Menjemput Bidadari

Be Maryam
Chapter #7

Siapa Aku?

Pergi ke kebun, kini menjadi rutinitasku bersama Abah. Seminggu tinggal bersamanya, membuat hubungan kami kian dekat. Beliau, memintaku memanggilnya dengan sebutan Abah dan Ibu, seperti ketika anaknya memanggil.

Sekarang ini, aku mulai terbiasa melakukan banyak hal. Merapikan kamar, menyusun pakaian ke dalam lemari, juga salat berjamaah bersama Abah dan Ibu. Aku tak tahu, sejak kapan diriku berubah. Entah mengapa aku kini tidak banyak menolak dan menentang, dengan mudah diriku mencoba segala hal yang baru yang diminta Abah ataupun Ibu.

Pekerjaan rumah yang kerap dilakukan Ibu dengan tangannya sendiri sering membuatku tak tega, hingga tanganku tergerak untuk membantunya. Memang rumah ini punya Bi Ijah sebagai pembantu, namun Ibu lebih suka membuat masakan dan menjemur kain dengan tangannya sendiri.

“Bu, kenapa Ibu yang menjemur dan mengangkat pakaian? Bukannya ada Bi Ijah, ya?” tanya lugu.

Ibu terlihat tersenyum manis, “ Ahmad, jika kamu bisa mengerjakan, maka bantulah, meski itu sudah menjadi tugas orang lain. Semakin banyak yang bisa kamu kerjakan, maka semakin banyak pahala dan kebaikan yang akan kamu dapatkan. Bi Ijah tidak kami anggap pembantu di rumah ini, melainkan keluarga.”

Aku hanya terdiam, haru, hatiku bergetar, kembali teringat akan Bibi dan Mama di rumah. Bibi begitu mengerti aku, ia menyayangiku seperti cucunya sendiri. Namun aku, hanya menganggapnya pekerja di rumahku.

Banyak hal kecil yang terjadi selama di rumah ini, hal kecil yang memberikan efek besar buatku. Hingga seperti tanpa kendali, tubuhku dengan mudah melakukan pekerjaan rumah yang dulunya tak pernah tersentuh olehku. Menyapu halaman, membakar sampah, pergi ke toko kelontong dengan sepeda, ternyata itu semua mudah dan membuatku bahagia.

Gila! Mengapa aku sebahagia ini tinggal di sini. Aku merasa begitu betah meski kamarku kecil dengan kipas angin kuno sebagai pendingin ruangannya. Rumah yang sederhana tanpa alat fitnes, loudspeaker kekuatan besar, mobil mewah dan gadget terbaru.

Awalnya aku berat, berat sekali, terutama saat Abah dan Ibu memintaku untuk ikut salat berjamaah.

“Ahmad ..., ayo wuduk! Kita salat berjamaah, Nak!” pinta Ibu saat aku baru selesai mandi.

Lihat selengkapnya