Setahun berlalu, dengan penuh kesungguhan, aku pun mampu meluluskan kuliahku dengan nilai terbaik. Cumlaude, hasil yang benar-benar tak sangka bisa kuraih. Saat aku menjalani dengan sungguh-sungguh, memohonkan penuh harap kepada Allah, maka semua berjalan kian mudah. Aku tak memiliki daya upaya, tanpa izin-Nya.
“Sayang, kamu sudah lulus. Kamu juga sudah diterima di kantor Papa setelah melewati ujian demi ujian yang ada. Sekarang saatnya menjemput wanita impianmu, bagaimana? Apakah kamu masih memikirkannya, atau justru sudah berpindah kepada wanita lain?” tanya Papa padaku.
“Dion masih menginginkannya, Pa. Hanya saja, Dion ragu, ada rasa takut ditolak, Pa,” ucapku sambil mengunyah makan malam.
“Dion, dengar ucapan Papa. Papa dulu sama persis sepertimu, Nak! Tapi, apa yang Zalil katakan pada Papa, majulah selama itu niat baik. Jika menikahi itu baik, mengapa tidak kita coba saja!” ucap Papa.
***
Tiga hari setelah percakapan di meja makan malam itu, kami kembali lagi ke rumah Abah. Namun kali ini dengan niat yang berbeda, yaitu mencoba melamar Nur. Berat, tapi berharap, begitulah perasaanku saat ini. Sebelum sampai di rumah Abah, aku pun menghentikan mobil di sebuah musala, melakukan salat sunah, meminta kebaikan dari apa yang akan terjadi. Jika itu berupa penolakan, maka kumintakan kekuatan hatiku untuk menerimanya. Namun jika itu penerimaan, maka kumintakan pula agar diriku mampu menjadi pendamping yang baik untuknya.
Kami pun melanjutkan perjalanan, dan kini sudah tiba di rumah Abah.
***
“Begini, Zal. Anak kami Dion ingin mengatakan sesuatu,” ucap Abah membuka pembicaraan.
“Ada apa, Nak? Katakanlah!” pinta Abah.
“Bismillah, begini, Bah. Maafkan jika saya lancang, saya ingin melamar Nur, Bah!” ucapku dengan bibir bergetar.
Suasana hening cukup lama, dag dig dug, jantungku rasanya berdetak begitu cepat hingga membuat napasku terasa sesak.