Panggil Saja Nur
Tertidur, entah apa yang membuatku jadi suka tertidur. Lelah berpikir dan bekerja, maka dengan mudah tubuhku segera tertidur. Meski sebentar, tidurku begitu lelap. Tak seperti saat dulu, dimana aku harus mengayuh sepeda di sekeliling komplek agar tubuhku lelah dan bisa memejamkan mata. Ini tak memandang waktu, karena pernah aku melakukannya di jam dua dini hari. Juga kadang, aku menari hingga lelah, agar bisa tertidur.
Nikmat, begitu nikmat bisa merasakan tidur lelap dengan mudah. Terkadang aku berpikir, banyak hal yang bisa kunikmati saat ini, dibanding masa laluku yang bergelimbangan harta dan penuh hura-hura. Aku tak tahu, mengapa cara berpikirku berubah drastis seperti ini. hingga aku merasa diri ini, bukanlah diriku lagi.
Tok!!!
Tok!!!
Tok!!!
“Ya ...,” ucapku sambil mengucek kedua mata.
“Mas, dipanggil Abah!” ucapnya yang kemudian pergi begitu saja.
Aku terdiam, apakah dia wanita tadi? Dia kah yang dipeluk mesra Abah? Ya Tuhan ..., aku jatuh cinta. Gila! Wajahnya tidak cantik, kulitnya tak begitu putih, wajah yang dibalut kain itu tak begitu jelas, tak menatap hanya menunduk. Tapi ..., suaranya itu, mengapa bisa membuat jantungku berdetak begitu cepat seakan hendak meledak. Panas, tubuhku diselimuti angin yang berasa panas. Aku terpelanga cukup lama sambil berdiri di muka pintu.
Hingga akhinya aku tersadar dan segera merapikan wajahku, berdiri di depan cermin dan berdandan rapi.
Kamu keren Yon, jangan ..., oh,ya. Aku bukan Dion, tapi Ahmad. Lelaki sederhana, orang biasa, bukan anak pengusaha kaya.
Tubuhku seketika lemas, berjalan santai menuju ruang tamu. Terlihat Abah dan wanita itu duduk berdampingan, dengan tangan Abah dipeluk mesra olehnya.
“Ahmad, kemarilah!” pinta Abah dengan senyum manis menunjukkan deretan giginya yang masih lengkap.
Aku pun mengangguk, lalu duduk di sofa yang ada di hadapan Abah dan wanita itu.
“Kenalkan, ini Nur Ainun Mardiah. Panggil saja, Nur. Dia ini, anak perempuan Abah. Maaf, Abah belum sempat cerita. Selama ini, ia berada di pesantren yang lumayan jauh dari sini. Kali ini, ia sedang pulang liburan sebulan lamanya,” ucap Abah.
Wanita itu tersenyum dan menunduk, tak mau menatapku. Namun sesekali ia tersenyum menatap Abah.
Ada apa dengan diriku, sedari tadi ia tak mau melihat wajahku. Apakah wajahku kurang tampan? Bukannya, wajah dan tubuh ini menjadi idola para wanita? Tetapi, mengapa ia tidak berlaku sama padaku. Apakah kini ketampanan mulai luntur karena terlalu banyak berjemur kala di kebun? Tapi, saat aku menatap di cermin, tidak ada perubahan apapun.
“Nak, ini Ahmad. Pria yang tempo hari pernah Abah ceritakan,” ucap Abah sambil menepuk lembut paha Nur.