Menjejak Amerika

Noura Publishing
Chapter #3

Satu: Aku dan Amerika

Tentang Aku

Apa ya, makna perjalanan hijrah?

Sebetulnya, semua manusia di dalam hidupnya akan selalu melakukan hijrah—apabila hijrah dimaknai secara bahasa, yaitu pergi meninggalkan sesuatu, atau ber­pindah. Kalau hanya pada makna bahasa tekstual, semua orang otomatis melakukan hijrah.

Karena, yang namanya pergi meninggalkan sesuatu ya akan selalu begitu dalam hidup. Misal, pergi dari satu tempat ke tempat lain, dari satu wilayah ke wilayah lain, atau pergi dari keadaan satu kepada keadaan lain. Mungkin juga kita meninggalkan seseorang dan bersama seseorang lain, me­ning­galkan rumah lama ke rumah yang baru, dan seterusnya.

Tapi, yang mesti kita kaji adalah hijrah dalam pe­makna­an yang dimaksud oleh Islam. Hijrah sendiri mempunyai kedalaman makna. Kedalaman makna ini harus dilihat de­ngan tidak lagi bersandar pada apa pun kecuali makna dari Allah Swt. Kenapa sih Allah bicara hijrah berulang-ulang di Al-Quran? Tentu, karena hijrah itu salah satu tonggak pen­ting di dalam Islam.

Mari kita coba telisik tentang hijrah, dengan mengacu hanya kepada Nabi Muhammad Saw., Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenar­an; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi pe­ringatan (QS Al-Baqarah [2]: 119). Insya Allah kita bisa menemukan pemak­naan dari peristiwa hijrah beliau terkait dua hal.

Peristiwa hijrah Nabi Muhammad Saw., yang telah di­tentukan oleh Allah Swt, tonggak terbesarnya adalah hijrah dari Makkah ke Madinah. Di situ terlihat bebe­rapa hal. Paling awal adalah perpindahan secara fisik. Sebab secara fisik, Nabi Muhammad Saw. beserta peng­ikutnya berpindah dari satu kota ke kota lainnya.

Perpindahan yang beliau lakukan secara fisik itu saja melalui tantangan demi tantangan, persiapan demi persiapan, kesulitan demi kesulitan, yang semuanya itu amat tidak mudah. Termasuk harus berhenti dahulu di Gua Tsur selama 3 hari, sebagai strategi untuk meng­hadapi kaum kafir Quraisy yang saat itu akan mem­bunuh beliau. Hmmm, beliau berhenti di gua yang sem­pit. Bisa jadi pengap, gelap. Ya namanya juga gua walau bagi beliau, insya Allah segalanya Allah jadikan kenikmatan hati.

Setelah itu, beliau masih harus berjalan kaki selama tujuh hari tujuh malam, menempuh perjalanan ke Madinah berdua saja dengan Sayyidina Abu Bakar dengan membawa hewan tunggangan. Kaum Muhajirin telah lebih dahulu di­berang­katkan secara bergelombang.

Jadi, untuk berpindah secara fisik saja, itu tidak mudah. Mesti menyiapkan fisik itu sendiri, bikin rencana, memikirkan strategi dan teknis, per­jalanan akan dikelola seperti apa, dan seterusnya, dan seterusnya. Itu hijrahnya Rasulullah Saw. secara fisik. Beliau juga menjalani dan me­lewati yang seperti itu. Apalagi umat!

Nah, Nabi Ibrahim a.s. juga sama . Hijrah dari tempat tinggalnya, di wilayah sekitar Irak (saat ini) sampai beliau menetap di Hebron, Palestina. Itu juga mengalami perjalanan demi perjalanan, ditemani istri tercinta Siti Sarah dan se­pupu­nya, Nabi Luth a.s., Nabi Ibrahim me­ninggalkan ke­batilan masyarakatnya yang sudah amat sulit diajak pada ketauhid­an. Bertiga mereka berhijrah dalam keyakinan ke­pada Allah Swt., dan secara fisik juga harus berjuang, harus tegar, harus kuat, gitu!

Nabi Musa a.s., “eksodus” dari Mesir membawa ribuan pengikutnya agar selamat dari kebengisan Raja Fir'aun. Beliau bergerak menuju Baitul Maqdis, harus menyeberang Laut Merah, dikejar-kejar Fir'aun dan pasukannnya, akan dibantai, sampai Allah turunkan per­tolongan dengan mukjizat ter­belah­nya Laut Merah agar mereka semua bisa menyeberangi laut dan selamat dari kejaran musuh. Tapi, ini juga me­nunjukkan ikhtiar secara fisik: berlari, bergerak, berjalan, berpindah, me­nembus laut. Fisik mesti kuat dan tangguh!

Jadi singkatnya, kalau seseorang betul berniat mau hijrah, pada tatanan fisik saja ya memang mesti kuat! Mesti mem­persiapkan hijrah itu sendiri. Karena, puncak dari ke­jadian hijrah, yaitu pada Nabi Muhammad Saw. dan secara fisik, beliau itu mesti menghadapi berbagai macam tantang­an­nya. Ayo, siapkan fisik, pikirkan strategi hijrah kita. Bismillah!

Itu kita baru memaknai hijrah secara singkat dari kate­gori fisik. Pemaknaan pertama.

Lalu, kalau kita mau memaknai hijrah secara batin, lagi-lagi pembelajaran utamanya ya pada Nabi Muham­mad Saw. Ini pemaknaan yang kedua.

Hijrahnya beliau ini kan bukan suka-suka hati sen­diri. Perjalanan beliau, apa pun itu, semuanya hanya dengan satu kesatuan misi: menegakkan agama tauhid, mensyiarkan Islam, menyebarkan Al-Quran, yang ke­semua­nya itu adalah perintah Allah. Maka, hijrah di dalam kehidupan ini, secara batin, misinya adalah selalu harus untuk tegaknya agama Allah. Menunaikan dan me­nyampaikan isi Al-Quran. Intinya menuju pada per­baik­an di hadapan Allah Swt., bukan lagi ukuran manusia.

Selama hampir 13 tahun di Makkah, dengan per­juang­an yang beliau lakukan untuk menyebarkan Islam, dari kabilah ke kabilah, dari suku ke suku, dari kelom­pok ke kelompok, maka tantangan yang dihadapi Nabi Muhammad Saw. luar biasa berat.

Bangsa Arab adalah bangsa yang secara nature hidup dalam bentuk suku-suku. Setiap suku itu bagaikan kerajaan kecil (kabilah), yang pemimpin kerajaan itu selalu turun-temurun, tak terputus. Sehingga kebiasaan demi kebiasaan kabilah itu sangat sulit untuk diubah, sebab bagi mereka justru itu mandat kemuliaan untuk bisa meneruskan warisan nenek moyang. Menjaga tradisi turun-temurun tak terputus. Jadi, kalau dari dahulu kebiasaannya ateisme ya diteruskan. Kalau politeisme ya juga diteruskan. Kalau paganisme, juga dilanjutkan. Bahkan dijaga, dilestarikan. Tiap kabilah punya riwayat turun-temurun juga kebiasaan yang berbeda-beda. Wuihh ....

Tak terbayang, betapa sulitnya Nabi menyebarkan Islam, sementara Islam itu adalah one solid ummah, umat yang satu, yang berpegang kepada Allah saja. Harus mau meleburkan segala perbedaan. Mau bergabung dalam satu panji-panji lâ ilâha illallâh.

Sehingga selama 13 tahun di Makkah, beliau meng­alami kesulitan demi kesulitan yang kategorinya “bukan kesulitan biasa”. Namun, tak ada satu pun kesulitan yang menyurutkan perjuangan. Sebab, kesulitan demi kesu­litan itu memang kenyataan yang mesti dihadapi. Ini mesti kita catat. Jika ada kesulitan demi kesulitan dalam jalan menuju dan dalam proses hijrah ya memang itu adalah kenyataan yang mesti kita hadapi. Rasul Allah juga menghadapi itu semua, lho. Nah, sementara kita ini siapa? Manusia biasa, hamba Allah, yang pengikut Ra­sulullah Saw. Beliau saja hidupnya menghadapi kenya­ta­an demi kenyataan yang sulit dan berat, kok!

Coba kita telusuri sebentar. Ingatkah kita, riwayat bagai­mana pengikut beliau dibunuhi di Makkah? Disiksa dengan keji. Diteror terus-menerus. Dihinakan. Bagai­mana beliau sendiri dicemooh, dicaci maki, bahkan dilempari kotoran, mau dibunuh, dan perlakuan zalim lainnya. Beliau dan peng­ikut pernah diblokade total selama 3 tahun, tidak bisa mengakses apa pun untuk keperluan pangan, ekonomi, dan interaksi sosial.

Hampir 13 tahun beliau mengalami semua itu, dalam perjuangan mensyiarkan Islam. Selama itu, pula Islam belum diizinkan Allah bisa tersebar ke luar Makkah. Belum.

Sampai kemudian tibalah waktunya di mana Allah meng­hijrahkan beliau dan pengikutnya ke Madinah, setelah kaum Anshar datang mencari tahu ke Makkah dan menyatakan berbaiat kepada agama Nabi Muhammad Saw.

Kembali pada hari “H” hijrah beliau. Pada suatu riwayat dikatakan, ketika Rasulullah Saw. akan mulai bergerak dari Gua Tsur bersama Sayyidina Abu Bakar, beliau sempat ber­henti sesaat. Dari atas bukit tempat berhenti tersebut, beliau menoleh ke Kota Makkah, menyucurkan airmata, menyam­paikan kepada Allah betapa beratnya meninggalkan kota yang beliau sangat cintai. Kota tempat beliau lahir, menikah, hidup, dan ber­tumbuh. Tempat beliau berjuang, tempat beliau me­nerima wahyu Allah. Beliau juga merasakan ke­sedihan sebagai seseorang yang akan meninggalkan tem­pat yang sangat bermakna dan memiliki keterikatan kuat dengan dirinya. Tapi, beliau yakin, sebab hijrah adalah perintah Allah. Apa pun itu, beliau lakukan segala yang menjadi perintah Allah. Demi menjunjung tinggi perintah Allah Swt.

Perintah Allah bukan untuk ditawar-tawar!

Itulah pemaknaan singkat terhadap hijrah; secara fisik kita mesti kuat, secara batin kita mesti siap. Dan secara tujuan, tidak ada tujuan lain kecuali tegaknya Agama Allah dalam diri kita, sekitar kita, dan pada kehidupan di seluruh alam raya.

Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Wal muhâjiru man hâjara mâ nahallâhu ‘anhu; Orang yang berhijrah adalah yang selalu meninggalkan segala yang dilarang oleh Allah.” (HR Ahmad). Dan Imam Al-Qurtubi menye­but­kan, “Hijrah itu adalah pindah dari satu tempat ke tempat lain dan menye­ngaja­kan meninggalkan satu posisi awal menuju posisi yang kedua.”

Nah sekarang, kita niiihh yang mesti lebih paham, yang disuruh ditinggalkan itu apa sih? Apakah kita di suruh ninggalin sekolah, terus kita diam saja di kamar enggak ngapa-ngapain, atau disuruh ninggalkan perdagangan alias enggak ikhtiar mencari nafkah dan cuma ibadah ritual saja? Bukan itu. Nabi sudah mem­per­jelas, hijrah itu meninggalkan segala yang dilarang oleh Allah.

Jadi, maksudnya adalah apakah kita berdagang, bergaul, sekolah, menikah, berpolitik, pokoknya apa pun yang kita lakukan dalam hidup ini, semua boleh dilaku­kan jika tidak melanggar larangan Allah Swt. Tapi, kalau ada larangan Allah yang kita langgar, itulah yang mesti segera ditinggalkan. Bertobat. Terus memperbaiki diri, iman, takwa, ilmu, akhlak, semuanya, agar selalu lebih baik di hadapan Allah. Mem­perjuangkannya.

* * *

Aku menganalogikan hidupku yang berhijrah ini seumpama merenovasi bagian luar dan bagian dalam diri ini, lengkap, kaya’ gedung yang direnovasi. Namanya renovasi kan tidak mungkin tidak ada “biaya”. Pasti ada “cost”. Bagaimana bisa renovasi tapi tidak mau ada biaya? Terus, apa sih harga yang harus aku bayar? Ya, namanya hijrah, maknanya me­ninggal­kan maka insya Allah aku mesti kehilangan banyak hal. Pergi dari sesuatu menuju sesuatu. Nah, itu deh “harga”-nya. That is the cost!

Semisal, ketika me-review cara hidup, cara bergaul, dan cara mencari nafkah, ketika aku dapati banyak larangan Allah yang dijalani dalam hal-hal itu, mesti aku tinggal. Bongkar hidup dulu. Ibaratnya, kalau itu bangunan maka jendela, pintu, dan tembok yang udah pada enggak beres mesti dihancurkan dulu. Di­hilang­kan untuk direnovasi atau bangun ulang menjadi bangunan yang baru. Maka, aku kehilangan kontrak kerja, kehilangan karier, kehilangan usaha, proyek-proyek. Ya, begitulah kira-kira.

That is the cost. Menuju kebaruan hidup; perintah Allah.

Kalau mau hijrah mesti melakukan renovasi. Untuk renovasi, ada biaya, supaya renovasi itu bisa terjadi dan selesai. Kalau biayanya enggak mau ditanggung ya enggak akan sampai pada kebaruan. Nah, gitu deh kira-kira, ya.

Lihat selengkapnya