Azan asar terdengar dari toa rumah sakit, Abah pun mengajakku untuk bersama menuju musala. Ada rasa ingin menolak untuk salat, aku penasaran akan apa yang terjadi. Namun sepertinya Abah mengetahui gelagatku, hingga Abah mengatakan, “ saat seperti ini, menunggui bukan solusi. Kita tak akan bisa membantu. Serahkan saja Nur dengan yang ahlinya, lagian Ibu ada bersamanya. Tugas kita menghadap kepada Allah yang Maha menguasai, lalu memohonkan kebaikan untuk Nur,” mendengar ucapan ini, aku tak bisa berkata-kata lagi. Ucapan Abah benar, aku tak bisa bertindak apapun. Ada Ibu yang menemaninya.
Salat kali ini kami lakukan berjamaah. Sepanjang mengerjakan salat, hatiku terus berdoa untuk kebaikan Nur. Entahlah, wajah Nur yang terkulai lemas terus terbayang di mataku. Berulang kali aku mengucapkan istighfar, namun bayang itu terus saja menghantuiku.
Dalam doa kupanjatkan kepada sang Maha, atas keselamatan dan kebaikan untuk Nur, Abah, Ibu juga kedua orang tuaku. Doa yang begitu panjang, karena sore itu kerinduan turut menyelimuti perasaanku. Kerinduan kepada Papa dan Mama. Bagaimana keadaan mereka dan apa yang terjadi selama aku tak berada di sana.
Perasaan tak menentu ini, menuntunku untuk mengakui semua kebohonganku selama ini. Namun, rasa takut karena merasa bersalah membuatku semakin takut mengakuinya. Terlebih lagi dengan Nur, aku takut ia membenciku. Membenci tindakan bodohku, aku takut mereka semua membenciku dan tak pernah lagi mau untuk bertemu denganku.
Aku dan Abah pun berjalan kembali ke ruang UGD, namun sayang, Nur dan Ibu tak ditemukan di sana. Ternyata Nur sudah di bawa ke dalam ruang rawat inap. Kami pun segera mengunjungi kamar. Saat itu Abah melangkah masuk, sedangkan aku, langkahku begitu berat untuk melangkah. Aku hanya berdiri di depan pintu.
“Ahmad, kamu tidak masuk?” ucap Abah yang kembali keluar menemuiku.
“Ah, saya mau membeli minuman dulu, Bah!” ucapku yang kemudian melangkah pergi meninggalkan ruangan.
Entah mengapa, langkahku saat itu kembali berjalan menuju ruangan tempat Nur berada. Namun, lagi-lagi aku tak bisa melangkah masuk.
“Bagaimana keadaan kamu, Nur?” tanya Abah
“Sudah enakan, Bah. Besok sudah boleh pulang,” ucap Nur dengan suara yang begitu pelan hingga nyaris tak terdengar.
“Ahmad, kemana Bah?” tanya Ibu.
“Ia pergi memberli minuman sebentar, Bu,” jawab Abah tanpa ragu.
“Bu, sebenarnya apa yang terjadi dengan Nur?” tanya Nur dengan suara lembutnya.
“Kamu pingsan Nak, saat kita membeli sop untuk kamu. Ibu menjerit memanggil Abah dan Ahmad. Saat itu Ahmad yang segera berlari, menggendongmu dengan kedua tangannya, membaringkanmu di mobil. Kemudian ia dengan sigap membawa mobil menuju rumah sakit,” jelas Ibu dengan suara penuh kasihnya.
“Apa? Mengapa Abah dan Ibu membiarkannya?” jawab Nur dengan suara lebih keras.
“Nak, saat itu keadaannya gawat darurat. Semua kalut,” jawab Ibu.
“Tapi, dia tidak mahramnya Nur. Nur tak pernah disentuh pria lain. Nur ...,” ucapnya terhenti berganti isak tangis.
Aku yang sedari tadi berdiri di depan pintu pun terduduk, inikah yang membuat hatiku gelisah sedari tadi? Inikah yang aku takutkan, dibenci oleh Nur. Aku tak ada berniat apapun saat menyentuhnya. Aku hanya tak ingin terjadi apa-apa pada dirinya. Aku mencintainya, namun aku tak ada berniat mengambil kesempatan. Aku benar-benar hanya ingin menolongnya.
Aku pun bangkit dan berjalan menuju parkiran. Kusandarkan tubuhku di kursi mobil. Menangis sejadi-jadinya. Ada rasa sakit yang begitu perih tepat di jantungku. Aku tak tahu, mengapa begini. Menangis berbantalkan lengan yang berada di gagang setir. Merunduk, meluapkan segala rasa yang sudah bercampur. Berharap rasa itu hilang dan hatiku kembali tenang.
Tok!!!