Malam yang melelahkan, tak bisa tertidur karena hati yang terus merasa bersalah sudah membuat Nur menangis. Hingga akhirnya aku bisa tertidur di atas sajadah, pusing dan kembung, semalaman tidur di atas lantai.
“Ahmad ...!” suara Ibu terdengar dari balik pintu beserta ketukan kuat di bagian pintu.
“Ya, Bu!” jawabku yang segera bangkit dengan kaki menggunakan sarung dan tangan memegang sajadah.
“Loh, kamu sudah salat, Nak? Atau kamu ketiduran?” tanya Ibu yang terheran melihatku.
“Eh, tidak. Eh, iya maksudnya, Bu,” jawabku gelagepan.
“Ya, sudah. Sana wuduk lagi, kalau sudah terlelap, maka wuduk kamu dianggap batal, Nak!” ucap Ibu yang kemudian berjalan menuju ruang salat.
Segera berwuduk dan ikut berbaris diantara mereka, “maaf ya Bah, jadi menunggu,” ucapku malu.
“Tidak, Nak! Ayo kita mulai,” jawab Abah dengan tenang.
Seperti biasa, mereka akan membaca alquran bersama, sedangkan aku memilih untuk menuju kamar mandi, mengguyur tubuhku agar kembali segar setelah semalaman sulit tidur hanya karena perasaan yang tek menentu.
Aku pun berjalan menuju halaman, menyapu dan menyirami tanaman. Membakar sampai dan menyirami jalanan. Maklum saja, jalanannya masih berupa tanah dan pasir, jika tidak disiram maka akan menyebabkan debu beterbangan saat angin bertiup lebih kencang.
“Ahmad!” panggil Ibu dari pintu rumah.
“Ya, Bu!” jawabku segera berlari mendekati Ibu.