Tiga hari di rumah, guru mengaji sudah hadir untuk mengajariku. Kak Ahmad, lagi-lagi nama Ahmad. Membuatku tersenyum sendiri kala tahu itu namanya. Kembali teringat kala pertama kali Abah memberikan nama itu padaku.
“Bagaimana Dion, kamu siap belajar mengaji?” tanyanya dengan suara lembut dan wajah yang begitu meneduhkan. Pakaian koko dan lobe yang ia gunakan, berhasil mengundang rasa rindu di hati, akan keberadaanku kala masih bersama Abah dan Ibu.
“Siap, Kak!” ucapku dengan penuh senyuman.
“Enggak apa ya, kalau kita mulai dari alif, ba, ta?” tanyanya kembali.
“Oke,” ucapku dengan penuh semangat. Entah mengapa, hati ini begitu senang, besarnya keinginan untuk bisa membaca dan menghapal alquran seperti yang Nur lakukan. Aku berharap, bisa melantunkan ayat itu di rumah ini, memberikan kebahagiaan dan ketenangan di setiap hati yang mendengarkannya, agar mereka turut merasakan, apa yang aku rasakan.
Belajar pun dimulai, membaca huruf demi huruf hijaiyah. Tak hanya itu, aku juga turut meminta diperbaiki akan bacaan salat yang kuhapal dulu. Aku juga sering menanyakan banyak hal, yaitu kebiasaaan asing yang kudapatkan dari Nur.
“Kak, kalau anak perempuan keluar harus pakai kaus kaki kah?” tanyaku penasaran.
Kak Ahmad tersenyum, kemudian ia menjawab,” itu namanya aurat Yon. Aurat wanita seluruh tubuh, kecuali telapak tangan dan wajah. Sedangkan menggunakan cadar, itu sifatny sunah. Berpahala jika dilakukan dan tidak berdosa jika tidak dilakukan. Sedangkan aurat pria, pusar hingga ke atas mata kaki. Namun, adabnya ya menggunakan pakaian. Sunnahnya menggunakan lobe di kepala dan baju yang cukup panjang, hingga saat ia menunduk, bagian pinggangnya tak terlihat. Seperti saat rukuk di waktu salat. Menutup aurat itu hukumnya wajib, Yon,” jelas Kak Ahmad.
Aku mengangguk, pantas saja Nur selalu menggunakan kaus kaki, meskipun hanya keluar halaman saja. Aku menjadi tersenyum sendiri setiap kali mengingat Nur. Apa kabarnya ya? Eh, konsentrasi, lagi belajar.
“Wah, apa nih, yang kamu pikirkan Yon? Kok senyum-senyum begitu? “ ucap Kak Ahmad dengan raut wajah usil.
“Ah, apaan sih. Oh, ya Kak. Apa batasan untuk pria dan wanita yang tidak ada hubungan darah, apa sih itu namanya ...,” ucapku coba mengingat kata yang pernah Nur ucapkan.
“Mahram, Yon. Mahram artinya seseorang yang memiliki hubungan pada kita, orang tidak boleh menikahi kita. Seperti Ayah, Abang dan adik lelaki. Sedangkan orang lain yang tidak mahram, berlaku batasan. Tidak berbicara jika tidak mendesak, menjaga pandangan, karena dari pandangan bisa menimbulkan syahwat. Jika memandang dan berbicara tidak boleh, apalagi menyentuhnya. Berhubungan baik langsung ataupun via chat juga, karena syetan akan selalu ada untuk menggoyahkan iman umat akhir zaman,” jelas Kak Ahmad dengan senyuman yang melingkung lebar.
Tertunduk, pantas saja Nur begitu marah saat tahu, bahwa akulah yang menggendongnya menuju mobil dan ruang UGD.