Bagaimana bisa aku menerima permintaan konyol seperti itu? Menikah? Arghhh! Aku bahkan belum pernah sekalipun menyentuh wanita. Berada di dekatnya saja sudah cukup membuatku berkeringat dingin. Lantas, bagaimana mungkin aku bisa menikah dan melakukan hal tabu di malamnya.
Tidak! Tidak! Tidak!
Aku masih terlalu muda untuk ternodai, aku terlalu naif untuk mengerti, aku masih terlalu kekanakan untuk menjadi seorang suami, apalagi ayah.
TIDAK!!!
Membayangkannya saja membuatku bergidik ngeri. Bagaimana jika itu benar-benar terjadi.
Crasss!
Sebatang anak panah menusuk punggung. Seketika tubuhku limbung, sebelum akhirnya jatuh saat kaki tersangkut akar. Mencium tanah berlumpur, pandanganku mengabur. Rasanya ada yang mengalir di bahu, semakin lama semakin banyak, ditambah rasa nyeri yang kian menjalar. Namun, aku harus terus berlari atau kawanan wanita haus berahi itu berhasil menangkapku. Harus!
Sekelebat bayangan manusia mendadak muncul di depanku. Meski tak terlalu jelas sosoknya. Namun, dia seperti perempuan berasurai panjang berkibar mengikuti gerakannya yang cepat. Tangannya lembut mengangkat kepalaku pelan, lantas sedikit menghentakan telapaknya ke dahiku.
Setelahnya hanya kegelapan yang menutup kesadaran.
***
Aku terlonjak, mengangkat tubuh yang penuh dengan peluh. Dada berdebar tak keruan, dunia serasa berputar, membuat kepala ini pening. Namun, bukan itu yang menjadi masalahnya.
Sekarang di mana aku?
Tempat ini sangat asing. Aku terduduk di atas ranjang kayu, di sebuah ruangan yang berdinding kayu juga.
Lengang, tak ada siapapun, hanya nakas yang di atasnya terdapat jendela dengan gorden terbuka, membuat cahaya dapat masuk, memberikan kehangatan pagi. Selain itu, tak ada apapun lagi.
Sebenarnya apa yang terjadi? Tiba-tiba saja aku sudah berada di tempat yang aneh ini. Terakhir kali yang kuingat, aku mendadak berada di tengah-tengah sebuah pasar yang seluruhnya berisi wanita saja. Namun, yang lebih mengerikan dari semua itu adalah, mereka mengejarku layaknya zombie haus darah. Namun, mereka lebih menginginkan hubungan badan daripada menyedot darahku. Apa-apaan itu?
Kuusap peluh di wajah, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya hingga aku bisa sampai ke sini. Ya, sebelum aku mendadak terbangun di pasar mengerikan itu.
***
Sebelumnya
Malam yang dingin memaksaku memasukan tangan ke kantung hoodie oranye ini. Meski sudah memakai pakaian rangkap, tetap saja dingin malam ini berhasil menembus sampai ke kulit. Tidak biasanya, padahal Jakarta yang kukenal adalah kota yang panas dan memuakan bagi para pecundang sepertiku.
Haah! Aku jadi ingat lagi tentang sosok payah ini.
Setiap hari kulewati hanya dengan berdiam diri di dalam kamar. Mencari pekerjaan tak pasti lewat dunia maya sudah menjadi rutinitas.
Kadang aku menawarkan jasa kepada para ‘penulis’ malas yang hanya ingin mencari nama tanpa mau berusaha. Mengakui setiap ketikanku sebagai karyanya, tentu saja setelah mereka membayar jasaku sebagai 'penulis hantu'. Penulis yang bekerja di balik bayangan, tanpa mengharapkan namanya dikenal oleh banyak orang. Ya, setidaknya mereka membayar dengan harga yang sesuai. Lagi pula hanya pekerjaan seperti inilah yang bisa dilakukan penunggu kamar sepertiku. Tanpa harus beradu dengan panasnya Jakarta, atau mendapat tekanan dari bos besar, aku sudah cukup bahagia.
Akan tetapi, jika sudah berada di luar seperti ini ... rasanya aku seperti tengah berada di tempat yang sangat asing. Seolah ada mata yang terus mengikuti setiap kaki melangkah. Rasa tidak nyaman yang selalu membawa aura negatif.
Memang, jarak minimarket ini dengan indekos tidak terlalu jauh. Namun, jujur saja tidak ada manusia yang kukenal baik di sini, kecuali pria tua yang bekerja sebagai kasir itu.
Sekantung kresek berisi tiga bungkus mie instan, beberapa butir telur, dan serenteng kopi saset, kuangkat. Setidaknya makanan sederhana ini bisa menemaniku bergadang sampai tiga hari ke depan.
Aku berdiri di bawah lampu jalan, tempat yang sepi membuat otak kembali mengingat kejadian lima tahun silam. Ah, tidak ... aku tidak ingin mengingat akhir dari pertikaian keluarga itu. Hanya luka yang bisa kudapat.
Aku menghela napas panjang membuang segala pikiran negatif. Menoleh ke kanan-kiri, jalanan kecil ini tampak sepi. Tak ada tanda-tanda kendaraan lain yang akan melintas.
Kumelangkah, tapi batinku masih diam. Ada yang tengah memperhatikan dari belakang, seperti sedang mengikuti. Aku berhenti dan memutar tubuh, tak ada siapapun kecuali tiang lampu jalan yang baru kulewati.
Mungkin hanya perasaanku saja.
Namun, saat kembali menghadap ke depan, sesosok perempuan berjubah putih penuh darah dan tanah merah, berambut panjang menutupi muka, dan bau anyir memualkan. Sesaat waktu seperti berhenti, sementara mataku terpaku pada makhluk itu.
"KUNTILANAK!"