daerah asing dengan ilalang tinggi membuat pikiran Arga panik sendiri. Selama sepuluh tahun paralayangnya, ini adalah kecelakaan besar pertama.
Namun lantaran terlalu gugup, ponsel itu justru jatuh, menghantam tanah yang tertutupi akar pohon.
Tanpa sadar Arga mengerang kencang. Pupus sudah harapan terbesarnya sekarang. Yang bisa ia lakukan hanya naik melalui gantungan parasut lalu melintasi ranting untuk mencapai bawah.
Setelah sepuluh menit berjuang naik ke ranting, bahaya lebih besar justru menunggunya. Tadinya Arga pikir, suara desisan itu hanya halusinasi. Tapi nyatanya salah. Tak jauh dari ranting besar di mana parasutnya bergantung, seekor ular jenis pyton menatapnya di antara rerimbunan daun. Mata vertikal ular itu berwarna kuning keemasan dengan gigi tajam di kanan kiri mulut. Tubuhnya meliliti ranting, dengan warna sisik yang menyatu dengan daun. Nyaris tidak terlihat, seperti bunglon.
Ya Tuhan, apa aku akan berakhir menjadi makanan binatang? Batin Arga ketakutan. Bukit paralayang itu bukan alam liar, lantas di mana ia berada sekarang?
Tahu begini, Arga lebih memilih untuk menghabiskan waktunya di rumah sampai hari pernikahannya tiba. Sekarang, nyawanya malah dalam bahaya. Tidak ada tempat untuk melarikan diri, pyton itu mulai bergerak agar Arga terpojok.
Di situasi genting itu, tiba-tiba terdengar suara siulan dari bawah. Perhatian Arga langsung teralih pada seorang wanita tanpa alas kaki dengan celana kain corak batik. Ia berdiri, mendongak ke atas sembari bersiul lagi.
“Mau aku bantu?”
Anehnya meski tidak berteriak, bisikan si wanita sampai ke telinganya.
“Iya, tentu saja. Cepat tolong aku,” kata Arga membalasnya dengan lantang. Suara itu justru membuat lidah ular menjulur ke luar.
“Jangan berteriak, dia marah nanti,” kata gadis itu memberi isyarat agar Arga tidak gegabah.
Persetan dengan amarah binatang. Bukankah nyawaku sekarang lebih penting? Arga mendengus kesal. Lupa kalau yang menawari pertolongannya hanyalah seorang wanita.
“Kalau aku menolongmu, kamu harus menuruti semua keinginanku,” ucapnya serius.
“Baiklah, selama bisa hidup apapun akan aku lakukan.” Arga langsung mengiyakan tanpa memikirkan konsekuensi. Hal lain bisa dipikirkan belakangan, sekarang yang penting ia selamat.