Udaranya begitu segar, mungkin karena banyak pepohonan di daerah sini. Halaman yang luas dengan banyak tumbuhan bunga di atasnya, membuat halaman itu kerap terlihat kotor karena banyaknya dedaunan kering yang jatuh terbawa angin. Menyapu halaman merupakan tugasku kala pagi hari. Selepas subuh, aku tak lagi berbaring di kamar, ada rasa malu akan Abah dan Ibu yang sudah membuat kesibukan di pagi hari. Semenjak itu aku memutuskan untuk mengambil tugas pula.
Tubuh penuh keringat, mengalir membanjiri seluruh tubuhku. Hingga kaos yang aku gunakan begitu menunjukkan bentuk tubuhku yang bidang. Ternyata, tanpa harus menggunakan alat Gym, aku bisa mempertahankan bentuk tubuhku. Tak hanya bentuk tubuh yang aku dapat, tetapi juga mata yang segar melihat halaman yang bersih dan rapi. Abah dan Ibu juga semakin menyukai diriku, aku benar-benar tak bepikir akan menghasilkan kebaikan sebanyak ini.
Gila! Sudah berapa lama aku hidup. Namun, mengapa baru saat ini mataku terbuka untuk menyadari hal ini. Aku benar-benar terlihat bodoh saat ini. Mataku terlalu dibutakan akan limpahan kekayaan yang ada di sekelilingku. Aku, benar-benar malu jadinya.
Indah dan rapi, saatnya aku mengeringkan badan kemudian mandi. Segarnya ....
***
Saat berjalan menuju kamar, sambil mengelap kering rambutku kulihat Nur sedang melakukan salat sunah. Entah sunah apalagi aku pun tak tahu, aku hanya segera berjalan menuju kamar.
Lagi-lagi, suara merdu Nur melantunkan ayat terdengar di telingaku. Namun kali ini ada yang berbeda. Bukan dag dig dug di hati, melainkan air mata yang jatuh, tanpa rasa, aku hanya menangis sambil terduduk di lantai bersandarkan pada ranjang.
Mengapa kini aku secengeng ini? ini bukan diriku? Ada apa dengan diri ini?
Lantunan demi lantunan ia bacakan. Tenang, bahagia, serasa berada di tengah taman bunga dengan segala keindahannya, begitulah yang aku rasa setiap kali mendengar Nur melantunkan ayat dari mulutnya.
***
Kulihat Papa tersenyum, Mama juga tersenyum dalam pelukan Papa, dengan tangan melambai memanggilku untuk mendekati mereka. Namun tubuhku hanya bisa diam, menatap mereka yang kian lama kian hilang.
“Ma ...!” jeritku.
“Ahmad, kamu tidak apa, Nak?” tanya Abah yang sudah duduk di dekatku.
Aku menggeleng dan dengan cepat menghapus air mata yang ada di pipiku.
“Mengapa kamu duduk dalam keadaan seperti ini, Nak?” tanya Abah sambil menyentuh punggungku.
Aku terdiam menunduk, terpikir untuk jujur namun aku masih bingung mencari cara untuk mengatakan semuanya.
“Apakah kamu bermimpi bertemu orang tuamu?” tanya Abah kembali.
Mataku terbelalak, apakah ini pertanda bahwa jeritan dalam mimpi tadi benar aku katakan dengan mulutku?
“Tak apa, Nak! Perlahan saja. Semoga ingatan kamu segera dipulihkan ya. Ayo kita sarapan, Ibu dan Nur sudah menunggu!” ajak Abah yang kemudian berjalan keluar.
Maafkan aku Ma, Pa. Aku harap, aku bisa segera pulang menemui kalian. Aku rindu.
“Ahmad, kamu baik-baik saja, Nak? Apa perlu kami bawa kamu kembali ke rumah sakit?” tanya Ibu dengan wajah penuh perhatian.
“Tidak, Bu. Saya hanya mimpi buruk,” jawabku yang kemudian duduk di kursi yang ada di depan Abah.