Menjemput Bidadari

Be Maryam
Chapter #4

Panggil Aku Ahmad

Aiden mencoba bertanya ke beberapa orang yang ada di pinggir jalan. Dengan menunjukkan foto Dion yang ada di galeri ponselnya. Namun sayang, tak seorang pun merasa melihat Dion. Aiden yang kecewa dan bingung atas hilangnya Dion pun memutuskan untuk kembali pulang.

Sepanjang jalan Aiden berpikir keras, apa yang telah terjadi pada Dion? Ia merasa takut dan bersalah. Akhirnya ia memutar haluan untuk mendatangi kediaman orang tua Dion.

“Masnya cari Mas Dion?” ucap Pak Mahmud saat membukakan pintu untuk Aiden.

Aiden menggeleng, dengan wajah cemas ia berkata, “ Tante ada?”

“Ada, Mas. Silahkan masuk!” ucap Pak Mahmud ramah.

Aiden pun berjalan dan memilih duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Tak beberapa lama kemudian, Rianty datang dan duduk saling berhadapan dengan Aiden.

“Aiden, ada apa? Bagaimana kabar Dion?” tanya Rianty ramah dengan lengkungan di bibirnya.

Aiden tertunduk, berulang kali ia menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri, seluruh jemarinya saling beradu, duduk dengan gelisah diselimuti ketakutan.

“Begini ..., Tan,” ucapnya bingung ingin menjelaskan darimana.

“Katakan saja, Nak!” pinta Rianty dengan penuh kelembutan, Rianty sudah menganggap Aiden seperti anaknya sendiri. Ia kerap memberikan perhatian saat Aiden berada di rumahnya. Begitu pula Dion, ia sudah tak asing saat keluar masuk di rumah Aiden.

“Dion, Tan. Dia menghilang ...,” ucapan Aiden terhenti. Kedua tangannya menutupi wajah. Ia benar-benar terlihat kebingungan.

“Aiden, apa maksudmu, Nak? Ceritakanlah! Apa yang sebenarnya terjadi?” pinta Rianty.

“Tadi ..., Dion meminta uang kepada Aiden, ia berniat untuk tinggal di kost-an. Setelah Aiden mengambil uang di ATM, Dion meminta Aiden menunggunya. Ia ingin membeli sesuatu sebentar. Lalu, ia tak kembali lagi. Aiden sudah menunggunya begitu lama, ponsel dan ranselnya tinggal di dalam mobil. Sedangkan koper dan seluruh bajunya masih ada di rumah,” jelas Aiden dengan suara terputus-putus.

Rianty lantas menangis haru, tubuhnya bergetar, kedua tangannya menutupi mulutnya, seakan tak terima akan apa yang terjadi. Awalnya ia merasa tenang begitu Aiden mengatakan bahwa Dion bersamanya. Namun kini, bak diterpa badai hatinya saat ini, mengetahui putra semata wayangnya pergi tanpa berita.

“Maafkan Aiden Tan, andai saja Aiden tidak memberikannya uang. Aiden yakin, pasti terjadi sesuatu dengan Dion. Ia tak mungkin pergi begitu saja tanpa apapun yang ia miliki!” ucap Aiden yang mencoba menenangkan Rianty.

Perlahan tangis Rianty mulai berhenti, dengan suara parau dan sisa isak tangis Rianty berkata, “ Tidak apa, terima kasih Aiden. Hal ini akan Tante sampaikan pada Om.”

“Sekali lagi maaf ya Tan, Aiden tak pernah terpikir kalau Dion akan benar-benar pergi dari rumah. Aiden juga merasa, Dion tak akan mampu pergi dari rumah tanpa fasilitas yang ia miliki. Semoga Dion segera kembali, ya Tan. Jika Aiden mendapatkan kabar tentang Dion, Aiden janji, akan segera memberikan kabar kepada Tante!” ucap Aiden yang kemudian permisi pulang.

Hatinya semakin tak tenang, sepanjang jalan ia terus berpikir, kemanakah Dion pergi. Ia mencoba mencari info dari ponsel Dion, namun tiada sesuatu hal yang menunjukkan kemungkinan Dion berada.

***

Perjalanan yang cukup lama, hingga akhirnya mobil itu berhenti di sebuah rumah besar bergaya kuno dengan halaman yang begitu luas. Dikelilingi taman bunga yang indah, ada beberapa pohon dan ayunan besi di tengahnya. Sejuk dan damai, itulah yang Dion rasakan. Berulang kali terlihat Dion menghirup dalam udara yang ada, kemudian tersenyum dan melakukannya lagi. 

‘Suasananya begitu asri, jauh berbeda dengan rumahku. Polusi, gerah dan sesak. Meski rumahku juga memiliki halaman yang dikelilingi taman. Semoga aku bisa betah tinggal di sini.’

“Nak, inilah rumah saya. Untuk sementara kamu akan tinggal di sini bersama saya dan keluarga kami. Mari masuk!” pinta Pak Zalil.

Lihat selengkapnya