"Tuan Alex Elvano, saya ingin membuat anak dengan Anda!"
Deg.
Apa-apaan permintaannya itu?
Aku menarik tangan sedikit menyentak agar genggamannya lepas. Mataku melotot menatap manik mata kecoklatan gadis itu. Sungguh, aku tak menyangka Reina akan mengatakannya.
Aku berdiri, dia mengikuti. Wajahnya ditundukan. Takut, atau hormat, entahlah itu tidak penting sekarang.
"Kupikir, kamu berbeda dengan yang lainnya. Ternyata sama saja!" bentakku, dia tetap bergeming.
Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran orang-orang di dunia ini. Apakah hal ini lumrah dan sudah menjadi kebutuhan bagi seluruh wanita di sini.
Abnormal!
Sialan!
Aku memutar tubuh, kembali menarik tudung untuk menutupi kepala, hendak melangkah pergi. Namun, tentu saja dia akan mencegahku. Kurasakan jubah ditahan dari belakang, memaksaku berhenti.
Aku menoleh ke arah Reina. "Ada apa lagi—"
Blam!
Ugh!
Bogem mentah mendarat tepat ke muka. Seketika aku limbung dan jatuh ke tanah. Hidung terasa perih dengan darah segar merembas keluar. Reina, dia yang melakukannya?
Aku menatap ke atas, siluet seorang gadis tampak berdiri gagah. Kilat merah tampak dari matanya. Aku mencoba berdiri tapi rasanya badan begitu berat untuk segera diangkat. Seolah ada benda yang menekan.
"Reinaaa!!!" teriakku sebisanya. Namun, ia malah mengarahkan tangannya ke wajahku, aku bisa melihat seperti ada bola berwarna hijau yang berputar-putar di telapaknya. Aku yakin itu jenis bola energi yang berasal dari tenaga dalamnya. Kupikir kekuatan semacam ini hanya ada dalam film fantasi, ternyata di dunia ini juga ada. Sekarang mengancam nyawaku.
"Untuk sementara Anda istirahat dulu!" ucap Reina dengan nada bicara yang jauh berbeda dari sebelumnya. Dia benar-benar penyihir!
Bola tenaga tadi semakin besar hingga dengan sedikit dorongan, membuatku semakin pusing. Pandangan mengabur hingga kemudian seluruh indra beku. Tak terasa. Hampa. Kegelapan menyelimuti pandangan.
***
"Dasar bocah nolep! Ngapain lo sekolah, sampah lo!"
Tawa mengikuti hinaan mereka. Aku hanya diam. Membiarkan wajah-wajah memuakkan itu semakin melonjak, menindas, menatapku sebagai binatang tak berguna.
Aku akan terus mengingat wajah mereka! Wajah-wajah penuh kebiadaban itu.
Mereka berdiri mengitariku, melontarkan berbagai hinaan yang kini bagai dengung suara lebah.
"Nolep!"
Aku diam.
"Anak haram!"
Aku menutup mata.
"Bau bawang!"
Aku menghela napas.