Malam hampir tiba di penghujungnya. Aku duduk di ruang tamu, menunggu Bara pulang seperti biasa. Mataku menatap langit-langit, sementara pikiranku melayang-layang, memikirkan bagaimana nasib pernikahan ini nantinya. Setelah melihat isi kotak yang kini sudah kubungkus rapi kembali, aku memutuskan untuk tidak memberitahu Bara bahwa aku tahu apa yang ada di dalamnya. Aku ingin melihat apakah Bara punya niat untuk jujur dan menceritakannya sendiri, meskipun aku tahu pria itu mungkin akan tetap bungkam.
Perasaanku belum benar-benar tumbuh menjadi cinta. Aku belum merasakan sayang pada Bara. Yang kulakukan hanyalah berusaha taat sebagai istri, meski ia selalu menjaga jarak dan enggan menyentuhku. Aku tidak tahu seburuk apa penampilanku di matanya, tapi terlepas dari apapun yang dirasakannya, aku mencoba untuk memahaminya.
Drrtt drrtt!
Suara getar ponsel di meja membuyarkan lamunan. Aku cepat mengambilnya, berharap itu dari Bara. Namun, ternyata nama Nita, sahabatku, muncul di layar.
"Halo, Assalamualaikum, Nit. Tumben malem-malem gini, kamu telepon?"
"Waalaikumsalam, Zahra. Maaf ya, ganggu? Aku nggak bisa tidur nih, habis meeting sama klien. Ribet banget kliennya! Please, aku butuh curhat!"
"Kenapa emangnya? Ribet gimana?" tanyaku, tahu persis betapa sibuknya Nita dengan bisnis wedding organizer-nya.
"Ya gitu... klien minta ganti catering H-1 nikahan! Gimana coba?"
"Sabar, Nita. Istighfar..."
"Haura Zahra, kamu sidejobnya jadi ustazah sekarang?"
"Heh, disuruh istighfar malah bercanda. Astaghfirullah, Nit!"
"Astaghfirullah... puas?"
"Nah, gitu kan enak didengar?"
"Hah... eh, ngomong-ngomong kamu mau ambil part time besok lusa nggak, Ra? Biar venuenya adem."
"Serius sepanas itu?"
"Banget! Tadi aja keluarga mempelai laki-laki hampir batalin acara!"
"Loh, kok bisa?"
"Mana aku tahu? Tapi akhirnya tetap nikah, meski ada drama sedikit. Eh, bentar... kayaknya aku pernah lihat mereka di mana ya? Mungkin di nikahan kamu?"
"Siapa memangnya? Saudara aku mungkin?"