Perjalanan terhenti di sebuah toko kelontong. Pak Zalil memintaku untuk ikut turun. Ternyata beliau berniat membelikanku sandal. Sebenarnya sandal ini tidaklah sempit, hanya saja, kakiku tak biasa menggunakan sandal yang berbahan keras seperti ini.
“Nak, bagaimana?” tanya beliau saat melihatku menggunakan sandal jepit yang diberikan si pedagang.
“Cukup, Pak!”
Huh! Lagi-lagi sandal jepit yang sama. Hanya berbeda dari ukurannya saja. Mana tidak ada pilihan lainnya di sini. Sudahlah, mau tidak mau, aku harus menerimanya.
Perjalanan kembali dilanjutkan, jalanan mulai tidak rata, berbatu dan berlubang, membuatku tidak nyaman, belum lagi, mobil tua itu begitu keras menghantam bebatuan. Beginikah rasanya mobil tua? Huh! Benar-benar lelah rasanya. Beginilah nasib menjadi Ahmad.
“Beginilah perjalanan yang harus saya tempuh setiap harinya. Itulah mengapa saya memilih untuk berangkat pagi dan pulang tidak terlalu sore.”
Ahmad hanya tersenyum, ia hanya bisa pasrah mengikuti arahan beliau. Mobil terhenti tepat di depan sebuah gubuk yang terbuat dari kayu yang mulai tampak lapuk. Kami berdua turun dan berjalan mendekati gubuk itu.
“Assalamu alaikum, Pak!” ucap seorang lelaki berusia tiga puluhan yang berada di dalam gubuk itu.
“Walaikumsalam, bagaimana? Apa kita siap panen hari ini?” tanya beliau dengan senyum manis dibalik kumis tipisnya.
“Sudah, Pak, Alhamdulilah. Sudah pada di kebun,”
“Baiklah, kalau begitu saya akan menyusulnya. Oh ya, kenalkan, ini Ahmad, pemuda yang tinggal di rumah saya.”
“Oh, salam kenal Nak Ahmad. Saya Pak Ramli, kepala kebun.”
Mereka saling bersalaman dan berjalan menuju kebun, sebelumnya Pak Zalil dan Ahmad menggunakan sepatu boot tinggi hingga menutupi dengkul.