Malam itu langit terlihat gelap, awan hitam bertumpuk menjadi besar, menutupi terangnya bulan malam itu. Hanya ada bintang yang bersinar redup, berpencar ke seluruh semesta langit. Gemuruh hadir, meriuhkan suasana malam. Perlahan kilat dan petir menunjukkan kemampuannya. Satu demi satu air menetes membasahi bumi.
Terlihat seorang wanita paruh baya telah memandang jauh keluar jendela. Pandangan kosong dengan tubuh terdiam terus menatap. Seakan menanti kepulangan seseorang. Kepulangan yang begitu dicemaskan.
"Malam, Tuan," ucap Pak Mahmud saat membukakan pintu untuk Pak Bramana.
"Nyonya dimana?" tanyanya dengan wajah kaku.
"Di ruang tamu, Tuan," ucap Pak Mahmud sambil memeluk tas.
Seketika Bramana berbalik badan, menatap tajam ke arah Mahmud lalu bertanya, " bagaimana keadaan Nyonya?" tanyanya kembali.
Seketika Pak Mahmud mengangkat kepalanya lalu kembali menunduk dan mengatakan, " Merenung seharian, Tuan."
"Huh!" kemudian Bramana kembali berjalan menuju ruang tamu. Namun tak ada menemukan istrinya di sana. Ia berbalik melihat Mahmud, kemudian kembali berjalan menuju ruang dapur. Lagi-lagi tak ditemukan istrinya di sana. Ia kembali melanjutkan langkah kakinya menuju kamar. Tiada juga istrinya ditemukan, ke kamar mandi dan taman kamar, tiada juga. Ia pun melepas jasnya menggantungkan dengan rapi, kemudian berjalan ke arah taman dari samping rumah.
Terlihat Rianty sedang duduk di atas ayunan, mengayun pelan, duduk melamun dengan mata menatap kosong.
Sesekali ia tersenyum manis, sesekali pula ia terharu dengan tangan menepuk lembut pahanya, seakan ia tengah membelai kepala seseorang.
Kadang terdengar mulutnya bersenandung seakan menyanyikan sesuatu, kadang ia sadar lalu memperbaiki sikap tubuhnya. Begitulah keadaan Rianty belakangan ini. Kepergian Dion yang begitu lama membuatnya kerap merenung.
Kembali teringat 25tahun silam, saat ia pertama kali bertemu dengan Bramana. Saat itu Bramana dengan gagahnya meminta kepada Papa Rianty agar bersedia menikahkan Rianty padanya.
Rianty, gadis keturunan Belanda yang banyak menghabiskan waktu di rumah dengan belajar dan membaca buku pun merasa tersentuh akan keseriusan Bramana.
Melihat dari perjuangan dan kerja keras Bramana selama bekerja di perusahaannya, membuat Papa Rianty dengan mudah menyetujui permohonan Bramana, setelah mendapat persetujuan dari Rianty terlebih dahulu.
Tak butuh waktu lama, hanya hitungan bulan, Bramana dan Rianty melangsungkan pernikahan. Bahagia dan penuh kemewahan. Semenjak itu, Bramana kian semangat bekerja, karena ia ingin kelak anaknya tak merasa kesulitan layaknya dia masa muda.
Empat tahun berlalu, Rianty tak kunjung hamil. Bramana yang terlalu sibuk membesarkan perusahaannya kini mulai tersadar. Ia pun mengurangi jadwal bekerjanya dan memperbanyak waktu untuk menemani Rianty di rumah.
Liburan, bersantai di rumah, menghabiskan waktu dengan melihat acara TV berdua, makan makanan buatan Rianty. Semua itu dilakukan demi mempermudah kehamilan Rianty.
Benar saja, berkelang sebulan Rianty mulai menunjukkan gejala-gejala kehamilan. Mual, tak selera makan, lemas, pusing hingga muntah. Hal ini pun disadari keduanya, Bramana merasa sangat bahagia. Ia merelakan waktu kantornya untuk bekerja dari rumah.
Rianty wanita yang kuat hati namun lemah di kandungan. Berulang kali masuk klinik sudah menjadi hal yang lumrah bagi Rianty. Hal ini terus menerus dilakukan hingga Dion lahir ke dunia.
Kelahiran Dion sebagai memberikan kebahagiaan pada kedua belah pihak keluarga. Tak hanya menjadi anak pertama Bramana, namun juga menjadi cucu pertama bagi kedua Opa dan Omanya.