Setelah Nur kembali pulang, tak butuh waktu lama, aku pun memantapkan langkah kaki untuk pulang. Setelah Abah menjelaskan semuanya kepada Ibu, Ibu dengan penuh kasihnya memaafkanku. Tangis haru di wajah Ibu membuatku berjanji pada diri ini untuk segera kembali berkunjung menemuinya. Abah dan Ibu, sudah bukan seperti orang lain lagi bagiku.
“Bu, Ahmad izin pulang ya. Terima kasih, Bu. Terim kasih atas kasih sayang dan perhatian Ibu. Izinkan Ahmad, berkunjung ke sini untuk melihat Ibu. Sekali lagi, terima kasih, Bu!” ucapku sambil membungkukkan badan.
“Ya, Nak. Datanglah! Kapanpun kamu ingin datang. Pintu rumah kami selalu terbuka untukmu. Hati-hati, ya. Salam untuk kedua orang tuamu, Nak!” ucap Ibu dengan derai air mata membasahi kedua pipinya.
“Iya, Bu. Assalamu alaikum,” ucapku yang kemudian melambaikan tangan dan berjalan menuju ojek motor yang akan mengantarkanku ke jalan besar.
Kepulanganku tanpa permisi kepada, Nur. Ia masih beristirahat di kamarnya. Rasa takut menyelimuti hatiku, takut kalau dia masih marah. Aku tak sanggup jika ia menunjukkan kemarahannya secara langsung. Hingga aku memutuskan tak ingin menemuinya. Meskipun Abah sudah menyarankan agar aku menemuinya terlebih dulu. Berat, itulah yang aku rasakan. Kakiku terlalu sulit melangkah menuju kamarnya, sama seperti saat ia masih berada di ruang rumah sakit. Keputusanku pun bulat, untuk tidak menemuinya.
***
“Hai, Lo uda lama nunggu?” tanyaku yang menghampiri Aiden di sebuah warung makan yang berada di pinggir jalan.
“Apa kabar Bro?” tanya Aiden dengan penuh kerinduan. Ia memelukku dan menepuk-nepuk lembut punggungku.
“Alhamdulilah, sehat, Bro!” jawabku sambil tersenyum.
“Apa? Apa aku enggak salah dengar? Lo barusan ngomong apa?” tanya Aiden yang terlihat risih dengan kebiasaan baruku.
“Sudahlah, ayo kita berangkat! Aku sudah tidak sabar ingin bertemu Ibu, eh Mama.”
“Lo sehatkan Yon? Apa karean terbentur kepalamu, makanya kamu bersikap aneh begini?” tanya Aiden dengan mengernyitkan dahinya.
“Serah Lo, deh,” ucapku yang kemudian duduk dan menyalakan mobil.
***
Perjalanan begitu singkat, mungkin rindu ini membuat suasana hatiku bahagia. aku yakin, semua akan berjalan lancar, aku bersedia menerima amukan Papa, karena aku emang pantas mendapatkannya.
“Eh, kok berhenti. Lo mau ngapain lagi, Yon?” tanya Aiden yang bingung melihat jalanan sekitar.
“Yon, Lu ada uang enggak? Aku pinjam dong,” pintaku lembut.
“Yon, jangan bilang Lo mau kabur lagi seperti saat itu!” ucap Dion dengan tangan menunjuk ke arah wajahku.
“Ya Allah ..., enggaklah. Aku mau belikan makanan kesukaan Mama dan Papa. Kalau kamu tidak percaya, yaudah kita beli bareng aja!” ajakku yang segera turun dari mobil.
Aiden hanya bisa terpelongo melihat sikapku. Ia terperanga cukup lama. Hingga membuatku kembali lagi ke mobil dan mengetuk jendela mobil untuk memintanya turun.
“Yon, Lo sehat?” tanya Aiden sambil meletakkan punggung tangannya tepat di dahiku.
“Apaan, sih?” ucapku sambil menampik tangannya Aiden.
Sepanjang perjalanan Aiden kembali menanyakan tentang hari dimana aku pergi dan tak kembali lagi.
“Yon, aku kok enggak percaya ya, dengan cerita Lo. Cerita Lo, tuh ya, seperti novel aja. Kok aku enggak yakin gitu, ya?” ucapnya.