Kepala ular itu turun lebih dulu. Berpindah dari ranting ke ranting hingga kemudian mencapai tanah yang dihiasi akar pohon beringin. Lidah bercabangnya sesekali menjulur keluar, mengumpulkan aroma mangsa untuk mendeteksi keberadaan calon makanannya.
Arga sontak mundur, tapi kemudian tidak bisa bergerak lagi. Ukuran si pyton ternyata dua kali lipat lebih besar dari bayangannya. Satu sisiknya mungkin selebar tangkupan tangan. Daripada binatang pada umumnya, sang ular lebih mirip siluman.
“Makanlah, isi perutmu sampai kenyang. Laki-laki yang tidak bisa kunikahi harus mati ,” kata Widari lantang. Bibirnya membentuk seringai tipis, tanda kalau ia tidak mau berbaik hati lagi.
Arga menggidik, merasa dijadikan tumbal atas keinginan Widari yang tidak terpenuhi. Nyawanya terlalu sayang untuk digadaikan, tapi di saat yang sama buat apa ia hidup jika hanya terkurung di sangkar makhluk ghaib?
“Tolong aku! Aku akan menuruti semua keinginanmu!” jerit Arga kencang. Ia tidak tahan membayangkan akan dijadikan santapan ular. Hewan melata selalu meremukkan tubuh mangsanya sebelum ditelan hidup-hidup. Itulah yang nantinya akan terjadi kalau Arga masih bersikeras pada pendiriannya.
“Apa kamu bersedia menikahiku?” teriak Widari tidak mau percaya begitu saja. Ia tentu tidak ingin tertipu untuk kedua kalinya.
Arga terpaku sebentar, melihat ke arah ular di depannya dengan tatapan putus asa. Tidak ada jalan keluar selain menyerahkan hidupnya pada Widari. Mulut ular itu sudah menganga lebar, siap menerkam.
“Ya, aku bersedia!” pekik Arga menjerit sejadi-jadinya.
Bersamaan dengan itu, Widari memasang anak panah di busurnya. Kakinya melebar lalu fokus matanya tertuju pada bagian tengah kepala ular.
Sedetik sebelum Arga sempat digigit, Widari lebih dulu berhasil melumpuhkan binatang itu dengan satu tembakan panah. Kepala ular yang tadinya tegak, langsung terlempar ke samping dan menghantam tanah. Bersamaan dengan itu, Arga merasakan pijakan kakinya bergetar sedikit.
Hal gila yang barusan terlihat di depan matanya sungguh tidak masuk akal.
“Siapa sebenarnya kamu ? Aku ada di mana dan kenapa harus aku?” tanya Arga beruntun.
“Aku Widari, anak kepala desa di pemukiman mati. Dulunya, ini perkampungan biasa, tapi bencana alam di pesisir membuat segalanya porak poranda. Aku dan ayahku adalah manusia, sama sepertimu tapi sisanya adalah hantu. Mereka dikunci di dimensi ini agar tidak menganggu yang lain. Anggap saja kuncinya dipegang oleh kami berdua dan kamu adalah tamunya.” Gadis berambut ikal itu mengalungkan busurnya ke belakang punggung.
Arga tidak pernah percaya dengan teori supranatural semacam itu. Tapi sekarang, ia justru menjadi saksi atas keraguannya di masa lalu. Widari adalah bukti kalau banyak rahasia alam yang tidak sepenuhnya diketahui.
“Ayo kita pergi, ular penunggu bisa bangun kapan saja,” ujarnya memberi isyarat pada Arga agar lekas mengikutinya. Kalau sudah lewat tengah malam, ia sendiri bisa tersesat. Banyak makhluk halus yang menyamar jadi apapun untuk membelokkan arah.
Arga terpaksa menurut. Mereka menyusuri ilalang luas lalu berakhir di jalan setapak menuju gerbang rumah Widari. Perjalanan hanya perlu lima belas menit, begitu mudah dan tanpa gangguan sama sekali. Dari situ bisa disimpulkan kalau sejak awal Arga memang tidak ditakdirkan bisa keluar.