Lexa menatap gerbang besi yang otomatis terbuka perlahan. Ia menarik napas dalam-dalam sambil merapikan rambutnya sekali lagi.
“Gue deg-degan, Ras,” bisiknya.
“Tenang aja, sepupu gue itu kelihatannya aja serem. Aslinya kayak kucing kampung yang takut air,” kata Laras sambil menekan bel rumah.
Tak lama, seorang pria membukakan pintu. “Mbak Laras! Eh, ini calon istri kontrak buat Mas Abdul yang kamu omongin itu, ya?” tanyanya sambil melirik Lexa dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Lexa langsung menunduk, merasa kikuk.
“Iya. Ini Lexa,” jawab Laras.
“Masuk, masuk! Mas Abdul lagi nunggu di taman belakang. Tapi, kalian pelan-pelan ya ... dia lagi kambuh fobianya.”
“Lagi kambuh?” Lexa memicingkan mata.
“Ya, tadi pagi dia pingsan waktu lihat mbak catering nganterin nasi kuning pakai rok mini,” sahut pria yang merupakan pekerja di rumah besar itu, sambil tertawa kecil.
Lexa makin gugup. Tapi demi ibunya, ia tetap melangkah.
Saat sampai di taman belakang, seorang pemuda berjubah putih dengan peci duduk sendirian di bawah pohon kamboja, membaca buku tebal.
Itulah Abdul. Sosoknya tampak teduh, wajahnya bersih, dan aura tenangnya kontras dengan cerita soal fobianya.
“Abdul, ini ... Lexa,” ucap Laras dengan suara pelan.
Abdul mendongak—dan seketika itu juga ia mematung. Bibirnya bergetar seperti mau bicara, tapi tidak keluar sepatah kata pun.
Matanya membelalak. “I-Inna lillahi... Astaghfirullah,” ucapnya refleks.
Lexa mengerutkan dahi. “Loh, kenapa dia baca doa segala, sih? Emang gue setan?”
“Bukan!” Abdul buru-buru menunduk sambil menutup wajahnya dengan buku. “Kenapa dia secantik ini?! Ini fitnah dunia!”