Menjadi Raja Iblis Ternyata Tak Semudah yang Kubayangkan!

Emanuel Horsa Widodo
Chapter #3

Chapter 2 - Selamat Tinggal, Kehidupan Lamaku yang Membosankan!

Part 1

“Gyahahah! Benar-benar deh, jadi api hitammu itu sebenarnya tidak panas?”

“Yup! Bodoh sekali orang-orang itu! Hahahahahahah”

“Hihihih, oh iya, aku jadi kepikiran, kalau raja kami sekarang hanyalah pemuda biasa dari dunia lain, di mana raja kami yang dulu?”

“Mana kutahu? Aku saja tidak sengaja kok… owo”

Kami mengobrol dengan santainya di gua baru yang kami temukan. Tempat ini berada sangat jauh dari daerah berpenduduk, jadi mungkin kami akan aman saja untuk beberapa waktu.

Dewi brengsek ini... memberitahukan identitas asliku kepada Selena dan Luciel. Untung saja ternyata mereka setia kepadaku.

(“Yang mulia, saya tidak peduli siapa anda sekarang, tapi saya lebih nyaman berada di sisi anda”)

(“Sayangku... Aku menerimamu apa adanya kok <3”)

Hiks... mengingatnya saja aku jadi terharu... Terima kasih, kalian... Raja iblismu ini akan berusaha sebisa mungkin untuk menjadi yang terbaik...

Suasana memang menjadi canggung saat itu, terutama pada diriku dan Selena. Yah, bagaimana tidak, dia mengetahui raja iblis yang dicintainya itu palsu. Aku merasa sangat bersalah dan balik bersujud kepada Selena. Saat aku mengaku raja iblis, tujuanku hanyalah untuk selamat.

Hatiku terasa semakin hangat mengingat Selena memaafkanku dan tetap mau berada di sisiku. Tidak hanya memaafkan, dia bahkan tetap mau memanggilku “Sayang” dan memperlakukanku sama seperti sebelumnya.

Luciel dan Selena tidak terlihat seperti pasukan raja iblis, mereka lebih seperti malaikat. Tentu, Hylia lah iblisnya.

Si dewi keparat itu sendiri bisa dibilang sudah nyaman dengan kondisinya sekarang. Sungguh cepat untuk seorang dewi. Selena jago juga menangani bocah seperti dia.

(“Huh! Sayang, bagaimana kalau kita IKAT saja bocah ini, lalu BUNGKAM mulutnya, sehingga dia tidak mengganggu?”)

Lucu sekali mengingat ekspresi Hylia saat itu. Dia terdiam dan merenung di sudut gua. Dia sempat takut pada Selena, tapi hatinya mulai mencair saat melihat sisi keibuan dari Selena. Hatiku juga… Selena benar-benar sempurna.

Sekarang saja, Selena sedang mengepang rambut Hylia yang terlalu panjang itu dengan lembut. Setiap hari dia menghabiskan waktu luang dengan menyisir atau membentuk rambut putih itu dengan senangnya.

Apa memang menyenangkan ya? Aku ingat, dulu teman sekelasku yang perempuan juga sering melakukan hal demikian, padahal punya rambut sendiri, tapi malah memainkan rambut orang lain, aneh sekali. Tapi setelah aku melihat Selena melakukannya, aku yakin itu kebiasaan dari bidadari di surga untuk melayani temannya yang tak berguna.

Lalu, gua yang kami tempati sekarang juga bisa dibilang sangat spesial. Banyak batu-batu berharga yang menempel di dinding-dindingnya, apalagi mereka bercahaya. Ruangan di dalamnya jadi terlihat sangat terang dan jelas.

“Eh, Hayato, nanti malam kita makan apa?”

“Ikan bakar mungkin”

“Hah!? Kok ikan lagi sihhhhh, ayam dong....”

“Diam kau dewi tiada guna! Kalau mau, carilah sendiri!”

Bukan hanya Selena dan Luciel, aku dan Hylia juga sering bertengkar soal hal-hal sepele. Sekarang saja, Hylia sudah menangis dan merengek ke Luciel untuk dicarikan.

Luciel... kelihatannya cukup senang...

“Sayang, kamu iri pada Lucialan itu?”

Tidak... asal kalian tahu, terlihat lemah dan tak bersalah seperti itu hanyalah trik si dewi kurang ajar itu. Aku yang sudah melewati kejam dan keterlaluannya dirinya tidak akan tertipu oleh jebakan seperti itu.

“Untuk apa, aku tidak akan menjadi budak seperti Luciel”

Aku membiarkan saja mereka seperti itu. Hylia memang tidak cocok disebut dewi, tapi diriku sendiri tidak pantas disebut raja iblis.

Karena identitas asliku sebagai seorang sampah masyarakat di kehidupanku sebelumnya sudah terkuak, aku merasa tidak terlalu pantas untuk memerintah mereka, bahkan saat mereka masih menghormatiku.

Hmm… mengingat kehidupanku sebelumnya, daging ayam cukup menggiurkan juga. Sudah lama aku tidak makan itu. Padahal dulu aku sering beli ayam goreng.

“Yang mulia, ayolah... kita benar-benar tidak pernah makan daging ayam lho...”

“... Ya sudahlah, ayo kita cari di desa terdekat”

Hylia dan Luciel langsung bersorak gembira. Senang juga sih melihat mereka seperti ini. Rasanya seperti punya keluarga yang menyenangkan. Keluarga yang berkebalikan dari keluarga di kehidupanku sebelumnya.

Ayam langka di tengah hutan lebat seperti ini. Itu juga yang menjadi alasan kami tidak pernah makan daging ayam. Diperlukan interaksi dengan penduduk lokal untuk mendapatkannya

Berarti ini akan menjadi pertama kalinya aku ke desa manusia di dunia ini... Aku bahkan belum terpikir untuk mengunjungi satu. Baguslah, ada pengetahuan dan pengalaman baru juga untuk kami.

“Selena, bisa minta tolong antar kami?”

Sebenarnya tidak perlu kuminta pun dia juga sudah bersiap diri untuk terbang bersama kami, aku hanya ingin dia merasa lebih dihargai. Yah, orang yang mencintaiku dan setia padaku seperti dirinya dan Luciel benar-benar sangat berharga. Hidup 18 tahun di kehidupan sebelumnya saja aku belum pernah mendapatkan satupun.

Walaupun menjadi raja iblis, sepertinya akan lebih menyenangkan jika aku menikmati saja kehidupanku yang kedua ini.

Seandainya tidak ada orang-orang gila itu... Kan bakal santai hidupku ini...

“Yak, berangkat! Woohoooooo!”

Sudah kubilang, melesat ke atas seperti ini hanya menakutkan saat pertama kalinya saja. Hylia juga mulai merasakan keseruan daripada ketakutan saat berpegangan pada Selena.

***

“Selena, kamu bisa menyembunyikan sayapmu?”

“Sayangnya tidak bisa :( kalian semua bersenang-senanglah, aku akan menunggu di sini.“

Pergi tanpanya rasanya jahat sekali. Aku tidak tega meninggalkannya begitu saja, tapi jika warga desa melihat dia punya sayap seperti itu, pasti akan menimbulkan kericuhan.

Pakaian kami semua mencurigakan sih... tapi biarlah, bilang saja kalau kami petualang.

Yasudahlah, kami hanya akan membeli ayam atau daging ayam lalu kembali.

Eh, membeli?

“Luciel, kita mau beli pakai apa? Memang kita punya uang?”

...

Hening sejenak. Sepertinya kami baru sadar akan hal tersebut.

“Ambil saja satu atau dua terus kabur, kan beres”

Orang yang paling tidak pantas mengatakan hal seperti itu malah yang memulai ide ini dengan polosnya. Wajar saja dia dipecat jadi dewi.

Tapi itu ide yang menarik, mencuri sedikit tidak apalah ya... kami kan tidak punya uang... Apalagi aku kan raja iblis, harusnya sah sah saja dong...

Tidak, tidak, tidak boleh, mencuri itu akan merugikan pemiliknya. Kami tidak boleh mencuri.

Tapi tapi, kalau ternyata ayam itu sudah tidak diinginkan pemiliknya bagaimana? Bukannya kami justru membantu?

Ahh Hayato, tahan Hayato! Kamu bisa mengalahkan godaan iblis ini!

“Nih, aku udah dapet satu, barusan berkeliaran di jalan.”

Fiuhhh... ayam bakar, ditambah dengan bumbu yang dibuat dari kedelai hitam dan tumbukan cabai, cita rasa yang istimewa... Aku jadi ingin makan ini setiap hari. Diberkatilah selalu, wahai pemilik ayam yang kurang beruntung!

“Wahaha! Enak kan? Siapa dulu dong yang ngambil ayamnya- Aduh!!! Napa sih Hayato?”

Melihat tingkah dewi ini membuatku ingin menjitaknya. Selena dan Luciel tertawa terbahak-bahak. Mungkin sebenarnya mereka justru sangat senang dengan kondii seperti ini.

“Oh iya, yang mulia, dilihat dari kemampuan para pahlawan beberapa hari yang lalu, sepertinya kita bisa menyerang dan membasmi mereka.”

“Benar juga, sayangku, daripada nanti rumah kita yang sekarang ini dihancurkan, bagaimana jika kita menghancurkan mereka dulu?”

Nah, pembahasan iblis pertama setelah beberapa hari. Mungkin ayam bakar ini terlalu enak sampai membangkitkan jiwa iblis mereka.

Selena ada benarnya, jika tidak, rumah kita sekarang akan hancur. Tapi masa menghancurkan mereka sih? Kok kejam sekali...

“Jangan, menyerang seperti itu terlalu gegabah”

“Tapi...” x2

“Iya, Hayato benar, kalau kita menyerang, lawan kita malah akan menjadi jauh lebih sulit dan banyak. Mereka hanya mengirim orang-orang terpilih saja karena takut kalau orang-orang biasa akan menjadi korban yang tidak berguna setelah menghadapi sihir dari raja iblis”

Untuk pertama kalinya, aku mendengar kata-kata yang bermutu dari mulut dewi tak berguna ini. Kami semua tercerahkan sekarang. Dia bisa juga ya menjadi sepintar ini sesekali.

Lalu, apa yang harus kita lakukan? Apalagi dengan adanya demon detector milik priest tersebut, kami tidak mungkin bisa hidup tenang.

Mungkin saja, tak lama lagi mereka sudah menyerang lagi dengan membawa kekuatan yang lebih besar.

“Eh iya, Hylia, kamu tahu alat yang namanya demon detector?”

“Tahu, tapi memangnya sekarang masih bisa bekerja?”

“Eh?” x3

Demon detector itu pada dasarnya alat untuk bertanya pada dewi di atas, dan dewi tersebut dulunya sih aku. Kalau aku di sini, mana bisa mereka dapat jawaban tersebut?”

...

Serius nih?

Aku bisa membayangkan para orang gila tersebut kebingungan saat demon detector milik priest mereka tidak berfungsi.

Tapi masa semudah itu? Kalau begitu mereka juga tidak mungkin menemukan kami dong?

“Tapi, Hylia, bukannya ada banyak dewi ya yang bekerja?” Luciel bertanya.

“Iya sih... bahkan mungkin tempatku sekarang sedang ditempati oleh salah seorang juniorku, tapi mereka tidak mungkin paham cara kerja dewi Hylia yang agung ini dengan cepat.”

Dia menjawab pertanyaan Luciel seolah-olah dia layak dipanggil dewi. Aku jadi lebih paham sedikit cara kerja para dewi di atas sana. Hanya terbayang bahwa Hylia adalah salah satu dewi yang terburuk.

Tapi Luciel menanyakan hal yang bagus, berarti ketidaktahuan orang gila itu hanya sementara saja. Setelah dewi yang Hylia bilang sebagai ‘juniornya’ memahami cara kerja Hylia selama ini, mereka akan tahu keberadaan kami.

Selena hanya menyimak obrolan kami.

“Luciel, setahumu di mana demon detector itu berada?”

“Sepertinya sih di kastil Hamel, soalnya di situ juga tempat paus suci berada, memangnya kenapa, yang mulia?”

Aku berpikir sejenak. Tidak hanya Luciel, Hylia dan Selena juga mengerumuniku. Ideku cukup gila sih, bahkan mungkin beresiko, tapi demi kehidupan yang tenang, aku harus memusnahkan alat yang bernama demon detector tersebut.

“Bagaimana kalau, selagi tidak ada yang tahu keberadaan kita, kita menyusup ke sana dan menghancurkan alat merepotkan itu?”

Mereka terdiam sebentar, lalu langsung ramai-ramai menyetujuinya.

Entah kenapa ada sesuatu yang membara di dalam diriku. Tidak hanya diriku, sepertinya kami semua langsung bersemangat mendengar ideku.

Yah, rasanya jadi seperti di game saja. Aku tidak terlalu memikirkan resikonya, selama itu masih mungkin dan menarik, aku malah jadi bersemangat.

Malamnya, kami begadang membicarakan rencanaku ini. Kastil, jelas bukan tempat yang mudah untuk dibobol. Bahkan, ini hampir sama dengan menyerang kastil.

Tapi, jika menyelinap, kita tidak harus bertarung melawan pasukan-pasukan kerajaan, bahkan mungkin orang-orang gila yang terus memburuku.

Memang, di kedua kondisi, kami sama-sama bisa melarikan diri dengan Selena. Namun, setelah bertarung, mereka akan tahu selemah apa sang raja iblis lalu justru akan mengadakan serangan balik secara besar-besaran yang pasti menghancurkan kami semua.

Sepertinya perjalanan kami besok akan sangat menarik.

Part 2

“Hayato, ayo kita ambil saja, ngapain repot”

Lagi-lagi, dewi kampret ini menyarankan kami untuk mencuri pakaian yang ada di dalam toko agar tidak terlihat mencurigakan.

Akhirnya kami meninggalkan Selena di luar kota Ardon, ibukota kerjaaan Hamel. Kastil kerajaan hamel sendiri sudah dapat terlihat di ujung kota. Istana megah yang terlihat bersih dan rapi. Aku jadi makin penasaran isinya.

Rencana kami, siang ini kami semua akan mencari informasi mengenai letak demon detector, lalu akan mencari dan menghancurkannya pada malam hari nanti.

Tidak ada pengamanan khusus, bahkan tanda-tanda bahwa mereka tahu keberadaanku sebagai raja iblis. Kesempatan emas.

“Jangan, itu mah malah membuat keributan”

“Yang mulia benar, kita harus membuat seolah tidak ada yang akan terjadi nanti malam.”

Hylia terkpaksa mengalah dan menuruti apa kata kami. Memang sih, dia ada benarnya juga, pakaian kami memang selalu terlalu mencolok.

“Tolong! Pencuri!!”

Kami semua melihat ke sumber suara. Seorang ibu yang sudah lumayan tua berusaha mengejar sosok dengan pakaian serba hitam. Dari sosoknya yang seperti itu, justru aneh kalau ibu itu tidak curiga dari awal.

Bodo amat lah, bukan urusan kami juga.

“Tunggu, yang mulia! Lihat tuh apa yang dia curi!”

Untung mata Luciel cukup jeli. Kami langsung memiliki rencana baru. Mencuri dari seorang pencuri kan, harusnya tidak masalah.

“E-eh, kalian mau langsung mengejarnya? Tunggu woi!”

Terlambat, berargumen dengan Hylia hanya akan memperpanjang jarak kami dengan si pencuri. Aku dan Luciel langsung berlari mengejar pencuri tersebut.

Dia berlari semakin kencang saat melihat kami di belakangnya. Dengan kecepatan seperti itu, mustahil bagi kami untuk mengejarnya.

Lihat selengkapnya