Menjadi Waria Di Negeri Kangguru

Zizan
Chapter #1

Bab 1 Mimpi Di Negeri Kangguru

Erwin memandang keluar jendela pesawat, tatapan matanya terpaku pada hamparan awan putih yang tak berujung. Di bawahnya terbentang samudra luas, membentang bagai janji atau mungkin ancaman di kejauhan. Usianya baru dua puluh tahun, dengan tinggi sekitar 170 sentimeter dan berat 58 kilogram. Kulitnya putih bersih, kontras dengan rambut gondrong sebahu yang hitam legam. Wajahnya tampan dengan garis rahang yang lembut, memberikan kesan yang ramah dan sedikit melankolis. Ia sering menerima pujian atas penampilannya, namun Erwin tak terlalu peduli. Beban di pundaknya terasa seperti telah memanggul dunia selama berabad-abad. Jakarta yang riuh dan panas telah ditinggalkannya beberapa jam yang lalu, kini yang ada hanyalah harapan dan sedikit rasa gentar yang bercampur aduk. Melbourne, Australia, kata yang sering ia ucapkan dalam hati bagaikan mantra, sebuah tempat yang dijanjikan mampu mengubah nasibnya dan keluarganya di kampung halaman yang jauh.


Impiannya sederhana, tidak muluk-muluk, sama seperti kebanyakan pemuda rantau lain. Ia ingin bekerja keras, mengumpulkan uang, dan mengirimkannya pulang untuk biaya sekolah adik-adiknya dan melunasi sedikit demi sedikit utang keluarga. Ia membayangkan sebuah kehidupan yang lebih baik, di mana uang bukan lagi masalah utama, di mana senyum ibunya akan lebih sering terlihat tanpa beban. Erwin percaya, di Melbourne ia bisa memulai segalanya dari nol, menjadi versi dirinya yang lebih kuat dan lebih sukses, sebuah versi yang pantas untuk membanggakan keluarganya. Di benaknya, Melbourne adalah kanvas kosong tempat ia bisa melukis masa depan yang cerah, jauh dari bayang-bayang kesulitan ekonomi yang menghantui keluarganya di pedalaman Jawa. Setiap dolar yang ia hasilkan bukan sekadar angka, melainkan secercah harapan bagi orang-orang yang ia cintai. Tekadnya membaja, mengalahkan segala rasa takut dan keraguan yang sesekali muncul.


Setibanya di Melbourne, Erwin disambut oleh hiruk pikuk kota metropolitan yang jauh berbeda dari apa yang ia kenal. Bangunan-bangunan tinggi menjulang angkuh di atasnya, lalu-lalang orang dari berbagai ras dan bahasa mengisi setiap sudut jalan. Udara dingin menusuk kulitnya, sebuah kontras yang tajam dengan kehangatan tropis Indonesia. Bau kopi segar yang kuat berbaur dengan aroma rempah dari restoran-restoran Asia, menciptakan perpaduan eksotis yang asing namun menarik. Bahasa Inggrisnya tidak terlalu fasih, hanya cukup untuk percakapan dasar yang ia pelajari dari kursus singkat dan film-film asing di Jakarta. Rasa canggung dan asing menyelimutinya, terutama saat ia harus berinteraksi dengan orang lokal yang berbicara cepat, namun semangatnya tak goyah. Ia datang ke sini untuk berjuang, bukan untuk menyerah pada ketidaknyamanan awal. Setiap lampu lalu lintas, setiap papan nama toko yang ia lihat, terasa seperti teka-teki baru yang harus ia pecahkan. Ia adalah pendatang, seorang penjelajah di negeri yang tak dikenalnya, dan ia harus cepat beradaptasi.


Pekerjaan pertamanya adalah sebagai pelayan di sebuah restoran Asia kecil bernama "Taste of Asia" di pinggiran kota Footscray, tidak jauh dari pusat kota. Sebuah tempat yang selalu ramai di jam makan siang dan makan malam, dipenuhi mahasiswa dan pekerja kantoran yang mencari makanan cepat saji dengan harga terjangkau. Menjadi pelayan bukanlah hal yang mudah bagi Erwin. Ia harus cepat belajar, mengingat pesanan yang beragam dari menu yang panjang, mulai dari laksa hingga nasi goreng dan pad thai. Menghadapi pelanggan yang cerewet dan seringkali tidak sabar adalah ujian tersendiri. Ada yang mengeluh karena pesanan terlalu lama, ada yang marah karena salah saus, atau ada yang menuntut perhatian lebih. Erwin seringkali hanya bisa tersenyum dan meminta maaf, meskipun di dalam hati ia merasa lelah dan terkadang sedikit kesal. Kakinya pegal, punggungnya sakit setiap hari karena berdiri berjam-jam lamanya tanpa istirahat berarti. Tangan dan lengan Erwin seringkali terasa panas karena harus mengangkat piring-piring panas atau membersihkan sisa-sisa makanan yang menempel di meja dengan terburu-buru. Bau masakan yang kuat, campuran bawang putih, cabai, dan minyak wijen, menempel di pakaian dan rambutnya bahkan setelah ia pulang.


Lihat selengkapnya