Menjemput Bidadari

Be Maryam
Chapter #21

Harapan Hati

Malam ini Kak Ahmad tak bisa hadir. Aku pun menghabiskan waktu bersama Papa dan Mama di ruang tengah. Semenjak kepergianku, Papa selalu berusaha untuk pulang ke rumah lebih awal. Berkumpul, berbincang dan menikmati candaan sederhana setiap kali kami bersama.

Saat ini, aku terbaring berbantalkan paha Mama, dengan jemari memainkan ponsel. Sedangkan Mama duduk santai sambil membelai rambutku dan Papa duduk di sebelah kami dengan tangan memegang koran.

“Oh, ya Ma. Mama dan Papa dulu umur berapa saat menikah?” tanyaku yang kemudian bangkit untuk duduk.

“Menikah? Kok tumben kamu menanyakan itu, sayang?” tanya Mama dengan senyum penuh curiga.

“Emangnya usia kamu saat ini berapa, Yon?” tanya Papa dengan mata masih memandang ke arah koran.

“Yah ..., Dion nanya, malah Mama dan Papa yang bertanya balik!” jawabku kesal sambil menyandarkan kepala di sofa.

“Mama dulu, menikah usia dua puluh. Sedangkan Papa, usia dua puluh dua ya kan, Pa?’ ucap Mama sambil melirik Papa.

“Iya, Ma. Tapi masa kita dulu, umur segitu sudah terlalu tua untuk tidak menikah, Ma!” jelas Papa.

“Oh ..., oh ya. Papa dan Mama dulu pacaran atau dijodohkan?” tanyaku lagi.

“Ada apa sih Yon? Kok pertanyaan kamu begitu?” tanya Mama.

“Jaman Papa dan Mama, tidak ada namanya pacaran. Jika serius langsung datang ke rumahnya, lalu minta persetujuan Bapaknya. Gitu kan, Ma?” tanya Papa balik.

“Iya ..., sayang. Dulu saat Papa menyadari kalau Papa menyukai Mama, Papa langsung cari tahu, Mama ini sudah punya calon apa belum. Lalu Papa mendatangi Opa, meminta izin untuk menikahi Mama. Tahu enggak jawaban Opa? Perbaiki diri kamu, carilah pekerjaan, jika sudah, kembalilah lagi. Eh, Papa kamu serius, setelah sebulan diterima bekerja, langsung ke rumah lagi jumpai Opa. Opa yang melihat keseriusan Papa pun langsung menyetujuinya. Enggak pakai lama ya, Pa. Setelah sebulan, kami pun menikah,” jelas Mama dengan wajah berbinar, sepertinya cinta itu berhasil membuat hati Papa dan Mama bahagia, kala mengingat awal percintaan mereka.

“Dua puluh dua, ya ...,” ucapku sambil berpikir. Saat ini usiaku masih dua puluh, untuk saat ini pun, usia segini masih terbilang begitu muda. Kuliah saja belum tamat, bagaimana mau menafkahi anak gadis orang.

Lihat selengkapnya