Naresh sama Riksya? Akankah terjadi?
Coret Tresa di selembar kertas ketika kami –aku dan ketujuh teman terdekatku, sedang menunggu pesanan makan siang kami di sebuah tempat makan di dekat kampus.
“Nggak mungkin… nggak mungkin bisa,” teriak Nurul sambil menirukan gaya personil Project Pop menyanyikan lagu "Pacarku Superstar".
“Kenapa enggak?! Di dunia ini gak ada yang gak mungkin,” timpalku sewot.
“Gak mungkin deh, orang ketemu sama dia aja Lo belum pernah kan?” Bunga ikut-ikutan memojokkanku.
“Tapi Gue sama Riksya kan sering kirim-kiriman e-mail,” lagi-lagi aku membela diri.
“Itu gak ngejamin, kali yang ngebales e-mail Lo bukan dia,” timpal Yayan.
“Lagian, kalau dia sering kirim-kiriman e-mail sama Elo, berarti dia juga sering kirim-kiriman e-mail sama fansnya yang lain. Pasti deh bukan hanya ke Elo doang!”
Akhirnya aku diam, percuma berdebat tentang Riksya dengan mereka karena ujung-ujungnya aku akan terpojok dan kehabisan kata-kata. Aku tidak tahu, mereka hanya becanda atau memang serius tentang hal ini, yang pasti setiap kali aku membahas mengenai Riksya, mereka selalu membuat aku jengkel. Sedikit banyak mereka benar tentang hal ini, Riksya adalah seorang model beken yang sudah aku idolakan sejak kelas satu SMP, dan sekarang dia semakin terkenal karena sudah merambah ke dunia sinetron dan layar lebar. Secara akal sehat memang tidak mungkin aku bisa mendapatkan Riksya. Mereka mungkin hanya ingin mengingatkan kalau Riksya jauh diluar jangkauanku.
Sebenarnya, aku pun hanya kagum pada Riksya, aku tidak mencintainya seperti seorang cewek ke cowok. Aku sendiripun sudah punya pacar, seorang cowok bule yang sekarang ini masih kuliah di London. Sudah setahun lebih aku bersahabat dengan mereka tetapi mereka tidak tahu kalau aku sudah punya pacar. Mereka menganggap aku terobsesi pada Riksya karena selama ini hanya Riksyalah yang selalu menjadi topik utamaku. Aku tidak pernah menyinggung sedikitpun mengenai Daniel, pacarku itu. Hanya teman-teman SMA-lah yang tahu kalau aku berpacaran dengan Daniel, dan kebetulan tidak ada satupun dari mereka yang sefakultas denganku, sehingga hal ini menjadi rahasia yang tidak disengaja.
“Kenapa sih, Lo gak cari cowok lain?” tanya Yayan memecah kekakuan yang baru saja tercipta.
“Si Yudha misalnya...” usul Nani yang langsung aku pelototi. Habis tidak kira-kira, masa dia ngusulin cowok paling culun di angkatan kami.
“Becanda lagi,” ralat Nani sambil tersenyum.
“Makanannya datang tuh,” kata Lele mengalihkan pembicaraan.
“Gue duluan ya, udah lapar,” kata Tresa sambil mengambil sepiring ayam bakar dan nasi yang baru saja diantarkan oleh pelayan tersebut.
Setelah semua pesanan datang, sejenak kami terdiam menikmati makanan yang kami pesan, setelah beberapa saat barulah mengobrol kembali.
“Hari ini Tsani kenapa gak masuk?” tanya Lele padaku yang memang biasa pulang dan pergi kuliah bareng Tsani.
“Kan tadi pagi Naresh udah bilang, kalau Tsani nemenin sepupunya liburan ke Bali,” Nurul menjawabkan pertanyaan itu untukku.
“Wii… bikin sirik aja,” gumam Lele. “Terus kalau Rima kenapa gak masuk?” tanya Lele lagi kesalah satu dari kami.
“Besok kan dia ultah, jadi sekarang dia lagi sibuk bikin kue kayaknya, besok kan rencananya kita mau makan-makan di kostan gue,” jawab Nani yang disambut teriakan asyik oleh kami semua.
“Wah coba tiap hari ada yang ultah, kan enak dibawain kue terus,” komentar Tresa yang memang suka berbicara asal.
“Yee… itu kalau yang ulang tahunnya Rima, kalau yang ulang tahunnya yang lain sih sama aja kali,” timpalku.