Sebelas bulan lalu
“Aku pengin pesta resepsi kita bernuansa rimba belantara. Undangan dibuat dari material utama daun kering, hiburannya kita pakai musik perkusi. Nah, nanti pas acara inti diberi backsound suara-suara alam. Desau angin, aliran air, hahaha ... mungkin nggak, ya?” Jenna memainkan pulpen di jarinya, memukul-mukul pelan bibir tipisnya, sembari menunggu reaksi dari lelaki di hadapannya.
Satura bergeming. Keningnya berkerut. Matanya menatap heran mata Jenna. Sedari tadi gadis itu sibuk coret-coret sesuatu di atas blocknote dengan hardcover putih bertuliskan “Keep calm cause everything is gonna be OK”, hasil kreasi dengan koleksi akrilik miliknya. Di dalam blocknote itu sudah tertulis segala tetek-bengek tentang apa-apa saja yang akan dipakai untuk acara pernikahannya nanti.
“Yakin?” Intonasi serius terdengar dari suara Satura.
“Kenapa enggak? Ini pesta kita.”
“Aku belum bisa bayangin bentuknya.”
Jenna menggeser maju kursinya, lebih mendekat ke arah Satura. “Aku terinspirasi dari Taman Tragoess di Austria yang ditenggelamkan Green Lake saat musim panas. Taman yang sederhana, tapi cantik. Kamu tahu, kan?”
Satura membelalakkan mata. “Jangan bilang pesta kita di bawah air?” ujarnya.
“Ya nggak, dong. Realistis ajalah. Kalau pada akhirnya harus memakai gedung, gedung resepsinya kita sulap jadi hutan pinus, tapi di pinggir-pinggirnya aja. Danau kecil kita tempatkan di depan pelaminan, aku pengin ada unsur air. Oh, ya, dekor singgasana pengantin nggak usah pakai gebyok dan kawan-kawannya. Cukup satu buah bangku taman di belakang danau buatan, tapi bangkunya diberi ornamen mawar pink dan putih di beberapa titik sandarannya. Biar manis, nanti diberi juga chiffon ceruty putih menjuntai di bangku itu. Jalan setapak juga dibuat dari taburan batu koral untuk tamu yang mau menyalami pengantin,” Jenna bersemangat melanjutkan penjelasannya.
“Baju pengantinnya? Ala Tarzan?” tanya Satura asal.
“Nggaklah ...!” Jenna menyeruput ice mint tea di hadapannya sebelum kembali melanjutkan penjelasannya, “Bajunya nggak jauh beda sama baju pengantin pada umumnya, tapi pakai model yang simpel, biar yang ribet dekornya aja. Memang sengaja dibikin kontras sama dekorasinya. Kan lucu, tuh, ada pengantin di hutan. Hihihi ....” Jenna cekikikan sendiri.
“Tunggu.” Satura sedikit membungkukkan badan. Ujung rambut sebahunya ikut jatuh ke depan. Wangi sampo pria itu menyeruak di hidung Jenna. “Rambutku nggak akan jadi korban, kan?” lanjutnya.
“Nggak, dong! Kamu harus mempertahankan predikat GPK, Sayang ....”
“GPK?”
“Gondrong penuh kasih.” Mata Jenna mengerjap-ngerjap genit. Spontan Satura menjatuhkan punggungnya di sandaran kursi kayu yang miring ke belakang. Tak habis pikir.
“Kenapa nggak outdoor aja? Biar dekorasinya nggak terlalu susah,” tanya Satura kemudian, sembari menegakkan kembali posisi duduknya.
“Kamu lupa? Kemungkinan besar tanggal pernikahan kita jatuh di musim hujan.” Binar di wajah Jenna mendadak luntur.
Ingatan Jenna kembali mundur ke dalam waktu dua minggu lalu. Saat orangtua dan kakeknya menegaskan bahwa pemilihan tanggal pernikahan harus dilaksanakan pada bulan baik. Baik menurut sang kakek. Meski belum fix, Jenna tahu usulan darinya untuk menikah pada tanggal cantik akan berakhir dengan coretan merah.
Satura menangkap redup mata kucing berbingkai bulu mata panjang itu. Buru-buru diusapnya ubun-ubun Jenna dengan lembut. “Semangat lagi, dong?” pintanya.
Tarikan napas panjang keluar dari hidung Jenna. Lalu, gadis itu menarik dua ujung bibirnya agar melebar. Deretan gigi putih dan rapi tampak berbaris kala senyum itu muncul kembali.
“Kamu nggak tanya aku minta mahar apa?” Suara Jenna kembali renyah. Kening Satura berkerut.
“Anaphalis javanica dari Semeru!” seru Jenna kemudian.
“Edelweiss?”
Jenna mengangguk mantap. “Bulan depan kamu ke sana, kan?”
Satura diam. Tangannya bersedekap. Matanya mendelik, melirik Jenna yang tengah menatapnya penuh harap. Seperti kucing yang minta dimanja.
“Bisa, kan?” Jenna sedikit merajuk. Satura hanya mengulas satu senyum. Senyum pengabulan menurut Jenna, tetapi getir bagi Satura. Ia tak akan pernah mengizinkan segala bentuk kecewa yang hadir pada diri Jenna datang darinya.
Kini mata Satura terpejam. Dua tangannya ditangkupkan menjadi satu menopang dagu. Dahinya berkerut, sesekali.