EMBUSAN angin dingin di pagi hari dan lantunan suara azan yang merdu dari masjid di dekat rumahnya itu membangunkan tidurnya. Angin dingin yang membius menerobos masuk ke dalam kamar lewat sela-sela jendela. Dua lapis pakaian telah menutupi tubuhnya, namun tetap saja ia merasakan badannya menggigil dari kedinginan.
Ia tak habis pikir bahwa pagi-pagi begini dingin sekali, padahal musim panas sudah mulai tiba. Memang dingin tahun ini lebih dahsyat dari tahun sebelumnya, hingga sampai ujian termin dua juga terasa sangat dingin di pagi hari dan sangat panas di siang harinya. Cuaca di sini memang sedikit aneh pada tahun ini dan pada hari ini. Setelah membaca doa bangun tidur, segera ia bangkit dari tempat tidurnya, kemudian bergegas menuju kamar mandi untuk berwudu. Ia menyalakan mesin pemanas air dan berwudu dengan menggunakan air yang sedikit hangat dari mesin pemanas.
Setelah selesai berwudu, ia membuka jendela kamarnya yang sebelah timur. "Ssshhh." Embusan angin dingin menampar wajahnya yang telah basah dengan air wudu, segera ia tutup kembali jendela kamarnya yang sedikit kusam dan berdebu itu, ia tidak kuat dengan sentuhan angin dingin yang mengilukan tulangnya.
Sebelum ia menunaikan fardu Subuh, ia melakukan salat sunah dua rakaat, kemudian menunaikan salat Subuh dengan sendirinya. Ia telah membangunkan adik kelasnya yang satu kamar dengannya, Wawan. Namun Wawan belum bangun juga. Sebab dia begadang sampai jam tiga bersama bukunya. Hari ini Wawan juga ada ujian di Markaz Lughah dan dirinya ujian dengan mata pelajaran Balaghah di kampus tertua di dunia itu, Al- Azhar.
Dia tidak memaksa Wawan untuk segera bangun dari tidurnya. Wawan akan ujian setelah zuhur. Lagi pula Wawan telah berpesan padanya untuk membangunkannya sekali saja. Dia pun kembali terlarut dalam diktat kuliah yang penuh dengan hafalan. Pelajaran yang telah ia rangkum dua minggu yang lalu harus ia hafalkan, minimal dipahami.
Komat-kamit mulutnya dengan ratusan kata-kata yang ia ucapkan untuk menjadi ingatan dan bahan mencapai kecerdasan. Kalaulah tidak menghafal, lalu apa yang ingin diandalkan? Ternyata kalau hanya sekadar paham juga tidak cukup kalau tidak menghafalnya. Karena penyakit ilmu itu adalah lupa, maka sebelum lupa akannya, salah satu cara untuk membumikannya dalam ingatan ialah menghafalnya.
Lazimnya memang harus mempersatukan kedua-duanya; hafal dan paham. Ada kalanya kita tidak dituntut untuk menghafal, tapi cukup dipahami saja, begitupun sebaliknya, kita dituntut menghafal walaupun tidak paham apa yang kita hafalkan dan ada kalanya menghafl dan memahami itu benar-benar dituntut. Seperti; ketika ujian. Pun ketika ujian tidak semua pelajaran itu harus dihafalkan, karena ada pelajaran yang memang sifatnya cukup degan pemahaman. Jadi, jika salah satunya sudah tidak bersatu lagi, maka akan jadi rancu. Seperti pelajaran al-quran atau hadits. Paham saja tidak cukup, karena akan dituntut untuk menuliskan sesuai dengan yang tertulis di dalam kitab hadistnya, apalagi al-quran, tidak boleh satu huruf pun tertinggal apalagi ditambahi?, kan tidak mungkin mengarang al-quran?. Rata-rata, pelajaran yang ada di Pesantren dulu, tidak jauh bedanya dengan yang ada di Al-Azhar ini, sama-sama dituntut untuk mengahafal, hanya stok hafalannya saja yang di sini lebih banyak. Orang yang bisanya cuma menghafal, maka ia akan kalah ketika soal ujian menyuruh; jelaskanlah sesuai dengan yang kau pahami, how?. Pun seorang yang hanya modal faham juga akan angkat tangan ketika soal ujian menyuruh; tuliskanlah hadits, ayat dan syi'ir-nya dengan baik dan benar, how? Kemenangan akan diraih ketika; paham dan hafal itu digenggam dengan sekuat-kuatnya, bukan instan. Maka benar, "Ujian untuk belajar bukan belajar untuk ujian". Belajar untuk ujian, selesai ujian biasanya hafalan dan pemahaman ikut selesai dan menghilang. Dan ujian untuk belajar, mudah-mudahan apa yang telah dipahami dan dihafalkan tetap melekat dalam ingatan dan tertanam erat di dalam dada.