Macan memutuskan untuk melanjutkan hidup dengan identitas barunya di ibu kota. Jakarta dianggap sebagai kota yang menjanjikan. Benarkah seperti itu? Di atas KM Kelimutu yang tengah melayari Laut Jawa, Macan terus memikirkan hal itu.
Setelah tertunda hampir 12 jam, sore itu akhirnya KM Kelimutu bergerak meninggalkan Pelabuhan Trisakti, Banjarmasin. Suara terompetnya menggema gagah dan seketika menguarkan aroma kegembiraan di kalangan para penumpang yang sudah naik ke geladak sejak dua jam sebelumnya. Penundaan keberangkatan selalu merugikan, karena para penumpang harus menambah pengeluaran. Makanan di pelabuhan lebih mahal hampir dua kali lipat dibandingkan makanan di tempat yang biasanya.
Macan sengaja menahan rasa lapar di perutnya yang sejak pagi tadi hanya sempat diganjal dengan sepotong roti unthuk sisa bekal dari perjalanan malamnya naik mobil travel ke pelabuhan. Ia sesungguhnya membawa uang cukup banyak, sekitar Rp100 ribu, tetapi sudah terpakai untuk ongkos travel Rp1.500 dan tiket kapal Rp3.500. Ia harus benar-benar berhemat karena masih ada pengeluaran cukup besar lainnya yang harus dikeluarkannya di Tanjung Priok sejumlahnya Rp5.000 demi satu set kartu identitas kependudukan dengan nama barunya. Ia belum memiliki kartu identitas apa pun sebagai Macan Maulana. Di loket tiket pun sempat bersitegang dengan petugas tiket yang semula ngotot memintanya menunjukkan KTP. Sang petugas baru berubah melunak setelah Macan menyampaikan salam dari salah satu pengurus pesantren yang ternyata dikenali petugas itu.