“Akhirnya Teh Naresh pulang,” Yesi, adik sepupuku yang baru kelas lima SD, berlari menyambutku ketika aku masuk ke dalam rumah.
“Asyik! Asyik! Lengkengnya beli kan, Teh?” Adis, adiknya Yesi, ikut-ikutan menyambutku. “Mana, Teh, lengkengnya mana?” tanyanya sambil memperhatikanku.
Dengan sangat bersalah aku meminta maaf, “ya… maaf, tadi Teh Naresh gak sempet mampir buat beli lengkeng.”
Kulihat kedua anak yang masih SD itu menghembuskan napas kecewa. “Kalau jeruk?” tanya Yesi.
“Teh Naresh juga gak sempet beli jeruk,” jawabku dengan nada yang lebih bersalah lagi.
“Emang tadi kamu kemana dulu sih, Resh, sampai gak sempet beli?” tiba-tiba mama muncul yang diikuti oleh Bi Yos, adik iparnya mama, ibu dari Yesi dan Adis.
“Maafin Naresh ya, Ma,” kataku sambil mencium tangan mama. Setelah itu menghampiri Bi Yos dan mencium tangannya juga.
“Tadi Naresh ketemu sama Riksya, Ma, ikutan jumpa fans,” kataku antusias.
“Riksya pemain sinetron itu?” tanya Yesi. “Cakep nggak, Teh? padahal Yesi juga pengen ketemu sama dia, kok Teteh gak ngajak-ngajak?”
“Jangan-jangan tadi yang nelpon kesini dan nanyain kamu itu Riksya yang pemain sinetron itu,” gumam mama.
Aku menatap mama tak percaya.
“Tadi dia nelpon kesini, tapi Mama bilang kamunya lagi kuliah. Terus dia titip pesan, katanya jam lima sore ini kamu ditunggu di Gumati café.”
“Iya, itu pasti Riksya. Aku harus pergi, Ma,” kataku nyaris berteriak saking senangnya.
“Tapi sekarang udah jam setengah enam,” kata Bi Yos mengingatkanku.
“Oh, Gosh! Kenapa sih Mama tadi gak nelpon ke handphone?” aku menyalahkan mama.
“Mama lupa.”
Dengan jengkel aku meninggalkan mama, terburu-buru menuju tempat yang sudah dijanjikan Riksya. Aku tidak peduli nasihat mama dan Bi Yos yang memintaku untuk tidak pergi karena sudah terlalu terlambat untuk bertemu dengan Riksya. Aku pun tidak mempedulikan rengekan Yesi yang meminta untuk ikut bertemu dengan Riksya. Tanpa meminta izin papa, aku pun nekat meminjam mobilnya, sebab aku tahu kalau aku naik angkutan umum aku pasti akan lebih terlambat lagi.
Sudah jam 17.50 WIB. Ah, Riksya pasti sudah tidak ada disana. Aku terlambat satu jam. Uh, kenapa hari ini aku begitu sial?
“Anda mau bertemu dengan Riksya Wiyaga? Tapi maaf Anda terlambat. Lima menit lagi acaranya selesai,” kata seorang pelayan ketika aku menceritakan kalau aku mempunyai janji dengan Riksya.
“Tapi…”
“Acaranya sudah dimulai dari jam lima. Ada tujuh orang yang diundang, tetapi hanya lima orang yang datang. Mungkin anda termasuk dua orang yang kurang beruntung itu.”
“Tapi kan masih ada waktu lima menit lagi untuk bertemu dengan Riksya,” kataku ngotot.
“Tapi apa yang bisa dilakukan dalam waktu lima menit?”
Aku hendak mengatakan sesuatu lagi untuk meyakinkan pelayan Gumati café itu supaya aku bisa bertemu dengan Riksya ketika tiba-tiba pelayan tersebut berkata, “baiklah anda akan saya antarkan ke mejanya Riksya.”
♫
“Maaf saya terlambat,” kataku, yang langsung membuat semua orang yang ada di meja tersebut menoleh kearahku.
“Acaranya bahkan sudah selesai!” pekik seorang cewek yang aku yakin adalah fansnya Riksya.
“Sudah... sudah... kalian pulang saja,” kata Riksya meminta kelima fans cewek itu pulang. “Terimakasih sudah datang.”
Kemudian Riksya dan beberapa pelayan café tersebut mengantarkan kelima cewek itu sampai keluar pintu.
“Nanti kalau ada acara lagi datang ya,” kata Riksya sambil sibuk menyalami kelima cewek itu satu persatu.
“Sekali lagi terima kasih,” seru Riksya sambil melambaikan tangan.
“Sayang sekali ya, coba kamu tadi bisa datang lebih cepat,” kata Riksya ketika dia menyadari kalau aku masih berdiri disampingnya.
“Aku baru tahu sekitar jam setengah enam,” erangku kecewa.
“Maaf ya, acaranya memang mendadak,” jawab Riksya menyesal.
“Jadi sekarang aku harus pulang?” tanyaku tolol.
“Iya soalnya jam tujuh nanti Riksya harus sudah ada di puncak buat shooting sinetronnya yang terbaru,” jawab seorang cowok yang tiba-tiba muncul dari belakang.
“Oya… kenalkan, ini Dudi, kakak sepupu sekaligus managerku,” kata Riksya menunjuk cowok yang menjawab pertanyaanku barusan.
“Dudi,” katanya sambil mengulurkan tangannya.
“Naresh,” kataku sambil menyambut uluran tangannya.
“Ooo… jadi kamu yang namanya Naresh!” pekik Riksya sambil menatapku,”yang sering ngirimin aku e-mail?”
Aku mengangguk, “aku juga sempat chatting dengan kak Riksya, mengirimi kartu ulang tahun, surat…”
“Oo.. iya.. iya.. aku ingat!” potong Riksya buru-buru.
“Aku juga suka mengirimi kak Riksya kartu lebaran.... kartu tahun baru.. kartu valentine..”
Riksya hendak mengatakan sesuatu lagi ketika tiba-tiba Dudi mengingatkannya, “Riksya kita harus segera pergi.”
“Oh,” kata Riksya sambil menatap aku dan Dudi bergantian.
“Oke Naresh, nice to meet you,” kata Riksya akhirnya setelah melihat isyarat dari Dudi kalau dia tidak bisa mengobrol lebih lama lagi denganku.
“Tunggu!” seruku ketika mereka berdua hendak beranjak meninggalkanku.
“Ada apa?” tanya Riksya khawatir.
“Boleh aku ikut?” tanyaku setengah memohon.
Riksya melirik Dudi.