Tiga hari lamanya aku terbaring, Ibu dan Abah semakin intens memberikan perhatiannya padaku. Mereka kerap hilir mudik menemuiku di kamar. Ibu yang paling membuatku tersentuh. Ia selalu mengantarkan makananku, membuatkanku cemilan dan teh jahe untuk menghangatkan tubuhku. Ia juga mengantarkan air hangat dan handuk, agar aku bisa membersihkan tubuhku, panas yang naik turun dan pusing yang begitu berat, menyebabkan aku dilarang untuk mandi. Karena aku kerap jatuh saat buang air kecil.
Meskipun aku sakit, Abah tetap mengingatkanku untuk salat. Abah mengajarkanku cara salat saat sakit, yaitu duduk di atas ranjang dan menghadap kiblat. Tangis, hatiku begitu lemah hingga mataku terus berasa ingin menangis. Entah apa yang membuatku sedih, tiada pikiran dan hati yang merisau, justru bahagia yang aku rasakan, namun justru tangis yang aku tampilkan.
Hari ini, tubuhku mulai stabil. Aku sudah bisa berjalan dengan tegak, meski pusing sesekali masih datang menyerang. Suasana kamar membuatku gerah, hingga aku memilih untuk berjalan menuju beranda. Dari balik pintu kulihat Abah tengah memeluk seorang wanita, tapi dia bukan Ibu. Tubuh Ibu yang lebih rendah dan berisi sangat berbeda sekali dengan wanita ini. Tetapi, siapa dia? Mengapa Abah memeluknya begitu mesra, bahkan di depan mataku sendiri, Abah mencium kepala wanita itu. Aku yang bingung dan takut pun memilih untuk kembali ke kamar.
Dadaku berdegup kencang, napasku ngos-ngosan seakan berlari jauh, tubuhku bergetar, aku pun memilih untuk kembali membaringkan tubuhku di ranjang. Sayup-sayup kudengar ada suara seseorang dibalik kamar. Kutahan perjelas pendengaranku, mencari tahu suara asing apa itu?
“Dia tinggal di kamar ini?” ucap wanita itu.
“Ya, sayang. Kamu jangan kaget lagi ya?”
“Ibu kemana?” tanyanya manja.
“Ibu? Dia sedang pergi. Kamu sebaiknya bersembunyi sebelum Ibu pulang. Okey?” ucap Abah dengan suara penuh rasa bahagia.
“Ih..., apaan, sih?” ucapnya kesenangan.
Hei, siapa kamu? Apa maksud percakapan kalian? Apa mungkin Abah orang yang seperti itu? Arggh!! Pusing ..., rasanya aku ingin segera keluar dan melihat langsung apa saja perbuatan mereka. Hatiku yakin, Abah tidak begitu. Namun, pikiranku tetap saja menerawang jauh dari jangkauan normal.
Rasanya aku ingin segera bangkit dan mengintip dari pintu kamar, tetapi, aku takut ketahuan dengan Abah. Terlebih lagi Abah, beliau sering keluar masuk kamarku untuk memastikan keadaanku.