"Adik tenang saja. Abang akan usahakan. Abang janji, kita akan menikah." Damar menenangkan pikirannya.
Tapi, dari mana uang sebanyak itu?
"Abang janji?" tanya Dinar.
"Janji." Damar mengangguk. "Demi kamu." Keduanya pun tersenyum.
Di tempat kerjaan, Damar banyak melamun. Bagaimana solusi atas permasalahannya, dia tak ingin dianggap lemah, semua pekerjaan ia lakukan agar terkumpulnya uang senilai 30 juta.
"Jangan melamun, Bro!" Rudi menepuk pundak Damar.
"Eh,kamu." Damar lesu. Kedua tangannya tak lagi cekatan mencetak bata.
"Kenapa? Akhir-akhir ini nampak kusut seperti jemuran kurang dijemur," selorohnya.
Damar menghapus kasar nafasnya. "Aku melamar, Dinar."
"Terus?"
"Ibunya memintaku emas seberat tujuh mayam dan uang sebesar 30 juta," sahut Damar serak. Ada yang mengganjal di pelupuk matanya. Butir bening siap mengalir.
"Busyet!" Rudi terkejut. "Terus, udah ada?" tanyanya lagi.
Damar menggeleng pelan lalu, hening ….
"Aku ada usul. Ya, itu kalau kau mau." Rudi menyalakan korek untuk sebatang rokoknya yang telah diapit kedua bibirnya.
"Apa itu?" tanya Damar bersemangat.
"Pinjam uang ke juragan kemiri, aja. Ya, meskipun ada bunganya."
"Ah, pakai bunga. Dosa itu!" Damar terlihat kesal.
"Daripada kau kehilangan gadis itu?"
Damar menelan salivanya alot sungguh, pilihan membingungkan.
"Jangan bengong! Iya, atau tidak?" tawar Rudi lagi.
"Nanti deh, aku pikirkan lagi."
"Jangan lama-lama mikirnya! Nanti, diambil orang." Rudi mengejek. Pria berkulit hitam itu pergi meninggalkan Damar. Tak tampak lagi punggungnya yang legam.
Dahi Damar, berkerut. Tiba-tiba semakin pening.
*
*
*
Tersisa satu hari lagi Damar putus asa hidupnya, tak bergairah berat badannya turun drastis, ia tak punya pilihan selain menemui juragan kemiri itu.
Bergegas menemui juragan terkaya di desanya. Sesampainya di sana, Damar kurang beruntung. Juragan tidak ada di rumahnya. Satu keluarga sedang keluar kota hingga satu minggu lamanya.
Pupus sudah harapannya. Semua sirna, Damar melangkah gontai dan lemas, tak peduli hujan turun dan guntur sahut-sahutan. Badannya basah kuyup. Malam ini penentuan keputusan keluarga Dinar membuatnya semakin pusing, pening dan putus asa. Hatinya terkoyak ragu, pikirannya bercabang-cabang seperti jalan yang ada di hadapan Damar saat ini.
"Maafkan, Abang, Dik!" Damar berteriak di tengah derasnya hujan sekaligus, meluapkan kebingungan yang tak kunjung menghilang.
Malam ini pukul delapan. Rasa-rasanya ia enggan ke sana. Hati kecilnya selalu berkata bahwa, Damar lemah.
"Aaarrgh!" Damar mendengus kesal. Ia segera bangkit dan bersiap-siap menemui keluarga besar Dinar seorang diri. Damar tak melibatkan ayah dan kakak-kakaknya takut mereka kecewa.
Kini ia berdiri di depan rumah mewah itu, suasana dingin sehabis diguyur hujan. Langkah kakinya berat detak jantung kian tak karuan.
Damar mengetuk pintu dengan penuh ragu.
"Abang?" Dinar memeluk Damar. "Akhirnya, datang juga." Dinar lega.