Namaku Alex Elvano, pemuda berusia 18 tahun yang hidupnya menyedihkan, ya, aku mengakuinya sendiri. Semuanya bermula sejak lima tahun silam, dunia seakan berubah dan balik menyerang.
Perpecahan keluarga, dijauhi teman, dan terpaksa hidup sendiri, adalah segelintir masalah hidup yang perlahan tapi pasti mulai kunikmati. Bahkan rasa sakit itu kini menjadi hampa, empati seolah t'lah hilang dari dalam dada.
Dari yang awalnya begitu menyiksa, kini bukan menjadi apa-apa. Terbiasa dengan keadaan yang ada.
Hujatan 'anti-sosial' yang ditujukan padaku kini sudah melekang, bukan karena aku sudah berubah, tapi karena mulut orang-orang itu mungkin sudah bosan. Aku tidak peduli.
Kupikir, hidupku akan terus datar seperti ini. Namun ... malam itu datang.
Decit suara ban terdengar menyayat hati, detik berikutnya cahaya putih membutakan mata, ditambah suara seorang gadis misterius yang seperti menarik tubuh lemas ini. "Ikutlah denganku!"
Aku yakin seorang bidadari tengah menjemput ke surga. Membiarkan diri ini untuk menikmati keindahan yang sebenarnya. Sungguh kebahagiaan yang tiada tara.
Andai takdir berjalan seperti itu, mungkin aku tak perlu merasakan hari ini.
Aku mengangkat tubuh, merasakan hangat pada kulit berkat cahaya dari sang surya. Jendela sudah terbuka, mungkin gadis penyihir itu baru saja masuk ke dalam kamar.
Ah ... bukannya itu tidak sopan? Masuk ke kamar orang lain tanpa permisi. Meski ini rumahnya bukan berarti dia bisa seenak udel untuk keluar masuk. Privasiku seakan tidak dihargai.
Aku mengacak rambut.
Langkah terdengar mendekati pintu, kemudian terbuka. Seorang gadis berwajah oriental dengan manik mata kehijauan menatapku. Namanya Reina Aileena.
"Oh, Tuan Alex sudah bangun?" Dia memasukan seluruh tubuhnya ke dalam kamar, lantas mengambil kursi dan duduk di samping ranjang. Senyum manis mengembang di bibirnya yang ranum.
Aku masih tak dapat menatapnya lebih lama. Kupalingkan wajah melihat hutan di seberang jendela.
"Apakah saya mengganggu Tuan?" tanyanya.
"Tidak." Aku hanya tidak tahu harus bersikap apa. Salah satu fakta bahwa aku tak pandai bicara dengan lawan jenis, menjadi alasan kuat mengapa aku begitu kaku.
"Syukurlah jika begitu." Reina menarik kursi dan duduk di depanku. "Apakah luka di punggung Anda sudah membaik?"
"Yah, lumayan. Berkat sihir anehmu itu, rasa sakitnya mulai tak terasa lagi."
"Syukurlah." Reina semringah.
"Te-terima kasih," bisikku.
"Tak perlu khawatir, Tuan. Anda adalah prioritas saya."
Aku menoleh ke arah Reina. Dia tampak semringah, seperti dugaanku. Aku ragu, apakah ekspresi senang itu tulus dari hati?
Aku menghela napas, bersamaan dengan itu perutku berbunyi. Sesecacing sudah menabuh gendangnya. Cih!
"Memang sudah saatnya untuk sarapan, Tuan. Mari ikut saya."
"Baiklah." Aku mengikuti alur saja mulai dari sini.
***
Dua hari berlalu sejak pertama kali masuk ke dunia bernama Fasia ini. Mendadak bangun di tengah pasar, dikejar-kejar oleh sekelompok wanita, hingga berakhir pada dekapan Reina.
Sekarang, aku masih di bawah pengawasan gadis penyihir itu. Dia berperan seperti seorang maid di rumahnya sendiri. Memanjakanku, bahkan memanggilku 'Tuan'. Kurasa perlakuannya terlalu berlebihan.
"Tuan, apakah sarapan Anda sudah selesai?" Pertanyaan dari Reina membuyarkan lamunanku.
Aku mendorong mangkuk ke tengah meja, nasinya sudah ludes sejak tadi. Kuakui masakan Reina cukup cocok di lidahku.
"Setelah ini kita jadi akan keluar, 'kan?" tanyaku. Reina yang sudah menenteng keranjang menoleh ke arahku. Lantas senyumnya mengembang.