Pria tampan berkulit putih dan berhidung mancung itu bernama Dion Andreas. Anak semata wayang dari keluarga Bramana Andreas. Tubuh atletis terbalut branded, berjalan gagah menuju rumah besar bak istana di dunia nyata.
“Baru pulang, Mas?” tanya pria berambut tipis.
“Yo’i, Pak,” jawabnya dengan senyum manis dan berjalan girang menuju pintu rumah.
Terlihat seorang wanita berusia senja tengah asik menatap lembaran majalah yang ada di tangannya. Duduk di atas sofa sambil melipat kakinya. Terlihat santai dan menikmati bacaannya.
“Hai, Ma!” pria itu pun melayangkan ciuman manjanya di pipi wanita itu.
Rianty, wanita keturunan Belanda itu merupakan Ibu dari Dion, sekaligus Istri dari Bramana. Wanita cantik dengan hidung mancung dan kulit putihnya, hingga kita tahu, darimana ketampanan Dion berasal.
“Baru pulang, sayang?” tanyanya lembut.
“Yes, Ma,” ucapnya yang kemudian duduk di samping Rianty dan meletakkan kepalanya di atas pangkuannya.
“Bagaimana kuliah kamu hari ini?” tanya Rianty lembut sambil membelai rambut Dion.
“Begitulah, Ma,” ucapnya cuek.
“Dion ..., kamu jangan begini terus, Nak! Mama sudah kehabisan jurus untuk meredakan kemarahan Papa jika membahas kamu,” ucap Rianty dengan nada lebih tegas.
“Huh! Dion enggak mengerti apa maunya Papa!” ucap Dion yang kemudian kembali duduk sambil menatap serius wajah Rianty.
“Nak! Papa hanya mau kamu serius menghadapi masa depanmu. Papa dan Mama tidak bisa hidup selamanya untuk menemani kamu, Nak!” ucap Rianty dengan wajah sendu sambil membelai lembut pipi Dion.
Dion terlihat kesal setiap kali membahas hal ini, itu terlihat dari sikap Dion yang mengacak-acak rambutnya dengan kedua tangannya secara keras.
“Dion ..., ingat ucapan Mama ya! Mama akan selalu ada untuk kamu, membelamu, selama kamu benar!”
Ucapan Rianty berhasil menghentikan kekesalan Dion, Dion pun kini terlihat menyandarkan dirinya dalam pelukan hangat Rianty.
“Thanks, Ma. I love you ...,”
“Love you too, sayang. Kamu sudah makan? Mama hari ini membuat cupcake kesukaan kamu.”
“Oh, ya! Kalau begitu, biar Dion yang ambil sendiri. Mama santai saja di sini, oke!” ucap Dion yang kemudian mencium kening Mamanya dan berlari menuju dapur.
Meja makan yang besar itu kini terlihat kosong tanpa isi. Hal ini membuat langkah Dion terhenti.
“Hayo ..., pasti nyariin kue buatan Nyonya kan?” tanya Bi Imah, pembantu mereka.
“Hehehe ..., iya, nih, Bi,” ucap Dion sambil tertawa menyeringai lebar.